Laman

Selasa, 08 November 2011

Menuju Pahlawan Nasional


Kepahlawanan Anti Korupsi Kasimo
OLEH  KI SUGENG SUBAGYA
Pemahaman tentang hak kepemilikan I.J. Kasimo (1900-1986) dapat dijadikan rujukan pendidikan anti korupsi. Wek-ku, Wek-mu, dan Wek-e dhewe. Demikian Harry Tjan Silalahi menggambarkan  konsep Kasimo tentang kepemilikan secara sederhana.  Milikku adalah wek-ku, milikmu adalah wek-mu, dan  milik rakyat atau negara adalah wek-e dhewe.    
Merestorasi konsep kepemilikan  I.J Kasimo sedang dalam momentum yang tepat.  Bukan hanya karena bangsa Indonesia sedang kesulitan menemukan figur teladan anti korupsi, lebih dari itu mencari logika penjelas  perilaku korupsi yang semakin merajalela juga sulit didapat.
Dalam kondisi ekonomi yang semakin baik, sejalan dengan itu perilaku koruptif semakin subur. Menurut logika awam, jika faktor ekonomi menjadi penyebab perilaku koruptif, membaiknya kondisi ekonomi seharusnya berbanding lurus dengan berkurangnya perilaku koruptif.
Jika perilaku koruptif disebabkan oleh ketidaktahuan, semakin banyak penduduk berpendidikan tinggi mestinya  tindak korupsi berkurang.
Ditempa Tri-pusat Pendidikan
Memahami konsep kepemilikan I.J Kasimo dapat dirunut dari latar belakang kehidupannya. Hidup dalam kesederhanaan mewarnai hari-harinya, baik ketika masih kanak-kanak maupun setelah menjadi pejabat negara. Tampaknya, kesalehan personal yang menjadi karakter I.J Kasimo terbentuk oleh lingkungan pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakatnya. Dan kesalehan  personal itu kemudian mewujud menjadi kesalehan sosial.
Lahir dan dibesarkan dalam lingkungan abdi dalem Keraton Yogyakarta, tentu banyak yang mempengaruhi alam bawah sadar I.J Kasimo. Keraton adalah sumber kearifan, martabat, peradaban, dan humaniter. Memasuki sekolah ongko loro mengantarkannya memahami dunia luar yang lebih luas. Kemandiriannya tergembleng saat masuk asrama sekolah guru di Muntilan dan kemudian sekolah pertanian di Bogor.
Hidup dalam lingkungan masyarakat terjajah menggerakkan nalurinya untuk menuntut persamaan hak atas kemerdekaan. Pembelaan terhadap kaum lemah, rakyat tertindas, dan pribumi diwujudkan dalam pengorbanan tanpa pamrih untuk menyejahterakan mereka.
Jika kemudian pengaruh pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat itu akhirnya mewujud dalam sebuah identitas bahwa I.J Kasimo adalah orang biasa yang mempresentasikan jiwa zamannya dengan menghadirkan nilai budaya, intelektual, keadaban, maka kesederhanaan adalah kata tepat untuk mengistilahkan kesalehan sosialnya. Posisinya selalu diletakkan pada upaya mencapai kemamuran rakyat dan jauh dari kepentingan pribadi, golongan, maupun  tujuan personalnya.
