Laman

Selasa, 24 November 2009

Kebangsaan

Meneguhkan kembali kemandirian bangsa
Oleh : Ki Sugeng Subagya

... mardika iku jarwanya; nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa; amandhiri priyangga, wit saka iku den emut, wenang lan wajib ywa pisah.


Penggalan pupuh cakepan tembang “asmaradana” karya Ki Hadjar Dewantara di atas memiliki makna yang sangat dalam. Setidaknya, dengan jelas tergambar hakekat kemerdekaan yang tidak hanya lepas dari kekuasaan orang lain tetapi juga harus mandiri.

Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dibacakan oleh Soekarno/Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Sejak itu bangsa Indoenesia telah lepas dari cengkeraman kuku penjajahan. Kini, setelah 63 tahun kemudian, hakekat kemerdekaan belum terasa.

Merdeka secara politik, ternyata tidak diikuti oleh kemerdekaan ekonomi, sosial, budaya bahkan ideologi. Ada kecenderungan, bangsa Indonesia semakin terperosok dalam kubangan neo-kolonialisme. Perkembangan globalisasi yang mengarah pada kerakusan kapitalisme dan pasar bebas telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa mandiri yang buntutnya menyengsarakan rakyat.

Etos kerja petani Indonesia yang terbiasa pergi ke sawah ladang sebelum subuh dan pulang ke rumah menjelang maghrib telah membudaya. Tetapi kerja keras mereka itu tidak serta merta mengangkat kesejahteraan hidupnya. Keadannya tetap miskin.

Pelaksanaan program atas nama pembangunan untuk kehidupan yang lebih baik, selalu menimbulkan luka menganga bagi wong cilik yang konon akan disejahterakan. Rakyat miskin, pegawai rendahan, petani gurem, nelayan, pedagang kecil, buruh, dan kaum papa yang mestinya mendapat perlindungan justeru harus memikul beban yang semakin berat.

Kekayaan sumber daya alam yang besar hampir tidak berarti bagi kemakmuran rakyat. Orang lain telah menikmatinya sebagai kompensasi atas “kepintarannya” mengolah sumber daya alam milik bangsa ini. Rakyat yang sesungguhnya pemilik sah, dijadikan penonton bahkan korban pengelolaan sumber daya alam yang salah urus. Nasibnya bagai ayam mati kelaparan di lumbung padi.

Kegetiran semakin terasa, pengemban kekuasaan memimpin bangsa ini tidak amanah. Rakyat dan bangsa dituntun mendekati jurang kehancuran. Praktik korupsi pada semua lini baik yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif semakin menambah luka rakyat. Rakyat bagai ditindas oleh bangsanya sendiri.

Ternyata, bagi bangsa Indonesia, proklamasi kemerdekaan saja belum cukup. Oleh karena itu diperlukan proklamasi baru, ialah proklamasi kemandirian.

Tanpa kemandirian tidak akan ada kemerdekaan hakiki. Kemerdekaan yuridis formal secara politis sesungguhnya hanyalah pintu gerbang menuju kemerdekaan hakiki. Apakah gunanya kemerdekaan yuridis formal jika jiwa bangsa Indonesia masih jemajah ? Demikianlah Ki Mohammad Said Reksohadiprodjo pernah mengatakan kepada penulis.

Jemajah disebabkan oleh tipisnya rasa tanggungjawab secara nasional. Rasa tanggung jawab atas nasib bangsa secara keseluruhan terkalahkan oleh kepentingan pribadi, keluarga, golongan dan kelompoknya. Masa bodoh untuk bangsa dan negara ! Semangat kompetisi untuk meraih kekuasaan, kekayaan, dan kesempatan untuk kepentingan diri dengan menghalalkan segala cara membuka peluang masuknya penjajahan baru dalam segala bentuknya. Demikian halnya penerapan aji mumpung dengan mengorbankan harga diri, menunjukkan bentuk ketidakberdayaan atas tekanan pihak lain.

Teks proklamasi bangsa mandiri, sebagaimana teks proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, hendaknya dirumuskan dengan kalimat yang tidak panjang. Ialah singkat, padat, cermat dan keramat. Cukup dengan dua kalimat. “Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemandirian Indonesia. Hal-hal mengenai transformasi sikap mental dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.

Makna proklamsi kemandirian sesungguhnya adalah transformsi. Ialah transformasi sikap mental jemajah ke sikap mental tanggungjawab nasional. Tanggungjawab nasional harus dibangun melalui kemampuan berpikir dan bertindak pula secara efektif, efisien, pragmatis dan bijaksana.

Untuk dapat berpikir dan bertindak efektif, efisien dan pragmatis diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta organisasi dan mekanisasi.

Untuk dapat berpikir dan bertindak bijaksana diperlukan jiwa yang dewasa. Ciri-ciri pokok jiwa dewasa adalah realistis, konsisten, kritis dan obyektif. Merasa sejahtera dan bahagia dalam keadaan apapun dengan tetap bekerja keras membangun masyarakat merupakan ciri yang lainnya. Dengan demikian keselarasan antara kedaulatan diri dan rasa harga diri akan terpelihara dengan baik.

