Laman

Senin, 23 Maret 2009

Supersemar

Memetik Hikmah Supersemar
Oleh : Ki SUGENG SUBAGYA

SETIAP sekitar tanggal 11 Maret, perhatian masyarakat tertuju pada pemenuhan rasa ingin tahu tentang keberadaan dokumen asli supersemar. Fakta sejarah menunjukkan, pada 11 Maret 1966 telah terjadi pergantian kekuasaan Republik Indonesia dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto. Peristiwa itu ditandai dengan terbitnya surat perintah sebelas maret (sepersemar). Hingga kini dokumen asli supersemar tidak diketahui keberadaannya. Implikasinya, keberanan isi supersemar dipertanyakan.

Ketidakjelasan atas keberadaan dokumen asli, menyebabkan banyak versi tentang supersemar. Bagi sebagian masyarakat, supersemar adalah perintah dari presiden Soekarno sebagai pemimpin tertinggi revolusi kepada Menteri Panglima Angkatan Darat, Soeharto, untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu guna stabilisasi situasi sosial politik saat itu. Hal ini didorong oleh carut-marut kondisi sosial politik pasca pemberontakan G30S/PKI.

Bagi sebagian masyarakat yang lainnya menganggap bahwa supersemar adalah rekaan belaka. Seolah-olah dengan dalih supersemar telah terjadi kudeta secara halus. Soeharto telah melakukan kudeta yang terencana sistematis kepada pemerintahan Soekarno.

Pro dan kontra tentang supersemar berlanjut. Hampir setengah abad, masyarakat digiring masuk dalam dua kelompok persepsi yang berbeda. Keadaannya seperti dihadap-hadapkan, bahkan cenderung dibiarkan saling berhadapan. Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin pada saatnya dapat menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa. Jika hal ini terjadi, bangsa ini sangat dirugikan. Yang diuntungkan justeru mereka yang tidak menginginkan bangsa ini tetap utuh bersatu.

Sesungguhnya, dalam konteks kekinian, mempersoalkan supersemar sebagai fakta sejarah dan strategi politik bagai berebut pepesan kosong. Rebut balung tanpa isi, demikianlah orang Jawa menyebutnya. Seandainya dokumen asli supersemar ditemukan dan ternyata membuktikan memang benar ada peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto secara tragis, apa yang akan dapat kita perbuat ? Seandainya pula Soeharto sebagai pengemban supersemar telah melakukan penyimpangan atas kewenangan yang diberikan oleh presiden Sukarno, mau apa kita ? Meskipun kemudian dikalukan pengadilan politik, tetapi karena hampir semua pelakunya sudah meninggal dunia, maka yang demikianpun menjadi mustahil.

Barangkali, bagi generasi sekarang, yang paling bermanfaat jika dokumen asli supersemar ditemukan tidak lebih sebatas pelurusan sejarah. Inilah yang paling penting untuk pembelajaran kita sebagai bangsa. Sebagai peristiwa sejarah, supersemar tidak terbantahkan. Jika kemudian terjadi tarik ulur beda pendapat, tentu bukan peristiwa sejarahnya yang harus dipersoalkan. Supersemar sebagai perbincangan strategi politik adalah masa lalu yang sudah menjadi catatan sejarah. Tugas para sejarawanlah sekarang ini untuk menemukan dokumen asli supersemar, bukan untuk dipersoalkan, tetapi sebagai fakta sejarah sekaligus pelurusan sejarah.

Bagi sebagian besar masyarakat awam, jika dokumen asli supersemar ditemukan, sebenarnya tidak lebih hanya akan menjawab perasaan ingin tahu. Setidaknya perasaan penasaran mereka akan terjawab. Bahkan mungkin ada yang sekadar ingin mendengar jawaban atas pertanyaan misterius dari waktu ke waktu tentang keberadaan dokumen supersemar. Yang demikian ini dapat dipastikan jauh dari implikasi politik, hukum bahkan akademis.
Masih ada hikmah yang dapat dipetik dari supersemar. Dalam kacamata pendidikan, inilah pentingnya kita belajar sejarah. Tidak mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya, apa lagi lebih dari dua kali, adalah ciri orang terdidik yang cerdas dan bijak. Meneruskan cita-cita luhur bangsa adalah kewajiban setiap warga bangsa. Tiadalah berguna selalu mengungkit luka lama, salah-salah malah menjadi pemicu pertikaian. Giringlah persepsi bangsa ini bukan dalam suasana perbedaan untuk dipertentangkan, tetapi dari persepsi yang berbeda itu dijalin kerjasama untuk mengarah pada tujuan tertinggi yang sama.