Sebagai seorang menteri, I.J Kasimo menuangkan cita-citanya  dalam “Plan Kasimo”. Untuk kemakmuran rakyat digagas kebijakan pangan dengan memanfaatkan lahan tidur, intensifikasi pertanian, memperbanyak kebun bibit unggul, pencegahan hewan pertanian untuk disembelih, dan pemberdayaan lahan bekas perkebunan di Sumatera dengan memindahkan penduduk dari Jawa. Kegigihannya membela kepentingan rakyat dengan upaya memakmurkan rakyat disempurnakan dengan keterlibatan secara aktif dalam pemberantasan korupsi.  Inilah wujud prinsip hidupnya yang sederhana, jujur, dan tidak semata duniawi.
Memahami Falsafah Jawa
Sebagai orang Jawa, I.J Kasimo tidak sulit  mengakses pemikiran-pemikiran  seperti “sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”.  Untuk menjadi kaya tanpa harta, sakti tanpa azimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan, hanya dapat dicapai apabila didasari oleh pengabdian tulus ikhlas tanpa pamrih. Sepi ing pamrih rame ing gawe.
Kaya tanpa harta dapat diwujudkan manakala dapat memberi apa yang dapat diberikan tanpa berharap ia dapat memperoleh sesuatu atas pemberiannya itu. Sedangkan sakti tanpa azimat dapat diwujudkan ketika merasa berharga dan terhormat tanpa harus memiliki kedudukan sosial dan kekuasaan. Ketika kekuasaan sudah tidak dalam genggaman sekalipun, orang masih menaruh hormat oleh karena kesalehannya. Tanpa kekuasaan, kehormatannya tetap melekat oleh karena  bersikap dan bertindak susila, jujur, konsisten dan konsukuen.
Dengan membina kepercayaan pada diri sendiri, keteguhan iman dan kemampuan untuk setia kepada apa yang adil dan benar, akan mengantarkan seseorang merasa mampu memperjuangkan cita-citanya meski tanpa campur tangan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Demikianlah makna menyerbu tanpa pasukan. Sedangkan kemampuan untuk merasa bahagia sejahtera dalam situasi dan kondisi apapun dengan tidak membiarkan dirinya dikuasai dan menguasai adalah makna dari menang tanpa mengalahkan.
Itulah yang mengantarkan I.J Kasimo dalam pemahaman hidup sederhana tanpa harus melanggar hak milik orang lain atau hak milik publik. Mengambil secukupnya hak milik pribadi untuk memenuhi kebutuhan dengan tidak melampaui batas kemampuan fisik dan mental. Tidaklah sukar mencukupi kebutuhan secara wajar dengan cara halal dan legal, tanpa harus mengorbankan harga diri dan memaksakan diri.
Gelar Pahlawan
Upaya berbagai pihak mengusulkan I.J Kasimo sebagai Pahlawan Nasional dipastikan tidak dalamrangka “mengultus-individu-kan” seseorang. Dan tentu tidak pula melampiaskan hasrat untuk menghargai jasa orang yang sudah meninggal dunia semata. Sebab  I.J Kasimo tidak membutuhkan itu semua. Gelar Pahlawan Nasional itu untuk kita yang masih hidup, sebagai cermin diri atau kaca benggala dalam membangun negeri mengisi kemerdekaan yang ketika itu I.J Kasimo turut berperan memperjuangkannya.
I.J Kasimo sudah pahlawan melalui daya upayanya mewariskan pendidikan anti korupsi bagi generasi penerusnya. Tinggal kita sekarang, mau dan mampu atau tidak bersikap dan bertindak  untuk meneruskan warisan yang sangat berharga ini ?


Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.-

Pendidikan dan Kebudayaan


Pendidikan yang Berkebudayaan
Ki Sugeng Subagya
Mengembalikan pengelolaan pendidikan dan kebudayaan dalam satu kementerian mendapat respons positif masyarakat. Harapannya, pendidikan kembali dikonstruksi kebudayaan. Artinya, semua aspek pendidikan dikaji secara kritis sehingga menghasilkan bentuk satuan pendidikan yang merupakan ajang interaksi berbagai latar belakang masyarakat untuk saling memahami dalam suasana kesetaraan, keadilan, dan penghormatan. Satuan pendidikan adalah bangunan budaya menuju peradaban. 
Keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan  berkenaan dengan satu urusan yang sama, ialah pengembangan nilai. Kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, ialah sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process), serta bervisi tertentu (goals). Pendidikan merupakan proses pembudayaan. Tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan.  
Pendidikan adalah usaha kebudayaan, dan satuan pendidikan adalah taman persemaian benih-benih kebudayaan. Demikianlah Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi sistem pendidikan nasional.
Pendidikan sebagai usaha kebudayaan tidak mengenal sekat-sekat etnis, agama, strata sosial-ekonomi, latar belakang politik, bahasa daerah, perbedaan gender dan tingkat kecerdasan peserta didik. Jika sekat-sekat itu ada maka pendidikan telah menyempitkan maknanya sebatas transfer pengetahuan bukan membangun peradaban.
Sebagai taman persemaian benih-benih kebudayaan, pendidikan merupakan penggerak tumbuh dan berkembangnya budaya dan karakter bangsa. Dalam tataran yang aplikatif, satuan pendidikan sebagai penyedia ilmu pengetahuan adalah pintu gerbang bagi peserta didik untuk memperoleh  alat pengembangan diri dan masyarakatnya melalui kebudayaan. Pendidikan harus menciptakan peluang bagi individu untuk mengembangkan potensi diri, meninggikan martabat kemanusiaan, dan menghormati keberagaman.
Muara pendidikan yang berkebudayaan adalah keberhasilan melindungi dan mempertahankan budaya lokal dan nasional dengan menyerap budaya asing secara selektif adaptatif tanpa meninggalkan budaya adi luhung yang merupakan jati diri bangsa.

 Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa.-

Artikel dimuat SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Selasa 8 November 2011 Halaman 10.

Sabtu, 05 November 2011

Peduli Sosial dan Lingkungan


Paguyuban Hemodialisis Terbentuk
Drs Sugeng Subagya MM
Humas Paguyuban Hemodialisis “Manunggaling Rasa”

Hemodialisis (cuci darah) adalah sebuah terapi . Kata ini berasal dari haemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti dipisahkan. Hemodialisis merupakan salah satu dari terapi penggganti ginjal, yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal, baik akut maupun kronik. Dalam keseharian tindakan hemodialisis dikenal masyarakat dengan “cuci darah”.
Tindakan cuci darah membutuhkan dukungan dana yang tidak sedikit. Tidak semua pasien yang membutuhkan cuci darah memiliki kemampuan ekonomi yang memadai. Contohnya pasien hemodialisis RS Panembahan Senopati Bantul. Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat dengan latar belakang pekerjaan yang bermacam-macam. Ada pegawai negeri sipil, TNI/POLRI, pensiunan/purnawirawan, pegawai swasta, petani, ibu rumah tangga, bahkan buruh. Sedangkan apabila dilihat dari asal domisilinya, ada yang dari wilayah Kabupaten Gunungkidul, Kulonprogo, Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta.
Karena latarbelakang itulah, maka beberapa pasien berinisiatif untuk bermusyawarah mencari jalan keluar bagi pasien kurang mampu.
Pada tanggal 24 Juli 2011 diselenggarakan rapat terbatas pasien HD di rumah Drs Pudjana, dusun Trasih, Giriasih, Purwosari, Gunungkidul. Salah satu keputusan rapat tersebut membentuk paguyuban penderita hemodialisis dengan diberi nama “Manunggaling Rasa”. Makna nama tersebut ialah saling berbagi rasa dalam suka dan duka.
Dalam waktu kurang dari 3 (tiga) bulan, minat para pasien untuk bergabung dalam paguyuban luar biasa. Semula tidak lebih dari 30 orang anggota, akhirnya lebih dari 170 orang bergabung. Bahkan dalam perkembangan terakhir, sampai dengan akhir Oktober 2011 ini telah terdaftar 256 (dua ratus lima puluh enam) orang anggota. Oleh karena itu pada rapat kedua, tanggal 14 Oktober 2011 diputuskan melengkapi susunan pengurus. Sebagai ketua adalah Drs Pudjana dan Sumadi, S.Pd. , sekretaris Sumarya, S.E, dan Rina Astuti, bendahara Fajar Srinanti dan Trini Darmayanti. Pengurus dilengkapi dengan coordinator dan bidang-bidang.
Tujuan paguyuban adalah merekatkan silaturahim diantara para pasien HD dan keluarganya sekaligus menggalang dana dari siapapun yang tidak mengikat untuk membantu para pasien HD yang kurang mampu.
Pada hari Minggu tanggal 23 Oktober 2011 diselenggarakan rapat anggota sekaligus kegiatan Sawalan dan dilanjutkan dengan Sarasehan dengan tema “Hidup Lebih Sehat Aktif dengan Hemodialisis. Materi sarasehan disampaikan oleh Dr. Agus Yuha Ahmadu, Sp.PD tentang “Gagal Ginjal dan Terapi Pengganti Ginjal”, Dr. Dra. Sumarni, M.Kes. tentang “Aspek Sosiologis Penderita Gagal Ginjal Guna Peningkatan Kualitas Hidup”, dan Dr. Martalena Br. Purba, M.Cn. tentang “Terapi Nutrisi Pada Pasien Gagal Ginjal Guna Peningkatan Kualitas Hidup”.
Dalamrangka pelaksanaan program kerja paguyuban, dalam waktu dekat akan diselenggarakan berbagai kegiatan antara lain pertemuan anggota secara rutin setiap tiga bulan sekali, penyuluhan hemodialisis, membentuk koperasi paguyuban, kunjungan silaturahim, pasar murah, dan menyalurkan bantuan bagi anggota yang memerlukan.
Sehubungan dengan hal itu, pengurus paguyuban menghimbau kepada berbagai pihak yang berkenan membantu mengembangkan paguyuban ini untuk berhubungan dan berkoordinasi dengan pengurus paguyuban melalui kontak person Drs Pudjana (081328473969) atau menghubungi secretariat paguyuban di Unit Hemodialisis RS Panembahan Senopati Bantul, Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo Bantul, 55714 Telpon (0274)6590499.

Sumber : 
Citizen Journalism Harian Pagi Tribun Jogja, Sabtu 5 November 2011 halam 1 dan 3.

Rabu, 26 Oktober 2011

Pendidikan dan Kebudayaan


Kembalinya Pendidikan Berkebudayaan
Ki Sugeng Subagya
Digabungnya kembali pengelolaan pendidikan dan kebudayaan dalam satu kementerian tentu bukan tanpa alasan.  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan,  pendidikan sangat terkait dengan kebudayaan. Pembentukan karakter bangsa yang berbudaya bisa dicapai antara lain melalui pendidikan. 
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Sedangkan perguruan atau sekolah adalah taman persemaian benih-benih kebudayaan.
Sebelum kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional dalam wujud  dasar-dasar dan azas-azas pembaharuan pengajaran. Konsep mendasar inilah yang pada kemudian hari dirumuskan secara legal formal dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa  pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan pada kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia menuju arah kebahagiaan hidup batin serta keselamatan hidup lahir.
Dominasi Pengajaran
Dalam perkembangan terakhir, pendidikan cenderung mensterilkan diri dari kebudayaan. Ketika pendidikan tidak berkebudayaan maka pengajaran menjadi sangat dominan. Pendidikan yang didominasi pengajaran maka intelektualisme tidak dapat lagi dihindari. Akibatnya pengetahuan yang diperoleh sebatas untuk diketahui, bukan untuk diamalkan.  
Dalam praktiknya, pengajaran telah menghasilkan manusia canggung dalam hidupnya di masyarakat. Mereka hanya bisa hidup  bergantung pada orang lain. Akibatnya, hidup dan kehidupannya tergantung pada orang lain.  Jika yang dijadikan tempat bergantung  jatuh, jatuh pulalah mereka.  
Melihat gerak langkah pembangunan pendidikan kita dewasa ini, harus diakui bahwa sudah banyak kemajuan yang dicapai. Berbagai prestasi regional dan internasional banyak didapat oleh anak-anak bangsa Indonesia. Tetapi, jika dikaitkan dengan tujuan akhir pendidikan dalamrangka mempertinggi derajat kemanusiaan,  kita masih harus terus bekerja keras untuk mewujudkannya. Salah satu derajat kemanusiaan yang tinggi itu tergambar dalam pembentukan insan mandiri.
Pendidikan nasional kita memperlihatkan kelemahannya pada pembentukan insan mandiri.  Tidak sedikit lulusan sekolah  yang terpaksa menganggur. Keluar masuk kantor menenteng map berisi lamaran kerja.  Mereka tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Jangankan lapangan pekerjaan untuk orang lain, untuk dirinya sendiri saja tidak ada kemampuan. Mereka menggantungkan diri kepada “pemerintah”,  tidak mampu bernisiatif dan bekerja tanpa diperintah orang lain.  
Kegagalan mendidik insan mandiri nampak jelas dari tidak dimilikinya rasa percaya diri. Bukan hanya setelah lulus para siswa tidak percaya diri. Sejak di bangku sekolah mereka sangat tergantung orang lain. Fenomena menyontek  sampai dengan kecurangan-kecurangan lain dalam peneyelanggaraan  ujian adalah bukti tidak percaya diri. Hal ini diperparah oleh sikap beberapa oknum pendidik yang tidak responsif menanggulangi kecurangan, tetapi tidak sedikit diantara mereka malah terlibat dalam praktik kecurangan itu.
Keluarga telah terimbas praktik mereduksi percaya diri anak. Betapa sibuknya orangtua   mengintervensi sekolah anak-anaknya. Antrean panjang di loket pendaftaran siswa baru tidak hanya dijejali oleh para calon siswa, tetapi didominasi orangtua. Belum lagi keinginan-keinginan setengah memaksakan kehendak orangtua untuk pendidikan anak-anaknya. Dari memilih sekolah, memasukkan sekolah sebelum usianya, memaksa anak harus naik kelas meski kemampuannya belum cukup, dan sebagainya.
Ketika kebijakan pendidikan menyentuh upaya mempersepsikan  manajemen sekolah sama dengan manajemen perusahaan atau korporasi, tidak bedanya dengan pendidikan yang tidak menyemai benih-benih kebudayaan untuk masa depan bangsa. Pendidikan hanyalah “pabrik” tenaga kerja atau buruh.
Peluang kembalinya pendidikan berkebudayaan telah terbuka lebar. Pengelolaan pendidikan dan kebudayaan dalam satu kementerian sudah dilakukan. Gaung pendidikan karakter dalamrangka keseimbangan pengembangan cipta, rasa, karsa masih nyaring terdengar. Sebaiknya kita segera bergegas memaknai pendidikan berkebudayaan itu dalam isi substansi nyata dalam praktik pendidikan dan pengajaran.-

Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa, Alumnus Filsafat dan Sosiologi Pendidikan FIP UNY.

Keterangan :
Artikel ini dimuat Harian Pikiran Rakyat Bandung, Selasa 24 Oktober 2011 Halaman 26.

Selasa, 11 Oktober 2011

Pembelajaran Berkarakter

Memaknai Pembelajaran Berkarakter
Ki Sugeng Subagya
Guru-guru Pendidikan Agama Katolik yang tergabung dalam Musyawarah Guru Matapelajaran Agama Katolik (MGMP PAK) Sekolah Menengah Kota Yogyakarta  merasa terinspirasi atas sebuah contoh pembelajaran berkarakter tanpa harus memaksa diri memasukkan dalam materi pembelajaran.
Beberapa pengajar Matematika di Sulawesi Selatan merasa tidak mampu memasukkan  satu atau dua dari delapan belas nilai karakter dalam silabus dan Rancangan Program Pembelajaran (RPP). Kesulitan yang sama juga dihadapi oleh para guru matapelajaran Ekonomi di Sumatera Barat yang harus memandang nilai-nilai karakter sebagai hal positif belaka dan diadopsi oleh tema negatif dalam pembelajaran, misalnya mengenai pengangguran.    
Dari contoh-contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran masih menemui kendala. Hal itu masih diperparah oleh pihak-pihak tertentu yang memandang pengintegrasian nilai karakter dalam pembelajaran sebatas formalitas tanpa makna. Meskipun silabus dan RPP yang disusunnya  rapi-jali mencantumkan nilai-nilai karakter sebagai muatannya, namun dalam praktiknya pembelajaran tidak berbeda dengan yang selama ini berlangsung.
Jebakan 18
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan nilai-nilai karakter  menjadi 18 butir; ialah  (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial dan (18) tanggung jawab.
Nilai-nilai tersebut diharapkan menjadi kunci penuntun pembelajaran berkarakter dalamrangka pendidikan karakter. Identifikasi nilai-nilai karakter dalam 18 butir dimaksudkan dapat mempermudah para guru menyelenggarakan pembelajaran berkarakter.
Maksud baik ternyata berbeda dengan kenyataannya di lapangan. Para guru telah terjebak oleh 18 butir nilai-nilai karakter. Jika guru tidak mampu memasukkan satupun dari 18 butir nilai karakter dalam materi pembelajaran maka  belum termasuk mampu menyelenggarakan pembelajaran berkarakter. Jika guru hanya mampu memasukkan nilai-nilai; cermat, teguh pendirian, legawa,  memaafkan, santun, dsb. yang tidak termasuk 18 butir nilai karakter belum pula dianggap  berhasil menyelenggarakan pembelajaran berkarakter.
Sementara pihak khawatir, nasib pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah akhirnya tidak lebih baik dengan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Penataran P-4 di masa lalu jika orientasinya hanya formalitas dan rutinitas.
Re-orientasi
Formalitas dalam pendidikan karakter harus dicegah sedini mungkin. Bukan hanya karena hal itu tidak bermakna, pada saatnya formalitas akan menjadi rutinitas. Upaya perbaikan dari sisi manapun pendidikan akan gagal membentuk manusia berkarakter jika hanya sebatas formalitas dan rutinitas. Terlebih jika guru tidak mampu mengelola rutinitas dalam pembelajaran, maka kejenuhan dan kemandegan yang akan terjadi.
Pembelajaran berkarakter harus bermakna. Pelatihan dalamrangka re-orientasi pendidikan karakter perlu dilakukan. Sebagaimana disarankan buku A Teacher Is Many Things (Pullias, 1979)  bahwa mengajarkan satu pelajaran selama berpuluh tahun bisa menghilangkan gairah mengajar. Jika pengalaman itu membosankan guru, sudah pasti ia juga akan membosankan siswa.
Pelatihan guru ditekankan setidaknya untuk dua hal, ialah (1) mengentaskan guru agar tidak terjebak oleh “mitos” 18 butir karakter, dan (2) meningkatkan kemampuan guru agar mengintegrasikan nilai-nilai karakter tidak hanya sebatas materi pelajaran.
Guru diberi keleluasaan untuk mengembangkan sendiri nilai-nilai karakter yang akan diiintegrasikan dalam pembelajarannya. Menggali nilai-nilai karakter yang tumbuh dan berkembang di masyarakat akan menjadikan pembelajaran berkarakter lebih bermakna.
Orientasi mengintegrasikan nilai karakter sebatas pada materi pelajaran sangat menyulitkan guru. Oleh sebab itu, guru harus diberikan pelatihan mengasah kemampuan untuk menyelenggarakan pembelajaran berkarakter dari strategi yang berbeda, misalnya memilih metode pembelajaran, mengorganisasikan kelas, dan menentukan jenis tagihan dalam penilaian.  
Dari semua itu yang tidak kalah pentingnya ialah terus menerus menanamkan esensi pendidikan karakter melalui keteladanan. Kata Ki Hadjar Dewantara, ing ngarsa sung tuladha. Di depan menjadi contoh. Guru adalah model dalam pendidikan karakter. Kedewasaan bersikap dan bertindak seorang guru cara siswa belajar nilai-nilai karakter yang sesungguhnya.

Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.-

Artikel dimuat Harian PIKIRAN RAKYAT Bandung, Senin, 10 Oktober 2011 Halaman 26

Selasa, 04 Oktober 2011

Dirgahayu "Kedaulatan Rakyat"

Mengapa KR Panjang Umur?
Ki Sugeng Subagya

KEDAULATAN RAKYAT (KR) tergolong koran panjang umur. Kini usianya 66 tahun. Terbit pertama kali tanggal 27 September 1945. Perintisnya H. Samawi (1913 – 1984) dan Madikin Wonohito (1912 – 1984). Mereka dikenal dengan sebutan Pak Sam dan Pak Won. Dengan fondasi kuat yang beliau pancang  menjadikan KR panjang umur.
Pak Sam dan Pak Won memegang kendali KR dengan prinsip “ngeli nanging ora keli”, menghanyut tetapi tidak turut hanyut. Jika kemudian KR identik dengan koran moderat merupakan konsekuensi logis atas perwujudan prinsip tersebut.
Meskipun moderat KR tetap kritis. Kekritisannya didadasri oleh “triko”. Korektif, koordinatif, dan kooperatif terhadap kebijakan pemerintah.  Keberpihakannya kepada kepentingan publik dirumuskannya dalam semboyan ”suara hati nurani rakyat”. Inilah salah satu cara KR menyelamatkan diri dari badai politik.
Koran anak kandung revolusi ini tak mungkin melawan cita-cita revolusi. Sementara koran lain   terpotong umurnya oleh brangusKR tetap dapat jalan terus.  
Meng-internasional
Sebagai media lokal yang menasional, KR adalah community paper yang berbasis intellectual community. Memang KR terbit di Yogyakarta, dengan demikian komunitas pembaca KR berangkat dari lokalitas Yogyakarta dan sekitarnya. Namun, pengaruh KR dalam memberikan pencerahan tidak sesempit lokalitasnya. Pembaca KR yang pernah menghuni lokalitas Yogyakarta tersebar seantero dunia.  KR dengan semua rubrikasinya tetap mewarnai sepak terjang mereka. Dalam perkembangannya KR mampu menginternasional melalui konsep intellectual community.
Awak redaksi dan manajemen KR dipegang oleh orang-orang dengan latar belakang intelektualitas memadai. Disamping itu, dukungan kalangan cendekia yang ketersediaannya tidak  terbatas mewarnai tulisan-tulisan KR sehingga menjadi rujukan banyak pihak. Tidak hanya dalam kapasitas sebagai narasumber, tidak sedikit diantara mereka “medhar gagasan” secara langsung menulis dalam rubrik opini maupun analisis.  Menariknya, KR tidak hanya dibesarkan oleh para penulisnya, tetapi KR sekaligus membesarkan para penulisnya.
KR adalah bagian sejarah Yogyakarta, tetapi KR juga merupakan salah satu pilar penyangga konstruksi Yogyakarta itu sendiri.  Kraton Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, Muhammadiyah dan Tamansiswa yang eksis di Yogyakarta memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan KR. Namun demikian, KR juga memberikan urunan yang sangat berarti terhadap lembaga-lembaga “tua” ini untuk tetap bertahan mengemban visi dan misinya. Prinsip saling memberi dan menerima manfaat inilah dengan sangat cerdas dirumuskan dalam slogan migunani tumraping liyan.
Falsafah Mendidik
Pak Sam dan Pak Won pernah mengajar maka ia adalah guru. Tetapi, untuk mendidik, tidak perlu seseorang menjadi guru. Demikian falsafah mendidik beliau. Mendidik tidak harus formal di depan kelas dengan murid tertentu. Jurnalis itu juga mendidik meskipun tidak mengajar. Koran adalah media pendidikan tidak terbatas.
Pak Won memberikan ilustrasi mengenai jurnalis yang mendidik. Ki Hadjar Dewantara mulai mendidik tidak hanya ketika Perguruan Tamansiswa berdiri. Sejak lama sebelum Tamansiswa lahir Ki Hadjar sudah menulis di Koran, sejak itulah beliau mendidik. Dari koran, pembaca dimengertikan berbagai hal tentang ekonomi, sosial, politik, hukum, ideologi, budaya, bahkan falsafah hidup. (Pusara, No.5 Mei 1984 halaman 201-202).
Mendidik itu mencerahkan, maka koran tidak pada tempatnya memprovokasi terjadinya keributan, kerusuhan, pertikaian, ketidaktenteraman, dan fitnah. Jika ketegangan sudah terlanjur terjadi, maka koran harus bertindak bijak bagai air, menyejukkan suasana. Dalam suasana yang sejuk inilah, masyarakat adalah taman pendidikannya para jurnalis.
Dirgahayu KR !!

Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.

Dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Selasa 4 Oktober 2011 Halaman 12.

Minggu, 04 September 2011

Kerangka Kultural Masyarakat Indonesia

Ujung :
Pangabekti, Pangapura, lan Pangestu
Ki Sugeng Subagya

Pungkasane ibadah pasa sesasi muput, masarakat kang ngrasuk agama Islam nidakake salat riyaya Idul Fitri. Sakdurunge tumuju papan salat, sing kagungan, wajib padha mbayar zakat fitrah.  Wujude bisa beras apadene dhuwit. Prastawa iku mratah kedadean saindhenging donya.

Ing Indonesia, Idul Fitri dadi peranganing budaya mirunggan. Idul Fitri ditegesi dina kang suci, sing maknane mbudidaya bali marang kahanan suci. Sarana bali suci tumrap bebrayan kanthi ngapura ing ngapuran. Kaluputan kang wis kelakon antuk pangapura awit paring pangapurane sapadha-padha. 

Kedadeyan setaun pisan iki dadi kawigaten kang gedhe banget.  Mula ing dina riyaya, kantor pamarentah, sekolahan, toko-toko, kantor swasta, malah kepara pasar-pasar padha tutup. Kabeh wong padha nanjakake silaturahmi. Lumrahe sing luwih enom sowan marang sing luwih sepuh.  Kabeh padha ujung saperlu nindakake apura-ingapuran kanthi cara salaman utawa sungkem.  

Mula ora elok menawa wong-wong sing ana paran banjur padha bali mulih marang tanah kelairane. Wis dadi padatan  wong  sing ana paran  yen dina riyaya padha mudik. Senajan jejel riyel ing kendharaan umum lan sadalan-dalan macet tetep dilakoni. Mokal mung setaun pisan wae kok ora bisa tilik ngomah ketemu marang wong tuwa, sanak kadang lan tangga teparo, mengkono kang dadi pawadane.

Riyaya utawa lebaran, ing Indonesia dudu monopoli muslim. Santri njekek, wong “islam KTP”, wong Hindhu, wong Budha, wong Kristen, wong Katholik, kabeh melu bakda riyaya. Bakda riyaya mujudake laku budaya kang dilambari dening tradhisi sing wis kukuh ngoyot nelakake pangabekti marang para sepuh lan kang disepuhake. Wong tuwa wajib diaturi pangabekti, jalaran kejaba dadi sumbering urip lan panguripan uga kagungan kaluwihan moral lan punjering donga pangestu.

Ing sawijining omah, daleme pinisepuh “digruduk” anak, putu, buyut, canggah, lan sak piturute. Salah sawiji ing antarane minangka pangarepe, matur “... kula sedaya sowan simbah, sepisan tuwi kawilujenganipun simbah, kaping kalih ngaturaken sungkeming pangabekti. Ing saklajengipun ngaturaken sedaya lepat, lampah setindak wiraos saklimah ingkang mboten ndadosaken renaning penggalihipun  simbah keparenga simbah paring pangapunten. Wusana nyuwun tambah berkah pangesti, mugi-mugi sedaya sedya pangangkahipun ingkang wayah sageda kasembadan”.

Wong tuwa kang diaturi sungkem pangabekti paring jawaban mengkene. “... ya, anak putuku kabeh, aku wong tuwa uga akeh lupute, aku uga njaluk pangapura marang kowe. Mung pandongaku kowe kabeh dadia wong kang utama, ora nerak angger-anggering agama lan negara. Gampang golek sandhang pangan, turah-turah nganti kurang wadhah. Kelakona kabeh kang tok sedya.”.

Sak wise iku,   mbaka siji kang ana mburi pengarepe padha laku dhodhok sungkem “ngambung dhengkul”. Suasana dadi rada trenyuh, ing antarane kang padha sungkem malah ana sing kembeng luh, tumetes waspane. Ora gantalan wektu, sak wise iku suasana dadi regeng maneh. Sing kagungan dalem paring palilah, unjukan lan dhaharan kang wis sumadya supaya dirahabi. Tumrap bocah-bocah cilik, tekan wektu kang ditunggu, nampa paringan dhuwit. Senadyan cacahe ora akeh, ning biasane para sepuh wis nyamektakake dhuwit sing isih anyar gres. Kahanan mengkono dadi saya nyenengake tumrap sing sowan apadene sing disowani.

Sowan ngaturake sungkem pangabekti dadi kautaman. Senadyan wis ana telepon utawa HP, malah kepara internet, nanging tumrap sadhengah wong rumangsa ora marem yen ora bisa sungkem marang wong tuwa kanthi marak sowan. Rumangsa darbe kaluputan akeh kang dadi pawadane.  Kerep kumawani nglirwakake dhawuhe wong tuwa lan nglarakake atine,  umpamane.

Tanpa sowan, kaya-kaya ngrasakake ana sing ilang ing uripe.  Paling ora kelangan wektu kanggo nyuwun ngapura lan nglebur dosa.

Sungkem marang wong tuwa lan silaturahmi iku uga bisa dirasakke kayadene rekreasi, ngilangake sumpeking ati lan rasa sayah merga golek sandhang pangan ing saben dinane. Bakda riyaya kanthi sungkem mula ora mung dadi adat, ning malah kaya tradhisi sing wajib ditindakake.

Sing baku, lumantar riyaya Idul Fitri kanthi nglenggana kaluputan lan njaluk pangapura, ateges wong bali marang kahanan suci pindha bayi kang nembe lair. Bayi lair iku darbe watak suci, jujur, apa anane, ora srakah, lan tanpa melik. Mula saka iku wis trep yen ujung pinangka perangane tradhisi riyaya Idul Fitri dadi warana pendidikan karakter.  

Artikel ini dimuat Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu 4 September 2011 Rubrik Mekarsari.