Untuk merdeka, bangsa ini harus mandiri. Untuk mandiri, anak-anak bangsa ini harus makarya. Dengan makarya, orang akan memiliki kedaulatan diri. Jangan berharap dapat merdeka tanpa memiliki kedaulatan diri.

Sebaiknya momentum peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2008 ini dijadikan pula sebagai momentum untuk proklamasi bangsa mandiri. Setidaknya diproklamasikan sendiri dalam diri setiap anak bangsa Indonesia. Semoga.-

Artikel ini pernah dimuat harian SOLOPOS.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Ujian Nasional

Tim Sukses Unas
Ki Sugeng Subagya

UJIAN nasional atau populer disebut Unas dapat memotivasi siswa, orang tua siswa, guru dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meningkatkan prestasi belajar siswa secara maksimal. Demikianlah salah satu simpulan penelitian Tim Peneliti Universitas Negeri Yogyakarta dan Tim Peneliti Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (LSPI) Yogyakarta tahun 2004. Simpulan ini dijadikan sebagai salah satu alasan dilanjutkannya Unas sampai sekarang oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Demikianlah adanya, diselenggarakannya Unas mampu membangun motivasi banyak pihak terkait dengan peningkatan prestasi belajar siswa. Guru dan sekolah melakukan berbagai upaya pendalaman dan pengayaan materi pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan para siswanya sehingga lebih siap menghadapi Unas. Orangtua siswa tidak kalah upayanya memberikan kesempatan kepada putra-putrinya mengikuti bimbingan belajar, les privat, kursus dan sebagainya. Demikian pula para siswa peserta Unas tidak kalah gigihnya belajar giat dan berlatih keras.

Langkah Strategis
Untuk menyiapkan peserta Unas agar lebih baik, dibentuklah Tim Sukses Unas. Pembentukan tim sukses Unas di tingkat sekolah dengan melibatkan berbagai pihak termasuk komite sekolah dan orangtua siswa menunjukkan betapa seriusnya persiapan menghadapi Unas yang didorong oleh kesungguhan pihak-pihak terkait. Langkah-langkah strategis dengan program yang matang dan terukur dilakukan oleh tim sukses ini. Pengayaan materi pelajaran dan penambahan jam belajar dalam rangka efektifitas pembelajaran merupakan langkah strategis yang umum dilakukan. Untuk melihat efektifitas kegiatan dilakukan try out yang diselenggarakan tidak hanya dua tiga kali dalam satu semester. Ada beberapa sekolah yang menyelenggarakan try out setiap minggu dalam satu semester menjelang pelaksanaan Unas.

Hasil try out merupakan barometer kesiapan siswa dalam menghadapi Unas. Bagi siswa yang hasil try out-nya belum sesuai dengan harapan diperbanyak lagi kegiatan pembahasan soal-soal dan pendampingan. Bagi siswa yang terdeteksi kemampuannya rendah dilakukan pendampingan secara individual. Tidak kalah pentingnya dorongan mental melalui kegiatan-kegiatan siraman rohani dan doa bersama sebagai salah satu bentuk persiapan mental peserta Unas. Bahkan ada beberapa sekolah yang menyelenggarakan “pondok asrama” khusus persiapan menghadapi Unas.

Tentu untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seperti ini diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Dalam hal inilah peran orangtua dan komite sekolah yang tergabung dalam tim sukses Unas sangat dibutuhkan.

Siasat Manipulatif
Upaya sungguh-sungguh dan kerja keras tim sukses Unas seperti tersebut di atas perlu mendapat apresiasi. Dalam hal yang demikianlah sesungguhnya Unas mampu memotivasi berbagai pihak untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Tetapi, faktanya tidak dapat dipungkiri ada tim sukses Unas yang melalukan siasat manipulatif. Bahkan upaya-upaya yang dilakukan cenderung mengarah kepada tindak kecurangan.

Berdasar amatan penulis, setidaknya siasat manipulatif itu dilakukan dalam bentuk mengabaikan kejujuran dan obyektifitas untuk kepentingan sesaat. Taruhlah, sebuah contoh kesepakatan tim sukses Unas suatu sekolah. Kepala sekolah memutuskan tidak mengirim para guru matapelajaran yang di-Unas-kan melakukan pengawasan silang. Hal ini bukan tanpa maksud, para guru yang tidak dikirim ini diberi tugas khusus untuk menjawab soal-soal dari lembar soal cadangan dan kemudian meletakkan jawaban itu secara tersembunyi di suatu tempat (misalnya di kamar mandi). Maka pada waktu yang telah disepakati ada beberapa siswa minta ijin kepada pengawas ruangan ke kamar mandi yang sesungguhnya untuk ”menyadap” jawaban ujian yang sudah dipersiapkan.

Ketika dirunut lebih jauh, ternyata praktik kecurangan itu tidak hanya sampai di situ. Meskipun sulit dibuktikan, ternyata pengawas silang yang datang di sekolah itupun sudah dikondisikan untuk ”tahu sama tahu”. Tampak dari luar pelaksanaan Unas berjalan dengan baik dan lancar, tetapi di dalamnya terdapat praktik kotor yang jauh dari nilai-nilai pedagogis.

Barangkali kecurangan tersebut hanya merupakan salah satu dari berbagai kecurangan lain yang ada dalam penyelenggaraan Unas. Tentu hal yang demikian ini tidak menjadi bagian dari sisi baik Unas yang mampu memotivasi siswa, guru, orangtua siswa dan pihak-pihak terkait dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.

Apabila Unas tetap diselenggarakan, maka sistemnya perlu diperbaiki sedemikian rupa sehingga dapat mengedepankan komitmen penyelenggara dan pelaksana di lapangan. Baik penyelenggara maupun pelaksana ujian nasional hendaknya mengembangkan komitmen yang tinggi terhadap kesungguhan, kejujuran, transparansi dan akuntabilitas publik. Itu baru namanya motivasi positif terhadap peningkatan prestasi belajar siswa. Semoga.-



Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan

In Memoriam

Ki Hadi Sugito “Tetuladhan” Dalang Teguh Pendirian
Ki Sugeng Subagya


Masyarakat pemerhati dunia pedalangan Indonesia, khususnya pecinta wayang purwa berduka. Ki Hadi Sugito, dalang kondang dari Toyan Wates Kulonprogo meninggal dunia. Beliau wafat dalam usia 67 tahun hari Rabu 9 Januari 2008 pukul 09.00 di RSUD Wates.

Wafatnya Ki Hadi Sugito sungguh menorehkan kepedihan mendalam. Betapa tidak, beliau adalah dalang sepuh, tokoh panutan dan salah satu pilar kokoh budaya Jawa. Kiprahnya yang panjang dalam dunia pedalangan secara otodidak menjadikannya sebagai guru bagi dalang-dalang generasi penerusnya.

Ki Hadi Sugito dikenal sebagai dalang yang memiliki rasa humor tinggi, piawai berkreasi dan mengedepankan originalitas. Rasa humor itulah yang selalu menyertai sanggit kreatifitasnya yang original. Bahasa pedalangan yang selalu dikesankan “dakik-dakik” dan rumit, oleh Ki Hadi Sugito disederhanakan dalam bahasa simpel yang mudah dimengerti. Dengan cara seperti ini banyak kalangan muda yang justeru menyukai pertunjukkannya.

Humor dalam pedalangan gaya Ki Hadi Sugito bukan hanya tempelan dalam alur cerita, tetapi lebih dari itu, humor adalah bagian melekat dari alur ceritera itu sendiri yang nampak manusiawi. Oleh karena itu humor tidak hanya dapat ditemui dalam adegan gara-gara saja. Bukan hal yang mustahil tokoh-tokoh wayang serius, seperti Puntodewo, Brotoseno, Kresno, Duryudono, Bolodewo, bahkan Bethara Guru-pun “ndagel”.

Dengan bahasa sederhana dan cenderung lugu serta sanggit yang lucu, Ki Hadi Sugito mampu membangun motivasi penonton untuk menikmati pertunjukkan wayang purwa yang gampang dan menarik sejak “jejer” hingga “tancep kayon”.

Disamping itu, dialog adalah kekuatan lain yang dilmiliki Ki Hadi Sugito. Melalui dialog yang ringan dan encer menjadikan pertunjukan semakin enak kepenak ditonton dan diikuti alur ceritanya.

Patut diakui, bahwa Ki Hadi Sugito adalah dalang sangat produktif. Dari sisi jumlah kaset rekaman wayang, sampai saat ini barangkali jumlahnya tidak tertandingi oleh dalang manapun. Ibaratnya, hampir setiap malam kita dapat mendengarkan pergelarannya melalui siaran radio. Meskipun pemutaran kasetnya sudah berulangkali, tetapi ternyata masih menarik minat untuk di dengarkan.

Dikritik
Upaya menarik perhatian kaum muda mencintai pertunjukkan wayang dan kemudian mampu mengambil hikmah dari ceritera wayang yang dirintis Ki Hadi Sugito bukan tanpa kritik. Pada awal kemunculannya menggelar pertunjukan wayang “yang tidak lazim” Ki Hadi Sugito dianggap dalang yang nyempal dari pakem pakeliran pedalangan gagrak mataraman yang saat itu dianggap wingit. Bahkan tidak sedikit yang menganggap bahwa Ki Hadi Sugito adalah dalang lekoh, saru dan kasar. Kata-kata prek, dapurmu, trembelane, ngglibeng, menus, bosah-baseh dan sebagainya yang selalu muncul dalam dialog wayang adalah alasannya.

Tidak kurang para ahli susastra Jawa memberikan kritik atas penggunaan kata-kata atau ungkapan bahasa Jawa yang tidak trep. Misalnya, ngambar arum, diucapkan sebagai nggambar arum dan rikala diucapkan sebagai natkala, dan sebagainya.

Dalang “Mumpuni”
Pesan berharga Ki Hadi Sugito yang selalu diungkapkan kepada dalang-dalang generasi penerusnya, hendaklah mereka mau “sinau”. Sebab tanpa “sinau” tidak mungkin kemampuan sanggit, sabet dan antawecana dikuasai. Jadilah dalang yang mumpuni, kata beliau. Petuah ini tidak hanya jatuh diomongkan. Ki Hadi Sugito menjadi teladan dalam penerapannya. Konsistensi terhadap “penolakan” bintang tamu pelawak dan campur sari adalah contohnya.

Lepas dari semua kritik dan keberatan berbagai pihak atas tampilan pertunjukkan wayang Ki Hadi Sugito, kita tidak dapat menyangkal bahwa saat ini beliau adalah dalang sepuh yang patut diteladani dalam memegang teguh pakem pakeliran gaya mataraman. Tentu disamping itu ada Ki Timbul Hadiprayitno dari Patalan, Jetis Bantul. Sayang, Ki Hadi Sugito telah berpulang menghadap Sang Khalik. Untuk itu sepantasnya kita hantarkan doa, semoga khusnul khatimah. Sugeng tindak Ki Hadi Sugito, kami adalah saksi karya budayamu yang ngambar arum.

Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan

Jumat, 09 Oktober 2009

Pendidikan Nasional Indonesia

Pendidikan Memandirikan Bangsa
Oleh : Ki SUGENG SUBAGYA

Bagaimanakah pendidikan berperan dalam memandirikan bangsa ? Itulah persoalan besar kita dewasa ini.

Bung Karno jauh hari me”wanti-wanti” dengan “Trisakti”nya. Bangsa Indonesia harus (1) berdaulat secara politik, (2) berdikari secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara kebudayaan. Satu dasawarsa sebelumnya, Ki Hadjar Dewantara memberkan panduan bangsa merdeka melalui tembang “Wasita Rini”. Penggalan pupuh ketiga tembang itu berbunyi “mardika iku jarwanya, nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa, amandhiri priyangga”. Maknanya kurang lebih, bahwa merdeka itu artinya tidak hanya lepas dari perintah orang lain. Tetapi harus kuat dan mampu mengatur diri sendiri atau mandiri.

Melihat fakta yang ada, keadaan bangsa Indonesia masih jauh dari cita-cita bangsa mandiri. Ketergantungan, lebih dari sekadar bantuan, dalam menyelesaikan berbagai persoalan, berakibat bangsa ini terjerat ketidakmandirian. Aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam kungkungan bangsa lain. Krisis identitas dan jati diri sebagai bangsa mulai berkembang sebagai akibat implementasi westernisasi tanpa filtrasi kebudayaan.

Mendidik Insan Mandiri
Ki Sarino Mangunpranoto, merumuskan jiwa mandiri sebagai pribadi ksatria yang tidak mengharap bantuan orang lain dengan ikatan apapun. Ia mampu bekerja tanpa perintah orang lain. Ia mampu mengatur diri sendiri dan berkuasa atas dirinya sendiri. Jiwa mandiri hanya dapat dibangun dengan pendidikan merdeka.

Pendidikan merdeka akan mampu mengantarkan peserta didik menjadi insan mandiri. Dalam hal ini tiadalah mungkin orang dapat merdeka jika tidak mandiri. Untuk dapat mandiri maka harus makarya. Sebab dengan makarya orang akan mampu memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, keluarga dan mengambil peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Melihat gerak langkah pembangunan pendidikan kita dewasa ini, harus diakui bahwa sudah banyak kemajuan yang dicapai. Berbagai prestasi regional dan internasional banyak didapat oleh anak-anak bangsa Indonesia. Tetapi, jika dikaitkan dengan tujuan akhir pendidikan merdeka menuju kemandirian, kita masih harus terus bekerja keras untuk mewujudkannya. .

Tidak sedikit lulusan sekolah yang terpaksa menganggur. Keluar masuk kantor menenteng map berisi lamaran kerja. Hal ini merupakan indikasi gagalnya pendidikan menghasilkan insan mandiri. Mereka tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Jangankan lapangan pekerjaan untuk orang lain, untuk dirinya sendiri saja tidak ada kemampuan. Dalam kenyataan, mereka menggantungkan diri kepada “pemerintah”. Tidak mampu bernisiatif dan bekerja tanpa diperintah orang lain. Sekolah lebih banyak mengajarkan muatan intelektualisme dalam batasan-batasan ketat teoritik dengan mengesampingkan implementasi praktik dalam dunia nyata.

Benarlah olok-olok Ki Hadjar Dewantara, lihatlah itu cecak. Dia tidak sekolah. Dia tidak mempunyai ijazah. Tetapi dia tidak pernah mengganggur. Dia tahu dimana harus mencari makan. Dia tahu, dimana ada lampu, disana banyak datang nyamuk. Dan disanalah cecak mencari makan menangkap nyamuk makanannya. “Apes temen, wong pinter-pinter kok kalah karo cecak”.

Kegagalan mendidik insan mandiri nampak jelas dari tidak dimilikinya rasa percaya diri. Bukan hanya setelah lulus, para siswa tidak percaya diri sejak dibangku sekolah. Fenomena menyontek sampai dengan kecurangan-kecurangan lain dalam peneyelanggaraan ujian adalah bukti tidak percaya diri. Hal ini diperparah oleh sikap beberapa oknum pendidik yang tidak responsif menanggulangi kecurangan, tetapi tidak sedikit diantara mereka malah terlibat dalam praktik kecurangan itu.
Fakta tentang pelanggaran berindikasi kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2008/2009 merupakan bukti gagalnya pendidikan kemandirian.. Kunci jawaban beredar sebelum dan selama pelaksanaan UN terjadi di 8 SMA. Naskah soal dalam bentuk sof copy beredar sebelum pelaksanaan UN pada 16 SMP dan 1 SMA. Pembetulan jawaban pada lembar jawab UN terjadi di 7 SMA. Guru memberikan jawaban saat ujian sedang berlangsung terjadi di 2 SMA dan 1 SMP. Disamping itu ada 1 SMP yang melakukan perbaikan lembar jawaban UN.

Lihatlah, betapa sibuknya orangtua murid mengintervensi sekolah anak-anaknya. Antrean panjang di loket PPDB tidak hanya dijejali oleh para calon murid, tetapi didominasi orangtua murid. Belum lagi keinginan-keinginan setengah memaksakan kehendak orangtua untuk pendidikan anak-anaknya. Dari memilih sekolah, memasukkan sekolah sebelum usianya, memaksa anak harus naik kelas meski kemampuannya belum cukup, dan sebagainya.

Fakta di atas sungguh memprihatinkan. Kecurangan dalam pelaksanaan ujian tidak hanya dilakukan oleh siswa, tetapi guru terlibat langsung di dalamnya. Salah satu sebab kecurangan karena tidak adanya rasa percaya diri pada siswa dan guru dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Di lain pihak, dominasi orangtua dalam pendidikan anak-anak menyebabkan hilangnya kemandirian anak.

Hemat penulis, pendidikan kita harus segera dibenahi. Kembalikan roh pendidikan nasional sebagai pendidikan yang memerdekakan. Pendidikan yang memerdekakan harus dilakukan dengan cara-cara yang merdeka pula. Hanya pendidikan yang memerdekakan yang mampu membangun insan-insan mandiri menuju terwujudnya bangsa mandiri yang makarya, sebagaimana harapan para pendiri bangsa ini. Bukankah slogan pendidikan nasional kita masih TUTWURI HANDAYANI ? Berilah kemerdekaan seluas-luasnya kepada anak-anak kita untuk memperoleh pengetahuan yang penting dan berguna. Dalam pada itu guru jangan melepaskan perhatian dan pengawasan, tetaplah memberi pengaruh yang baik dari belakang.


Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan

Kebudayaan

Konsepsi Kebudayaan Ki Hadjar Dewantara
Ki Sugeng Subagya

KETIKA kekerasan menjadi pemandangan sehari-hari. Perebutan kekuasaan dengan saling sindir, hujat menghujat, dan bahkan memfitnah menjadi kebiasaan. Praktik pelanggaran hukum, menyalahgunakan wewenang, menilep harta yang bukan haknya, dan berselingkuh hampir tidak ada perasaan sungkan. Inilah potret masyarakat yang tidak beradab.

Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa-nya menawarkan konsepsi-konsepsi kebudayaan menuju peradaban. Saatnya kita membuka kembali file-file konsepsi kebudayaan itu untuk direnungkan dan kemudian dipergunakan merekonstruksi kehihidupan bermasyarakat dan berkebangsaan kita.
Tamansiswa sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas sebagai sara utamanya berdasarkan atas konsepsi Kebudayaan, Kebangsaan, Pendidikan, Sistem Kemasyarakatan, dan Sistem Ekonomi Kerakyatan. Intinya ialah, bangsa ini tidak boleh kehilangan jati diri, menjaga keutuhan dalam berbangsa, menjalankan pendidikan yang baik untuk mencapai kemajuan, terjadinya harmonisasi sosial di dalam bermasyarakat, serta menghindari terjadinya kesenjangan ekonomi yang terlalu tajam antarwarga negara.

Selama ini, orang sangat mengenal teori puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan. Maknanya, kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Kebudayaan nasional bukanlah sesuatu yang statis akan tetapi bergerak dinamis sesuai dengan irama kemajuan zaman. Dalam konsep ini seluruh kebudayaan daerah dihargai sebagai aset kebudayaan nasional; di sisi yang lain adanya kemajuan kebudayaan sangat dimungkinkan, baik kebudayaan nasional maupun daerah.

Selain teori puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan, ada banyak konsepsi kebudayaan yang dapat dijadikan paugeran membangun kebangsaan masyarakat Indonesia.

Konsepsi Trikon
Dalam pengembangan kebudayaan nasional, dikenal konsep Trikon, ialah kontinuitas, konvergensitas, dan konsentrisitas. Hendaknya bangsa ini mampu melestarikan budaya peninggalan para pendahulu dengan tetap memberikan ruang kepada budaya manca untuk saling berkolaborasi. Meski demikian dalam kolaborasi antara budaya kita dengan budaya manca tersebut hendaknya menghasilkan budaya baru yang lebih bermakna dengan cara selektif dan adaptatif.

Konsepsi Tripantangan
Dalam pengembangan hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, dikembankan konsepsi tripantangan, ialah pantang untuk menyalah gunakan harta, wanita dan parja. Maksudnya, setiap warga bangsa tidak boleh menggunakan harta orang lain secara tidak benar (misalnya korupsi), menyalahgunakan jabatan (misalnya kolusi), dan bermain wanita (misalnya menyeleweng atau perselingkuhan).

Konsepsi Trihayu
Dalam meneguhkan komitmen sebagai bangsa beradab dikembangkan konsep Trihayu, ialah memayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayunin bawana. Apapun yang diperbuat oleh seseorang, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan bermanfaat bagi umat manusia di dunia pada umumnya. Perbuatan yang bermanfaat itulah jaminan terwujudnya kebahgiaan diri, bangsa dan umat manusia.

Konsepsi Trisakti Jiwa
Pengembangan manusia paripurna didasari oleh konsepsi Trisakti Jiwa, ialah cipta, rasa, dan karsa. Untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada harmoni antara hasil olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. Manusia yang paripurna ialah manusia yang mencapai harmoni keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara daya cipta, rasa dan karsanya. Cara mendidik harmoni keseimbangan, keselarasan dan keserasian daya cipta, rasa dan karsa dilakukan dengan asah, asih dan asuh. Jika salah satu daya dikembangkan lebih dominan dari yang lain maka akan didapat ketimbangan jiwa-raga. Bisa jadi orangnya pinter, tetapi tidak berperasaan dan kemauannya mlempem, atau sebaliknya.

Trilogi kepemimpinan
Bangsa yang beradab terdiri atas para pemimpin, ialah pemimpin diri sendiri dan orang lain. Untuk menjadi pemimpin di tingkat mana pun harus berpedoman kepada Trilogi Kepemimpinana, ialah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, serta tutwuri handayani. Seorang pemimpin ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan (contoh baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, dan ketika berada di belakang harus mampu mendorong semangat yang dipimpinnya

Itulah konsepsi-konsepsi kebudayaan menuju peradaban Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa-nya. Pada saatnya, konsepsi-konsepsi ini perlu direnungkan kembali untuk berkaca diri. Masihkah dinatara anak bangsa ini ngerti, ngrasa dan nglakoni petuah luhur Ki Hadjar Dewantara itu ? Sebaiknya, jika memang bangsa Indonesia tetap bercita-cita mulia sebagai bangsa beradab yang kajen keringan di mata dunia, kita rujuk kemnbali piwulang luhur ini.


Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.

Ketamansiswaan

Implementasi “Sistem Among” dalam Pembelajaran
Ki Sugeng Subagya

DALAM kesempatan dialog interaktif di sebuah stasiun televisi swasta lokal, penulis banyak mendapat pertanyaan melalui telepon maupun SMS tentang Sistem Among. Respon demikian sangat baik. Setidaknya hal ini menunjukkan mulai ada kesadaran tentang dasar-dasar pendidikan nasional yang digali dari dalam diri bangsa Indonesia, bukan mengambil sistem pendidikan bangsa lain yang belum tentu sesuai.

Sistem Among adalah sistem yang menjadi dasar dan identitas pendidikan di Tamansiswa. Kehadirannya dimaksudkan sebagai perlawanan atas sistem pendidikan Barat yang dibawa oleh pemerintah kolonial yang tidak sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Pendidikan Barat didasari oleh regering, tucht and orde, atau perintah, hukuman dan ketertiban atau paksaan. Dalam praktinya, pendidikan yang demikian akan merusak kehidupan batin anak-anak. Budi pekertinya rusak karena hidup di bawah paksaan dan hukuman, yang seringkali tidak setimpal dengan kesalahan yang dilakukan. Jika kelak dewasa, anak-anak yang telah rusak batinnya tidak dapat bekerja tanpa diperintah dan dipaksa.

Sistem Among tidak memakai syarat paksaan. Tegasnya, bukan pendidikan dengan cara regering, tucht and orde yang menjadi dasarnya, melainkan orde and vrede, ialah tertib dan damai atau tata tentrem. Memaksa dalam pendidikan harus ditinggalkan, meskipun sekadar memimpin sejauh mungkin dihindari. Mencampuri kehidupan anak diperbolehkan ketika anak ternyata sudah berada di jalan yang salah. Dengan demikian kelangsungan kehidupan batin anak selalu terjaga. Meskipun demikian, kemerdekaan atas pilihan jalan yang ditempuh anak tidak dibiarkan sedemikian rupa sehingga nampak sebagai “nguja” atau membiar-liarkan. Pendidik tidak boleh “meleng” melakukan pengawasan.

Sebagai illustrasi dapat dikemukakan sebagai berikut. Ketika anak belajar memanjat pohon, tidak pada tempatnya dicegah. Kekhawatiran yang terungkap sebagai nanti jatuh, nanti sakit, nanti celaka, dan sebagainya, sesungguhnya adalah bentuk pelarangan dan paksaan. Cara yang demikian menyebabkan anak akan selalu merasa bersalah ketika akan belajar memanjat pohon. Akibatnya, sampai kapanpun anak tidak akan dapat memanjat. Biarkan anak-anak belajar memanjat sesuai dengan kehendaknya. Hanya ketika memanjat sudah sampai pada dahan atau ranting yang nyata-nyata membahayakan, baru peran pendidik dibutuhkan untuk memberikan alasan logis mengapa tidak boleh memanjat dahan atau ranting yang kecil.

Implementasi Pembelajaran
Dalam pembelajaran, Sistem Among dapat diimplementasikan sesuai dengan perkembangan alam dan zaman. Sesungguhnya pemberlakukan KTSP, dimana setiap satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulumnya sendiri dan setiap guru dapat mengembangkan silabus dan rencana pembelajarannya merupakan peluang untuk terimplementasikannya Sistem Among dalam pembelajaran.

Beberapa hal dapat dilakukan untuk itu. Misalnya, memberikan pelayanan pada kecenderungan anak agar tumbuh secara maksimal tanpa adanya perasaan takut dan tertekan. Mengutamakan personal aproach atau pendekatan individual dalam pembelajaran dengan memperhatikan kodatnya anak. Membuka peluang tumbuhnya inisiatif serta kemampuan anak untuk berbuat sesuatu. Apabila hendak “menghukum anak”, hendaknya dipikir masak-masak. Apakah hal itu akan menguntungkan anak atau sebaliknya ? Apakah dengan hukuman tidak berdampak menjauhkan hubungan antara guru dengan murid ? Apabila terpaksa harus menghukum, maka hendaknya tetap didasarkan pada rasa cinta dan dengan iktikad demi keselamatan anak itu sendiri. Hukuman bukan didasari oleh dendam atau untuk membuat jera (ngapokke), tetapi hukuman harus difahami untuk menunjukkan buahnya perbuatan. Hukuman adalah sebuah pembelajaran untuk konsekuen dan bertanggungjawab.

Untuk mengimplementasikan Sistem Among dalam pembelajaran, hendaknya diperhatikan substansinya. Hemat penulis, sedikitnya ada lima substansi dalam Sistem Among, ialah (1) sistem among adalah perwujudan dari sikap laku yang dijiwai oleh azas kekeluargaan, kemerdekaan dan pengabdian dengan mengingat kodrat iradatnya anak didik. (2) Sistem among membangkitkan jiwa merdeka dan rasa tanggungjawab dengan menjalin hubungan batin antara pendidik dan peserta didik atas dasar saling menghargai. (3) Sistem among menumbuhkan dan membuka kesempatan bagi peserta didik dan pendidik untuk berkreasi dan berprestasi dalamrangka memayu hayuning salira, memayu hayuning bangsa dan memayu hayuning manungsa. (4) Sistem among menciptakan suasana gembira dalam belajar dan bekerja, sehingga pembelajaran menjadi menarik bagi peserta didik dan pendidik. (5) Sistem among merupakan kebulatan sikap dan perilaku yang tercermin dari tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing ngarsa sung tuladha.

Akhirnya, perlu dikemukakan pendapat Prof. Dr. M. Sardjito tentang pelaksanaan Sistem Among yang tertuang dalam paragraf panjang berbunyi, “berikan kemerdekaan dan kebebasan kepada anak-anak kita; bukan kemerdekaan yang leluasa, namun yang terbatas oleh tuntutan kodrat alam yang hak atau nyata menuju ke arah kebudayaan, ialah keluhuran dan kebahagiaan hidup dan penghidupan masyarakat, maka perlulah dipakainya dasar kebangsaan, akan tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan”.

Dengan demikian, Sistem Among berpijak pada dua dasar, ialah kemerdekaan dan kodrat alam. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak sehingga dapat hidup merdeka, mandiri dan makarya. Sedangkan kodrat alam sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya menurut hukum evolusi. Semoga.-




Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan

Rabu, 09 September 2009

Pengelolaan Pendidikan


Efektifitas Anggaran Pendidikan
Ki Sugeng Subagya

PIDATO Presiden mengantar nota keuangan RAPBN dalam sidang DPR tanggal 14 Agustus 2009 yang melegakan diantaranya komitmen mewujudkan anggaran pendidikan 20 persen APBN.

Ada asumsi bahwa seluruh persoalan pendidikan di negeri ini akan terselesaikan dengan tersedianya dana yang besar. Asumsi inilah yang sejak mula dijadikan dalih menuntut tersedianya dana yang cukup untuk mengurus pendidikan. Ada pepatah bahasa Jawa jer basuki mawa beya. Tetapi jika pengelolaan anggaran mengabaikan efektifitas dan efisiensi, jangan-jangan salah kedaden, beya-nya tersedia tetapi basuki-nya tidak didapat.

Ketika efektifitas ingin diraih, ada saatnya harus menyandingkan antara kebutuhan dan keinginan. Begitulah kira-kira Ki Mohammad Said Reksohadiprodjo pernah menasehati penulis. Orang merasa makan enak ketika lapar, tidur nyenyak ketika ngantuk dan minum akan terasa berarti saat haus. Demikianlah ketika suatu aktifitas sudah menjadi kebutuhan.

Dalam keadaan tidak lapar orang harus makan, tidak haus harus minum dan tidak ngantuk terpaksa tidur. Tentu aktifitas yang demikian maknanya akan sangat dangkal dan hambar. Dalam keadaan yang demikianlah sesugguhnya suatu aktifitas sekadar memenuhi keinginan.

Dengan mengambil analogi nasehat Pak Said (sapaan akrab Ki Mohammad Said Reksohadiprodjo, wong Tamansiswa dan pernah menjabat Deputi Menteri P & K), sesungguhnya 20 persen APBN untuk pendidikan itu sekadar keinginan ataukah merupakan kebutuhan ?

Pemborosan
Pada tahun 2007 anggaran pendidikan telah mencapai angka Rp 78,5 triliun. Pada tahun 2008 meningkat dua kali lipat menjadi Rp 154,2 triliun. Dalam hitungan sederhana, jika 20 persen dari total belanja negara tahun 2009 sebesar Rp 1.122,2 triliun atau sebesar Rp 178,9 triliun, maka anggaran pendidikan tahun 2009 dengan penambahan Rp 46,1 triliun akan menjadi Rp 224 triliun.

Angka yang sangat fantastis. Tentu ngecake dana yang sangat besar itu tidak mudah. Disamping resikonya tinggi, ketidaktepatan memanfaatkan dana yang besar itu membuka peluang pemborosan.

Taruhlah contoh, seseorang pergi ke pasar dengan membawa uang yang banyak. Apapun dapat ia beli dengan uangnya itu. Banyak tersedia barang di pasar yang bisa dibeli. Tanpa perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan maka uang yang dibawanya habis untuk membeli barang yang hanya didasarkan atas keinginan.

Demikian halnya dalam membelanjakan anggaran pendidikan. Tanpa perencanaan yang matang yang didasari oleh kebutuhan, niscaya anggaran pendidikan yang besar tidak akan banyak bermanfaat untuk peningkatan mutu pendidikan.

Belajar dari Pengalaman
Harus diakui, sekalipun tidak sebesar 20 persen APBN, pemerintah selama ini telah mengalokasikan dana yang tidak sedikit untuk pembangunan pendidikan. Berbagai kegiatan pendidikan telah didanai dengan anggaran itu. Program wajib belajar pendidikan dasar, perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan, pemberantasan buta aksara, pendidikan kecakapan hidup, peningkatan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, dan lain-lain mendapat alokasi anggaran lumayan besar.

Jika efektifitas anggaran sebatas diukur dengan telah dikeluarkannya dana dari kas negara, maka dapat dipastikan seluruh dsana sudah sampai pada pos-nya. Namun benarkah dana itu penggunaannya tepat sasaran yang pada gilirannya mampu meningkatkan mutu pendidikan yang diinginkan ? Belum tentu

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) misalnya. Dapat dipastikan semua dana telah tersalurkan ke sekolah-sekolah. Tetapi di lapangan ditemukan penggunaan dana yang tidak tepat sasaran. Tidak sedikit sekolah yang menganggap bahwa BOS adalah dana hibah. Akibatnya BOS didapat, sekolah masih mengeruk dana masyarakat yang tidak sedikit. Pada hal, salah satu tujuan BOS adalah untuk membebaskan atau mengurangi beban masyarakat menanggung biaya pendidikan.

Untuk itulah, seharusnya peningkatan anggaran pendidikan yang besar agar terjamin efektifitasnya diperlukan perencanaan yang matang. Mengutip pendapat Daoed Joesoef, yang mantan Mendikbud itu, dalam mengelola pendidikan mestinya konsep dulu, baru uang. Hal ini berarti perencanaan kegiatan pendidikan merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Jangan berharap Sekolah dan Dinas Pendidikan dapat memperoleh anggaran pendidikan tanpa terlebih dahulu menyusun perencanaan yang baik.

Sekolah harus menyusun Rencana Pengembangan Sekolah (RPS), Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota harus menyusun Rencana Pengembangan Pendidikan Kabupaten/Kota (RPPK), Dinas Pendidikan Provinsi harus menyusun Rencana Pengembangan Pendidikan Provinsi (RPPP) dan Departemen Pendidikan harus menyusun Rencana Pengembangan Pendidikan Nasional (RPPN). Dengan demikian tidak ada anggaran dapat dicairkan tanpa perencanaan yang disusun berdasarkan atas kebutuhan.


Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan
----------------------
Dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Selasa 8 September 2009