Secara teknis, harus disadari betapa pentingnya arti sebuah dokumen. Dokumen, harus dikelola dengan baik karena memiliki peranan penting bagi kehidupan. Dokumen yang dikelola dengan baik akan bermanfaat bagi generasi mendatang. Segala aktivitas yang dilakukan suatu generasi harus dipertanggungjawabkan kepada generasi berikutnya. Pertanggungjawaban itulah perlunya sebuah dokumen. Bukankah generasi berikutnya adalah penerus estafet perjuangan membangun bangsa agar menjadi lebih baik ? Semoga.-

Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan

JAIPONGAN



Jaipongan sebagai Puncak Kebudayaan Jawa Barat
Ki Sugeng Subagya


Meskipun tari jaipongan termasuk dalam kategori tari kreasi baru, tetapi karena digubah merujuk pada tari tradisi yang sudah ada sebelumnya, maka nuansanya sangat kental dengan pakem tari yang baku.


Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Gubernur Jawa Barat menyampaikan himbauan lisan agar penari jaipongan untuk tidak memakai baju lekbong (baju di atas batas ketiak ke atas) dan mengurangi unsur 3G (goyang, gitek dan geol). Alasannya sederhana, banyak orang yang terganggu melihat penari 'memamerkan' ketiak sambil bergoyang dan cenderung erotis demonstratif yang dapat memicu syahwat. Himbauan itu mendapat respon beragam. Bagi kalangan seniman dan budayawan dianggap sebagai hal yang mengada-ada.
Secara historis, jaipongan adalah sebuah genre tari yang lahir dari olah seni seorang Gugum Gumbira sekitar tahun 80-an. Apresiasi dan pemahaman Sang Maestro terhadap tari tradisi Ketuk Tilu, Kliningan, Bajidoran, Doger, dan Tayub sangat kental mewarnai jaipongan. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak tari tradisi lainnya mengukuhkan pakem jaipongan di kelak kemudian hari.


Keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan dalam arti alami dan apa adanya, adalah ciri khas jaipongan. Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (ibing pola) seperti pada seni jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (ibing saka), misalnya pada seni jaipongan di Subang dan Karawang. Ciri khas inilah yang tergambar dalam gerak tari yang dikenal sebagai three G, ialah gitek, goyang dan geol. Sebagian seniman tari berpendapat bahwa three G adalah ruh jaipongan. Sulit di bayangkan jaipongan tanpa gitek, goyang dan geol.


Sebagai bagian dari pakem sebuah tarian, karakter tari tidak mudah diubah begitu saja. Terlebih ekspresi tari itu tidak mungkin keluar karena pengekangan. Bagaimanapun karakter “gagahan” tidak mungkin diperhalus. Demikian halnya karakter “gecul” ditampilkan dengan “sereng” adalah mustahil.


Jika kemudian three G dan kostum baju lekbong dikategorikan sebagai pengumbar syahwat, tentu hal itu tidak beralasan. Taruhlah tari bedaya di Jawa Tengah dan Yogyakarta sebagai pembanding. Dengan gerakan yang cenderung lamban dan kostum menggunakan kemben, disitulah justeru karya budaya adiluhung terpancar. Meski memakai kemben, bukan berarti sang penari mengumbar syahwat. Faktanya, belum pernah terjadi penikmat tari bedaya terpicu syahwatnya.


Setiap gerak tari sejatinya merupakan perwujudan atau ungkapan filosofis keadaan masyarakat dan gagasan pencipta tarinya. Mengutip Mas Manu Muda, seniman tari Jawa Barat, bahwa setiap gerak tari jaipongan punya makna tertentu. Masyarakat Jawa Barat yang agraris kesehariannya bergelut dengan menanam dan memetik. Keseharian itulah yang digambarkan dalam gerakan tari jaipongan. Kalau iramanya lambat itu perlambang kesabaran. Sedangkan gerakan cepat bermakna wujud rasa syukur. Goyang jaipongan merupakan lambang kesuburan. Jika kemudian gerakan khas jaipongan dibatasi, sama saja membatasi bentuk sabar dan syukur yang tertuang dalam sebuah tari. Padahal budaya tersebut sudah sejak ratusan tahun melekat di masyarakat Jawa Barat.


Memang memaknai karya seni budaya tidak cukup hanya “wantah”, tetapi menggali filosofinya akan mengantarkan kita lebih bijaksana.
Perlu dicatat, kehadiran jaipongan telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat. Dengan munculnya tari jaipongan dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari jaipongan. Maka tidak mengherankan pada saatnya tari jaipongan berkembang pesat hampir keseluruh Nusantara. Hal ini mampu mengangkat pamor Jawa Barat ke pentas nasional bahkan internasional dengan ikon jaipongannya. Tidak sedikit sanggar-sanggar tari di luar Jawa Barat yang kemudian menyelenggarakan pelatihan tari jaipongan. Tidak kurang sanggar tari sekaliber Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo di Yogyakarta sekalipun, mengembangkan tari jaipongan ini.


