Laman

Minggu, 20 Juni 2010

Pendidikan Ketamansiswaan

PERINGATAN HARI LAHIR PANCASILA :

Peran Ki Hadjar Dewantara dan Rekonsiliasi Nasional

Oleh : Ki Sugeng Subagya


Banyak orang mengatakan bahwa bulan Juni adalah bulan-nya Bung Karno. Itu lho, Bapak proklamasi dan presiden pertama Republik Indonesia, DR. Ir. Soekarno. Betapa tidak, coba kita perhatikan: tanggal 6 Juni (1901) Bung Karno dilahirkan, tanggal 2 Juni (1970) beliau wafat. Dan yang tidak boleh dilupakan, pada tanggal 1 Juni (1945) Bung Karno menyampaikan pidato tentang Pancasila, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).



Hakikat isi pidato itulah yang sampai sekarang dikenal sebagai Pancasila dasar Negara Republik Indonesia. Ternyata, ada peran yang tidak kecil dari Ki Hadjar Dewantara atas rumusan pidato Bung Karno tersebut, terkait dengan lahirnya Pancasila. Untuk itu, sembari bermaksud memperingati hari lahir Pancasila, ada baiknya diungkap kembali peran Ki Hadjar Dewantara atas lahirnya Pancasila dan hikmah apa yang dapat dipetik dari peringatan tersebut

.

Cuplikan Sejarah

Perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah, sampai dengan tahun 1908 boleh dikatakan selalu mengalami kegagalan. Meskipun penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942, tetapi sejak saat itu pula Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang.

Masa penjajahan Jepang tidak terlalu lama, oleh karena pada tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah dalam perang melawan Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944.


Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura)

Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan BPUPKI. Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.


Dalam sidang BPUPKI pertama, yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar Negara. Bung Karno mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka dalam pidatonya, yang terdiri atas lima hal, ialah :

1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)

2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)

3. Mufakat atau Demokrasi

4. Kesejahteraan Sosial

5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila.

BPUPKI terdiri dari sekitar 60 tokoh penting bangsa Indonesia dari berbagai lapisan masyarakat. Di antaranya terdapat nama-nama Dr. Radjiman Wediodiningrat, Ki Hadjar Dewantara, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim, dan K.H. Masykur.

Usulan Bung Karno mengenai dasar negara itu mendapat sambutan hangat dari para anggota BPUPKI. Setelah Bung Karno usai berpidato, Ki Hadjar Dewantara minta bicara dan beliau menganjurkan kepada seluruh sidang: "Saudara-saudara sekalian, mari kita terima seluruhnya apa yang diusulkan oleh Bung Karno ini." Padahal Ki Hadjar Dewantara sebelumnya mengusulkan beberapa dasar negara yang lain.

Usulan Bung Karno tentang dasar negara ini, setelah melalui beberapa kali pembahasan, akhirnya melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI (Dokuritu Zyunbi Iin Kai) tanggal 18 Agustus 1945 disahkan menjadi dasar negara Republik Indonesia. Kalau ditinjau secara hukum, pengesahan ini dilakukan karena dicantumkan di dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar Tahun 1945 (UUD-1945) sebagai konstitusi negara pada aleinea IV.


Istilah Lahirnya Pancasila

Istilah Hari “Lahirnya Pancasila” timbul karena Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1946 mengusulkan kepada Bung Karno agar pidato beliau tanggal 1 Juni 1945 ditulis dalam sebuah teks yang lengkap dan diterbitkan menjadi buku. Setelah langkah itu final beliau bertanya kepada Bung Karno, buku ini sebaiknya diberi judul apa? Bung Karno Menjawab “beri saja judul Lahirnya Pancasila”! Sejak masa itulah tanggal 1 Juni diberi arti sebagai Hari “Lahirnya Pancasila”.

Dari nukilan sejarah di atas, jelaslah bahwa Ki Hadjar Dewantara memiliki peran besar dan sangat penting atas terwujudnya Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Hal itu setidaknya tampak dalam menyikapi pidato Bung Karno yang bersisi substansi Pancasila, dan istilah lahirnya Pancasila serta penetapan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. Tidak salah kiranya jika setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila.



Momentum Rekonsiliasi

Setiap peristiwa pasti ada hikmah yang dapat dipetik. Demikian halnya dengan Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun 2010 ini. Seorang jurnalis surat kabar bahkan menggambarkannya dengan sangat dramatis. “Peringatan hari lahir Pancasila ke-65 pada 1 Juni 2010 , berlangsung sungguh hikmah dan perlu untuk diacungi jempol karena ditandai dua momentum yaitu, dalam bidang pemerintahan dan politik”.

Dalam bidang pemerintahan satu langkah maju yang di tempuh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyampaikan pidato khusus untuk memperingati hari lahir Pancasila dasar negara Republik Indonesia tersebut. Inilah untuk pertama kali seorang presiden Republik Indonesia memberikan pidato khusus Peringatan Hari Lahir Pancasila sejak pemerintahan orde baru tumbang.

Dalam dimensi politik, peringatan hari lahirnya Pancasila menjadi momentum rekonsiliasi antar tokoh-tokoh nasional pemimpin bangsa. Betapa tidak, dalam pidatonya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menyapa dan mengucapkan terimakasih kepada mantan Presdien ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri. Selama ini kedua tokoh nasional ini selalu berseberangan bahkan cenderung mengarah ke “perang dingin.” Jarang, sebuah acara dihadiri oleh kedua tokoh ini. Meski acara upacara kenegaraan peringtan detik-detik proklamasi sekalipun misalnya.

Bagi rakyat kebanyakan, peristiwa tersebut adalah sesuatu yang sangat baik, setidaknya sebagai suri tauladan hidup untuk saling menghormati dan saling menghargai. Meski beda pendapat sekalipun, hendaknya sikap saling menghargai dan saling menghormati tidak terhalang olehnya. Cara-cara hidup yang demikian tentu akan berdampak timbulnya rasa tenteram dan damai sebagai digambarkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai masyarakat yang tertib damai atau tata tentrem.

Hikmah lain yang dapat dipetik, hendaknya seluruh bangsa Indonesia benar-benar memperhatikan himbauan Presiden dalam pidatonya. “Sudah cukup kiranya mempermasalahkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia”. Hal ini berarti bahwa mempersoalkan Pancasila sebagai
ideologi dan dasar Negara adalah perbuatan percuma yang tidak berarti. Faktanya Pancasila adalah kontrak sosial sebuah bangsa yang bersifat final.


Di lingkungan satuan pendidikan, tugas selanjutnya ialah memantapkan penanaman nilai-nilai Pancasila kepada peserta didik. Paling tidak setiap hari Senin dalam upacara bendera di Sekolah akan terdengar peserta upacara menirukan pembacaan teks Pancasila oleh Pembina Upacara.

Demikianlah, tidak sia-sia memiliki Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara bagi bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya disyukuri dan tidak diingkari. Semoga.-

Rabu, 16 Juni 2010

Adiluhung

Serat Trilaksita, wiji lan panggulawenthah

Dening : Ki Sugeng Subagya


Senadyan mboten kondhang kados dene Ranggawarsita, Jasadipura, punapa dene pujangga-pujangga sanesipun, duk ing uni, Kraton Surakarta gadhah abdi dalem ingkang ugi baut nyerat. Inggih punika Mas Ngabehi Mangunwijaya. Ing taun 1916, penjenenganipun nganggit serat ”Trilaksita” ingkang dipun terbitaken dening Volkslectuur, Weltevreden. Serat punika namung awujud karangan fiksi ingkang mboten wonten kedadosan yektinipun, semantena ngemot piwulang luhur tumraping bebrayan utaminipun panggulawenthah wulang wuruk.


Dipun cariyosaken ing serat punika, kawontenaning gesang saha panggesanganipun paraga tiga ingkang nama Raden Hardaka, Jaka Madyana, saha Jaka Mulyana. Tetiga taruna punika makarya ing bebadan peprentahan kabupaten ingkang sami. Semantena gesang saha panggesanganipun mboten sami ing antawisipun setungal lan setunggalipun. Sedaya wau kedadosan karana sanguning gesang ingkang benten saha watak wantu budi pekerti ingkang mboten tuwuh nalika ginulawenthah. Wusana, paraga ingkang setunggal kejeblos ing comberan kanisthan, paraga ingkang angka kalih gesang limrah sakmadya, lan paraga ingkang pungkasan saged mancik ing tataran kautaman gesang.


Kacariyos Raden Hardaka, pinangka paraga sepisan, putranipun Raden Tumenggung Setianegara, sanget dipun ugung dening ramanipun ingkang anjawat bupati. Gesang sarwa sarwi sekeca, sedaya ingkang dipun kersakaken tansah wonten. Pungkasanipun dados lare ingkang keset sinau saha patrapipun klelat-klelet njuwarehi. Ugungan ndadosaken patrapipun Raden Hardaka deksura, kumingsun, saha ugal-ugalan.


Sak surutipun ingkang rama, kalenggahan bupati dipun asta raka pembayunipun. Sewaunipun Raden Hardaka ndherek ingkang raka. Amit saking raos pekewuh, Raden Hardaka sedya misah saking ingkang raka, suwita dhateng ingkang paman ingkang ugi anjawat bupati, asma Raden Tumenggung Kartipradja.


Paraga ingkang angka kalih inggih Jaka Madyana. Wiranem saking padesan anakipun setunggaling guru ngaji. Sareng sampun ngancik yusma kalih windu, ndherek bapa pamanipun ingkang anjawat wedana, asma Gunasaraya. Sedyanipun Gunasaraya, tembe Jaka Madyana dipun dherekaken magang supados dados priyayi. Sedya wau saged kasembadan karana piyambakipun ginulang ing kawruh tata kaprajan lan pepentrahan. Emanipun, Jaka Madyana sok kalimput, kekudhung dhumateng kalenggahanipun wedana Gunasaraya. Kejawi punika karemenanipun tetanen saha nyinau ngelmu agami mboten saged dipun uwalaken saking gesang padintenanipun.


Paraga ingkang angka tiga inggih Jaka Mulyana. Wiranem punika senadyan dedunung ing padesan ananging temenipun putra satunggaling bupati saking garwa selir. Wiwit timur, gesang saha panggesanganipun lumampah kanthi prihatos. Adrenging manah, ing tembe sedya gesang ingkang langkung sekeca. Pambudidaya nggegulang ngelmu katuranggan lan kawaskithan dipun sengkut. Sinengkuyung dening ingkang ibu, pangertosan saha kawegiganipun langkung pinunjul tinimbang lare-lare sanes ingkang sami yuswanipun. Seni tari, tembang, sastra Jawa, basa Melayu, basa Walandi, lan nabuh gangsa dipun pratitisaken. Kepara kedah lumampah tebih saking papan dunungipun namung sedya tumut kursus. Serat-serat ajipamasa, panitisastra, panitisruti, wulang reh, sana sunu, lan wedharaga dipun sinau saestu.


Ringkesing cariyos, tetiga wiranem kalawau saksampunipun ngancik yuswa diwasa sedya suwita dhateng Bupati Kartipradja. Pasuwitanipun tinampi. Tetiga dados magang.


Bidhalipun wiranem tetiga saking papan dunungipun piyambak-piyambak tumuju ing kabupaten, dipun sangoni wejangan dening tiyang sepuhipun. Raden Hardaka dipun wejang dening ingkang raka. Jaka Madyana dipun wejang dening ingkang paman. Jaka Minulya dipun wejang dening ingkang ibu.

Mesthi kemawon isi lan cara mejangipun ing antawis setunggal lan setunggalipun mboten sami. Namung wos ingkang dipun wejangaken wonten emperipun. Umpaminipun, tiyang ingkang suwita ing peprentahan sampun ngantos gadhah penganggep bilih piyambakipun pinangka priyagung, senadyan suwitanipun dhateng sedherek piyambak. Kejawi punika, suwita mekaten kedah dipun tegesi ngawula ingkang kumawula. Sikep kumawula linambaran dening guna, sarana, sekti, wani, lan miturut. Patrapiun linambaran taberi, setiti, ngati-ati, sregep, temen, lan tumemen.


Patrap ingkang kedah dipun awisi dening tiyang ingkang suwita inggih punika, nistha, dustha, culika, dora, drengki, srengkara, lan candhala. Kejawi punika kedah ugi ngawisi kebluk, lebuh, blubuh, kethuh, bariwah, wuru, ulah mbandrek, lan anjejamah. Nilaraken madat, minum, main, madon, lan maling saestu pakarti ingkang sakalangkung minulya.


Wangsul dhateng lajering cariyos serat Trilaksana. Gancaring cariyos, anggenipun sami magang sampun purna. Pramila lajeng katetepaken dados abdi dalem ing kabupaten kartipradjan.


Jaka Mulyana, karana sangu kawegigan, kesagedan, lan bontos ing kawruh, pramila laju inggahing pangkatipun lumintir. Kawiwitan dados mantri, lajeng asisten wedana, wedana, patih, ngantos dados bupati.


Wondene Raden Hardaka lan Jaka Madyana ugi minggah pangkatipun ngantos asisten wedana. Parandene, karana raden Hardaka gesang lan panggesanganipun ingkang ugal-ugalan, patrapipun kumingsun, deksura, lan nglampahi main, madat, minum, madon, lan maling, wusana kalenggahan asisten wedana kapocot.


Jaka Madyana, ingkang wiwit sekawit estu nggegulang ing babagan tetanen lan ngelmu agami, pramila lajeng rumaos mboten trep ngasta ing peprentahan. Wusana lajeng nyuwun lereh saking asisten wedana, wangsul dhateng ndhusun oleh tetanen lan mucal ngaji.


Kautaman ingkang saged dipun pethik saking cariyos serat Trilaksita, bilih tiyang punika minulya gesang lan panggesanganipun karana patrapipun. Tiyang padhe kajen keringan menawi patrapipun sae saha luhur budipekertinipun. Patrap lan luhuring budi gumantung dhumateng kalih prekawis, inggih punika wiji saha panggulawenthah.


Miterat Ki Hadjar Dewantara, wiji sinebat pinangka “dhasar”, wondene panggulawenthah sinebat pinangka “ajar”. Kekalihipun mboten ngawisi setunggal lan setunggalipun. Tegesipun “dhasar” mboten langkung wigati tinimbang “ajar”, semanten ugi kasakwangsulipun. Wijinipun sae, parandene mboten dipun gulawenthah kanthi sae, tangeh lamun badhe sae kedadosanipun. Semanten ugi, panggulawenthah ingkang sae, nanging wijinipun mboten sae, mboten saged dipun pesthekaken badhe sae pungkasanipun. Badhe langkung sampurna bilih “dhasar”-ipun sae, “ajar”-ipun inggih sae.


Kridha njagi wiji saha panggulawenthah supados tetep sae punika yektinipun kewajiban ingkang kedah dipun sangkul dening tiyang sepuh, guru, punapa dene pngarsaning bebrayan.

Pendidikan Kemandirian

Pendidikan Nasional yang Memandirikan
Oleh : Ki Sugeng Subagya


Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional dengan maksud memberikan penghargaan atas jasa dan pengabdian Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889-26 April 1959) yang telah meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional di Indonesia. Pendidikan merdeka yang memandirikan adalah konsep dasar pendidikan nasional yang dirancang Ki Hadjar Dewantara.

Pendidikan Merdeka
Menentang kolonialisme dan feodalisme dengan perjuangan politik hanya akan mampu mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Menanamkan jiwa merdeka melalui pendidikan nasional, disamping akan mampu mengantar ke depan pintu gerbang merdeka, sekaligus memberi modal mengisi kemerdekaan

Pendidikan mempunyai tugas menanamkan jiwa merdeka. Pada gilirannya, jiwa merdeka yang tertanam adalah basis pembangunan bangsa. Hanya pendidikan yang memerdekakan yang mampu menanamkan jiwa merdeka.

Arah pembangunan jiwa merdeka telah jelas. Sebagaimana pesan Bung Karno, bangsa Indonesia harus (1) berdaulat secara politik, (2) berdikari secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara kebudayaan. Satu dasawarsa sebelumnya, Ki Hadjar Dewantara memberikan panduan bangsa merdeka melalui tembang “Wasita Rini”. Penggalan pupuh ketiga tembang itu berbunyi “mardika iku jarwanya, nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa, amandhiri priyangga”. Maknanya kurang lebih, merdeka itu artinya tidak hanya lepas dari perintah orang lain. Tetapi harus kuat dan mampu mengatur diri sendiri atau mandiri.

Dalam hal ini, tiadalah mungkin merdeka hakiki direngkuh jika tidak mandiri. Untuk dapat mandiri maka harus makarya. Sebab dengan makarya orang akan mampu memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, keluarga dan mengambil peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Intelektualisme Pengajaran
Diakui atau tidak, kini pendidikan nasional kita masih didominasi oleh pengajaran. Ketika pendidikan terkungkung oleh pengajaran, maka intelektualisme tidak dapat lagi dihindari.

Setidaknya, indikasi intelektualisme nampak dalam kelulusan dan kenaikan kelas yang diukur dari capaian angka-angka kognitif semata dan mengabaikan sikap, perilaku, budi pekerti apalagi kecakapan motorik peserta didik. Pengajaran yang seharusnya hanya menjadi bagian dari pendidikan malah mengambil peran lebih dominan.

Jika kemudian tamatan sekolah tidak mampu berkarya di masyarakat, merupakan konsekuensi logis dari berkuasanya pengajaran terhadap pendidikan. Seharusnya pendidikan nasional bertugas membimbing insan yang memiliki kepandaian dan kecakapan yang berguna bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.

Melihat gerak langkah pembangunan pendidikan kita dewasa ini, harus diakui bahwa sudah banyak kemajuan yang dicapai. Berbagai prestasi regional dan internasional banyak didapat oleh anak-anak bangsa Indonesia. Tetapi, jika dikaitkan dengan tujuan akhir pendidikan merdeka menuju kemandirian, kita masih harus terus bekerja keras untuk mewujudkannya. .

Tidak sedikit lulusan sekolah yang terpaksa menganggur. Keluar masuk kantor menenteng map berisi lamaran kerja. Mereka tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Jangankan lapangan pekerjaan untuk orang lain, untuk dirinya sendiri saja tidak ada kemampuan. Dalam kenyataan, mereka menggantungkan diri kepada “pemerintah”. Tidak mampu bernisiatif dan bekerja tanpa diperintah orang lain.

Kegagalan mendidik insan mandiri nampak jelas dari tidak dimilikinya rasa percaya diri. Bukan hanya setelah lulus para siswa tidak percaya diri. Sejak di bangku sekolah mereka sangat tergantung orang lain. Fenomena menyontek sampai dengan kecurangan-kecurangan lain dalam peneyelanggaraan ujian adalah bukti tidak percaya diri. Hal ini diperparah oleh sikap beberapa oknum pendidik yang tidak responsif menanggulangi kecurangan, tetapi tidak sedikit diantara mereka malah terlibat dalam praktik kecurangan itu.

Lihatlah, betapa sibuknya orangtua murid mengintervensi sekolah anak-anaknya. Antrean panjang di loket Pendaftaran Siswa Baru bukan dijejali oleh para calon murid, tetapi didominasi orangtua murid. Belum lagi keinginan-keinginan setengah memaksakan kehendak orangtua untuk pendidikan anak-anaknya. Dari memilih sekolah, memasukkan sekolah sebelum usianya, memaksa anak harus naik kelas meski kemampuannya belum cukup, dan sebagainya.

Di samping itu, kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan akhir-akhir ini kental nuansa otoritas. Seolah-olah pemerintahlah yang paling tahu dan mampu menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Salah satu akibatnya semua hal tentang pendidikan serba diatur tanpa memberikan peluang otonomi. Penyelenggaraan pendidikan mengarah pada konformitas. Konformitas itulah yang berbahaya, sebab dapat mematikan identitas diri. .

Akhirnya, dalam peringatan hari pendidikan nasional ini, kiranya perlu diingat pesan Ki Hadjar Dewantara “pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidup lahir, sedangkan merdekanya batin didapat dari pendidikan.” Dirgahayu Pendidikan Nasional.

Penulis adalah Pamong Tamansiswa tinggal di Yogyakarta

Artikel ini dimuat Kantor Berita Indonesia GEMARI bulan Mei 2010
http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=5655

Etika Berlalulintas

Pembelajaran Etika Berlalulintas
Ki Sugeng Subagya

Kementerian Pendidikan Nasional bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia segera merealisasikan pendidikan berlalulintas dalam pendidikan nasional. Nota kesepahaman tentang hal itu telah ditandatangani Mendiknas dengan Kapolri di Jakarta beberapa waktu lalu.


Latar Belakang
Perilaku berlalulintas masyarakat kita buruk. Cara menggunakan jalan dalam berlalulintas adalah cermin dari budaya bangsa. Kesantunan dalam berlalu lintas yang dilakukan adalah potret kepribadian diri yang sekaligus menggambarkan budaya bangsa. Kalau buruk cara kita berlalulintas maka buruklah kepribadian kita dan secara kolektif keburukan ini menggambarkan buruknya budaya bangsa.

Salah satu indikator buruknya perilaku berlalulintas adalah tingginya pelanggaran terhadap norma-norma berlalulintas yang ditunjukkan oleh perilaku berlalu lintas yang tidak aman dan mengabaikan sopan santun menggunakan jalan raya. Sebagai akibat lanjutannya, angka korban kecelakaan lalulintas dari tahun ketahun meningkat seiring dengan tingginya angka kecelakaan lalu lintas itu sendiri.

Menurut Kapolri, pada tahun 2007 terdapat 20.000 orang korban kecelakaan lalulintas. Angka itu naik menjadi 20.188 orang pada tahun 2008. Tahun 2009, lebih tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000 orang. Lima persen dari jumlah korban kecelakaan lalu lintas adalah pelajar dan mahasiswa.

Untuk itu pendidikan berlalulintas perlu diberikan kepada para pelajar, terutama tentang etika berlalulintas. Hal ini tidak semata untuk mengurangi angka korban kecelakaan semata, tetapi yang lebih penting adalah membangun karakter peserta didik.

Strategi Pembelajaran
Di negara yang menganut azas tertib berbangsa dan bernegara, cara berlalulintas yang baik dan benar diajarkan di sekolah sejak dini. Pendidikan berlalu lintas adalah proses untuk melatih diri menghargai hak-hak orang lain, dan etika pergaulan memanfaatkan fasilitas publik yang baik.

Kalau sejak kecil sudah tidak menghargai hak-hak orang lain, dan tidak berpegang pada etika dalam memperlakukan orang lain, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan perilaku yang biasa mengambil hak-hak orang lain atau korup kelak kemudian hari.

Meskipun anak-anak usia dini belum tahu bahaya di jalan raya. Tetapi paling tidak, ia faham betapa sakitnya terjatuh di jalan. Lebih dari itu, menanamkan tingkah laku tertib di jalan, sekaligus menanamkan nilai tenggang rasa. Tidak hanya demi keselamatan pribadi tetapi juga orang lain.

Memberi pengetahuan tentang etika berlalu lintas sudah baik, tetapi belum cukup untuk membenahi perilaku buruk berlalu lintas. Oleh karena itu wujud pendidikan etika berlalu lintas harus diperjelas. Implementasinya bukan hanya pada ranah kognitif saja, melainkan harus berdampak positif terhadap ranah afektif dan psikomotorik yang berupa sikap dan perilaku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

Ada baiknya, pembelajaran etika berlalulintas dirujukkan kepada hakikat belajar. Menurut Ki Hadjar Dewantara, hakikat belajar sebagai proses adalah niteni, nirokke, dan nambahi. Sedangkan hakikat belajar sebagai hasil adalah ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Untuk itu diperlukan figur teladan yang tidak hanya dapat memberi contoh, tetapi lebih dari itu harus dapat menjadi contoh. Menjadi contoh menuntut konsekuensi yang lebih berat daripada sekadar memberi contoh. Oleh karena itu, peran orangtua, guru, pemimpin formal dan non-formal dituntut menjadi teladan dalam perilaku berlalulintas.

Sesungguhnya, pembelajaran etika berlalulintas adalah bagian dari pendidikan watak. Pendidikan watak, kerangka besarnya adalah membangun karakter. Dengan demikian pembelajaran etika berlalulintas harus berbasis pendidikan karakter.

Di antara banyak pendekatan pendidikan berbasis karakter, setidaknya dapat dipilih dua macam strategi pembelajaran. Pertama, pengintegrasian dalam kegiatan sehari-hari, yang dilakukan melalui keteladanan, kegiatan spontan, pengondisian lingkungan, dan kegiatan rutin. Dengan demikian materi pembelajarannya tidak harus diintegralkan dalam matepalejaran dan/atau dituang dalam matepelajaran tersendiri. Nilai-nilai etika berlalulintas ditanamkan menyatu dengan aktifitas peserta didik sehari-hari.

Kedua, pengintegrasian dalam kegiatan yang diprogramkan. Hal ini dilakukan oleh guru manakala guru menganggap perlu memberikan pengetahuan prinsip-prinsip etika berlalu lintas. Dalam hal ini meteri pelajaran dapat disisipkan pada berbagai matapelajaran yang sudah ada.

Keduanya terdapat kelebihan dan kelemahannya. Salah satu kelemahan jika diintegrasikan pada matapelajaran yang sudah ada yang sudah sangat sarat muatan, bukan tidak mungkin pembelajaran etika berlalulintas akan menambah beban belajar peserta didik dan kesulitan guru dalam mengimplementasi pembelajaran. Jika hal itu yang terjadi, bukan hanya pembelajaran etika berlalulintasnya yang gagal, tetapi proses pembelajaran justeru tidak efekif karena tidak fokus.

Perlu direnungkan, sebagai bagian dari upaya membangun karakter, pendidikan berlalulintas seharusnya tidak hanya transfer of knowledge, tetapi lebih dari itu harus didominasi oleh transfer of values. Oleh larena itu pendidikan berlalulintas ditekankan dalam upaya membangun karakter dan budaya berlalulintas.-

Artikel ini dimuat Majalah GEMARI Edisi Bulan Mei 2010
http://www.gemari.or.id/artikel/file/edisi112/gemari11232.pdf

Pendidikan Karakter

Esensi Pendidikan Karakter

Ki Sugeng Subagya


Pendidikan karakter sebagai tema pokok peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010 menginspirasi banyak pihak untuk merevitalisasi pendidikan karakter. Pendidikan karakter diangkat sebagai isu utama pembangunan pendidikan nasional dewasa ini. Ini adalah hal yang sangat baik, setidaknya ada kesadaran bahwa disengaja atau tidak, selama ini pendidikan karakter telah terabaikan.


Merevitalisasi pendidikan karakter tentu bukan pekerjaan mudah. Terlebih ketika perjalanan pendidikan nasional telah sampai pada lintasan yang kental muatan intelektualisme. Bukan bermaksud menafikkan pendidikan intelektual, tetapi ketika intelektualisme telah mendominasi pendidikan kita, dipastikan aspek kognitiflah pemenangnya, sedang aspek afektif dan psikomotorik tidak kebagian tempat.


Penting kiranya merevitalisasi pendidikan karakter dikaji dari konsep dasarnya untuk diketahui karakteristiknya.


Pada awalnya, pendidikan karakter muncul sebagai respon atas ketimpangan pendidikan naturalis dan instrumentalis ala JJ. Rousseau dan John Dewey. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Pendidikan karakter adalah upaya menghidupkan pendidikan ideal-spiritual yang saat itu telah lenyap oleh pendidikan yang intelektualistis. Dimensi pendidikan karakter harus bergerak dari determinasi natural ke pendidikan personal dengan pendekatan psiko-sosial yang humaniter dan integral. Barangkali inilah yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai pendidikan yang membangun watak melalui proses niteni, nirokke, dan nambahi, untuk ngerti, ngrasa, dan nglakoni.


Oleh karena itu hakikat pendidikan karakter adalah pembentukan pribadi yang utuh esensial dalam sikap dan perilaku peserta didik. Karakter menjadi identitas bagi individu dalam kapasitas subyek. Kematangan karakter merupakan manifestasi kualitas pribadi seseorang.


Untuk mengukur kematangan karakter seseorang, seorang ahli didik bangsa Jerman FW Foerster (1869-1966), mengemukakan empat ciri dasar, ialah (1) setiap tindakan diukur berdasar tataran hirarki nilai, (2) keberanian memegang teguh prinsip dan tidak lari atas resiko, (3) internalisasi nilai-nilai dan norma-norma di luar diri sehingga integral dengan kepribadiannya, dan (4) keteguhan dan kesetiaan dalam memegang teguh cita-cita kebaikan dan penghormatan atas pilihan yang telah ditetapkan.


Nilai merupakan pedoman normatif setiap sikap dan tindakan. Keteguhan dalam memegang prinsip menjadikan seseorang “jejeg” dan “kukuh” untuk tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan apapun. Internalisasi atas nilai-nilai dan norma-norma memberikan kemampuan menilai dalam pengambilan keputusan tanpa intervensi pihak lain. Sedangkan keteguhan merupakan daya tahan untuk meyakini apa yang dipandang baik dan komitmen yang kuat untuk keputusan yang telah dipilih.


Pendidikan di Indonesia yang sedang berlangsung belum dapat dikatakan memiliki karakteristik pendidikan karakter. Dalam tataran praksis, pengajaran belum sampai kepada pembelajaran. Rata-rata para guru sebatas mengajarkan hafalan yang tidak lebih hanya menghasilkan peserta didik yang meng-copy paste pelajaran. Ujian tidak mampu mengeksplorasi pemikiran kritis, argumentatif berbasis logika yang kuat. Apalagi untuk sampai kepada pendidikan sebagai kinerja budaya yang religius dalam kehidupan masyarakat, tentu masih jauh dari harapan.


Jika revitalisasi pendidikan karakter dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka pendidikan berbasis kompetensi yang dikembangkan harus tidak mengesampingkan kompetensi pribadi dan komptetensi sosial yang religious. Kompetensi IPA, matematika, kimia, fisika, biologi, geografi, teknologi informasi, dan sejenisnya, harus seiring dengan kompetensi karakter dan kompetensi keterampilan.


Tampaknya, taksonomi Benjamin S. Bloom dengan dimensi cognitive, afektif, dan psikomotorik, dan/atau trisakti jiwa Ki Hadjar Dewantara dengan dimensi daya cipta, rasa, dan karsa, perlu digali kembali sebagai pijakan pendidikan karakter yang memiliki karakteristik pengembangan potensi humanities yang serasi, selaras, dan seimbang.


Lebih dari itu, meskipun dukungan lingkungan diperlukan dalam pendidikan karakter, namun bukan berarti tanpa dukungan lingkungan, pendidikan karakter harus terabaikan. Logika yang demikian harus dibalik, melalui pendidikan karakter lingkungan harus dipaksa berubah menjadi wahana perwujudan kesalehan pribadi menjadi kesalehan publik. Semoga.-


Catatan :

Artikel ini dimuat Harian Pikiran Rakyat Bandung, Senin 14 Juni 2010