Merujuk teori sari-sari dan puncak-puncak kebudayaan Ki Hadjar Dewantara, bahwa sari-sari dan puncak-puncak kebudayaan daerah itulah kebudayaan nasional kita. Sesungguhnya tari jaipongan adalah salah satu sari dan puncak kebudayaan Jawa Barat yang tidak kecil kontribusinya terhadap terwujudnya kebudayaan nasional Indonesia. Semoga.-


Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan tinggal di Yogyakarta.

Kamis, 12 Maret 2009

Titikbalik Keguruan dan Pengembangan Kurikulum

Titikbalik Keguruan dan Pengembangan Kurikulum
Ki Sugeng Subagya

TEORI pendidikan sistematis memasukkan guru dalam instrumental in-put. Sebagai instrumen pendidikan, urgensinya tidak lebih penting dari instrumental in-put yang lainnya, seperti kurikulum, dan alat pendidikan. Pada hal dalam penelitian Beeby (1969), kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru.

Salah satu akibat kebijakan yang menganggap guru sebagai instrumen yang tidak lebih penting dari instrumen pendidikan lainnya dapat dilihat dari rendahnya kualitas guru di Indonesia. Rendahnya kualitas guru adalah akibat tak terelakkan dari penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Ketidaksesuaian guru dalam kualifikasi akademik dan kompetensi dalam mengampu matapelajaran adalah buktinya. Menurut Ki Hadjar Dewantara guru yang demikian ini sesungguhnya tidak memiliki kemampuan (bevoegdheid) dan kewenangan (bekwaamheid)

Data Depdiknas menunjukkan lebih sepertiga dari 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar karena mismatch, ialah kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar. Lebih rinci disebutkan bahwa saat ini guru yang tidak layak mengajar mencapai 912.505 orang. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Tentu data tersebut belum termasuk guru TK dan PAUD. Angka tersebut memberikan petunjuk betapa rendahnya kualitas guru di negeri ini.

Terbitnya Undang Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen dapat dinyatakan sebagai titikbalik keguruan di Indonesia. Memasuki tahun ketiga sejak diundangkan, nampaknya implementasi undang-undang tersebut masih dalam masa transisi membenahi kualitas guru kita. Hal ini menunjukkan kronisnya masalah kualitas guru di Indonesia.

Implikasi ketentuan pasal 9, dimana guru harus memenuhi kualifikasi akademik pendidikan program sarjana (S1) atau diploma empat (D4), tidak mememandang apakah ia seorang guru TK, SD, SMP ataupun SMA/K, bagai buah simalakama.

Dalam jangka pendek, penerapan ketentuan ini dipastikan meningkatkan jumlah guru mismatch dari sisi kualifikasi akademik. Persentase guru TK, SD dan SMP yang tidak berpendidikan S1 atau D4 cukup tinggi. Rata-rata guru TK dan SD masih berpendidikan SGA, KPG, SPG, D1, dan D2. Tidak sedikit pula guru SMP dan SMA/K yang berpendidikan PGSLP, PGSLA, sarjana muda dan D3. Akibat positifnya, tidak sedikit para guru kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan sarjananya.

Berubahnya kurikulum selalu diikuti oleh munculnya matapelajaran baru dan hilangnya mata pelajaran yang sudah ada. Ketika matapelajaran baru muncul sedangkan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) belum menyiapkan guru untuk matapelajaran dimaksud, maka dengan terpaksa sekolah memanfaatkan guru yang ada, termasuk di dalamnya memberi tugas kepada guru yang matapelajarannya hilang.

Selama ini orientasi pembenahan pendidikan nasional kita mengalami ketimpangan. Guru yang seharusnya menjadi titik sentral pembenahan sistem pendidikan nasional terabaikan. Kita “keasyikan” membenahi kurikulum dengan merubah kurikulum secara periodik. Akibatnya kualitas guru jalan di tempat, sedang perubahan kurikulum malah menambah persoalan baru.

Kebijakan pendidikan nasional nampaknya perlu mengacu pada grand design pendidikan nasional yang menyeluruh dan terpadu. Setidaknya, harus ada komitmen kuat tidak merubah kurikulum secara radikal, kecuali mengembangkannya. Hal ini sekaligus menepis pameo, setiap ganti pejabat ganti pula kurikulumnya.

Upaya peningkatan kualitas guru melalui sertifikasi harus terus dilanjutkan. Bersamaan dengan itu sistem sertifikasinya diperbaiki. Proses sertifikasi guru instan seperti sekarang ini hanya boleh dilakukan pada masa transisi. Kelak harus dibuat sistem yang lebih profesional agar mampu menghasilkan guru profesional pula. Pembenahan kualitas guru harus dibarengi dengan pembenahan sistem LPTK. Sejalan dengan itu LPTK harus didorong agar mampu menghasilkan guru yang matching dengan kebutuhan pembelajaran.

Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan


(Artikel ini dimuat pada Harian Umum PELITA edisi Selasa 10 Maret 2009).

Jumat, 06 Maret 2009

Dr. Soemadi Martono Wonohito, SH

Pak Madi (Ora) Mung Bakul Koran
Ki Sugeng Subagya

BUBAR surup, Jemuwah Wage (29/8/2008) ing layar TVRI Jogja ana tulisan sing ngabarake sedane Dr Soemadi Martono Wonohito SH. Kabar mau ora mung gawe kaget, nanging penulis uga setengah ora percaya. Ora gantalan wektu, tangane penulis nyekel gagang telpon, takon marang piket kantor KR, apa bener Pak Madi seda. Innalillahi wa inaillaihi roji’un. Bener Pak Madi pinundhut sowan Gusti Allah kanti tentrem ing ndalem Pringwulung.

Wiwit nalika isih sekolah, asmane Pak Madi wis familier tumrap penulis. Senadyan durung tau ketemu priyayine, amarga maca tulisan-tulisan ngenani penjenengane, penulis antuk wewengan Pak Madi iku juragane koran KR. Jaman semana, ing wewengkon DIY koran identik karo KR. Malah sok kebablasen penganggep, koran apa wae diarani KR.

Sawijining dina, ing tahun 1997, penulis didhawuhi ndherekake pimpinan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa sowan Pak Madi ing kantor KR. Eba senenge atine penulis arep ketemu marang piyayi sing sekawit mung kenal saka tulisan. Kaya lumrahe arep sowan pangarsa perusahaan bonafit, penulis nganggo busana sing paling becik sing diduweni, malah nganggo dhasi barang. Lha dalah, bareng mlebu ruang lenggahe Pak Madi, durung ngendika werna-werna, sinambi salaman penjengane ngendika “wah sae estu dhasinipun”. Jroning batin penulis rada isin didangu mengkono iku. Jebule Pak Madi iku senadyan juragan pangarsa perusahaan gedhe, sikepe lembah manah lan andhap asor. Agemane biasa, ngagem peci, hem lurik lengen dawa. Prasaja banget.

Bareng ngendika, penulis tansaya ngungun marang sikep andhap asore Pak Madi. Penjenengane ngaturake agunging panuwun dene pimpinan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa kersa rawuh ing kantor KR. Menawa Tamansiswa kagungan kersa apa wae, yen KR bisa, sumadiya mbiyantu. Nanging sabyantune ya mung miturut kekuatane KR. “Wong kula punika namung bakul koran”, mengkono pangandikane Pak Madi. Wong pemimpin perusahaan semene gedhene kok ngagem sebutan bakul koran. Menawa kersa kudune sinebut presiden direktur wae luwih dening pantes. Apa maneh penjenengane akeh pikantuk pengaji-aji sing asale ora mung saka dalam negeri. Kepara Southern California University for Profesional Studies (SCUPS) maringi gelar doctor honoris causa barang. Sing tegese sepak trajange Pak Madi ing babagan bisnis profesional diakoni dening masyarakat dunia.

Kabeh mau nabet ing sanubarine penulis. Slagane Pak Madi iku banget humanis lan semanak.

Ing taun 2003 penulis sowan Pak Madi maneh. Senadyan ancase mung silaturahmi, nanging akeh ngelmu sing disinau penulis. Glegere Pak Madi isih kaya 6 taun kepungkur, ewa semono pangandikane tansaya menep lan anteb. Ana pepeling kanggo penulis, apa wae kang ditindake lambarane kudu nengenake marang greget kabangsan. Indonesia iku dumadi saka pirang-pirang suku, agama, basa dhaerah lan kabudayan etnis. Mula tanpa greget kabangsan, bangsa iki ringkih.

Kejaba iku, wong urip iku piguna uripe menawa migunani tumraping liyan. Mula tepa selira, gotong royong, mad sinamadan, ijol-ijolan butuh iku dadi sandhangane wong urip. Ora ana wong bisa urip dhewe tanpa ditulung lan nulungi wong liyane. Tulung tinulung kanthi legawa mahanani urip tentrem. Supaya bisa tetulung kudu sengkut makarya. Kanti makarya wong darbe pawitan kanggo tetulung.

Mengkono wewarahe Pak Madi. Mbok menawa penjenengane ngendika kabeh mau ora ana sedya muruki marang penulis. Nanging tumrap penulis, pangandikane mau mujudake wewarah sing luhur kanggone urip bebrayan lan kabangsan. Pak Madi iku ora mung bakul koran, nanging guru, mligine kanggo penulis. Sugeng tindak Pak Madi, mugi-mugi khusnul khatimah. Amien.

Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa