Laman

Selasa, 24 November 2009

Ujian Nasional

Ada teror di sekolah !!
Ki Sugeng Subagya

MENYUSUL indikasi kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) selama ini, pemerintah memperketat pengamanan. Tidak tanggung-tanggung, tim pemantau independen dan aparat kepolisian dilibatkan. Jika selama ini aparat kepolisian cenderung terlibat dalam pengamanan sistem tertutup, pada tahun 2008 sangat terbuka dengan seragam dinas dan bahkan ada beberapa yang bersenjata laras panjang.

Keterlibatan aparat kepolisian dalam pengamanan Unas terkesan berlebihan. Betapa tidak, satu sekolah sedikitnya mendapat pengamanan dua orang. Sebagian berseragam dan sebagian lainnya tidak. Tidak jarang di banyak sekolah dijaga oleh lebih dari dua orang yang berseragam dan bersenjata. Terlebih sekolah yang menjadi sentra kelompok kerja, pengamanan aparat lebih banyak lagi. Bahkan melibatkan intel dan pasukan elit Detasemen Khusus 88 Anti Teror. Sekolah sebagai tempat penyelenggaraan Unas seperti gelanggang perang.

Banyaknya aparat kepolisian yang mengamankan Unas sistem terbuka, seolah-olah lembaga pendidikan yang bernama sekolah dan komponen-komponen yang ada di dalamnya dipandang memiliki potensi melakukan tindak kriminal. Lebih dari itu, sekolah seakan-akan sudah kehilangan kepercayaan masyarakat sebagai lembaga yang sangat menjunjung tinggi etika dan moralitas. Sekolah dibayangi oleh label baru, ialah bukan lagi tempat transfer nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, tetapi tempat terjadinya tindak kriminal. Guru diragukan kejujuran dan akhlak mulianya. Sosok guru tidak lebih seorang yang berpotensi melakukan kejahatan yang harus ditindak secara represif atas nama hukum.

Asumsi ini semakin kentara ketika kita mengikuti berita media massa penangkapan para guru dan kepala sekolah di Deli Serdang yang diduga melakukan tindak kecurangan. Suasana mencekam terjadi ketika pasukan Densus 88 anti teror Polda Sumut menggerebek suatu ruangan yang disinyalir sebagai tempat mengganti jawaban pada LJK. Ternyata, di mata aparat, guru dan kepala sekolah tidak lebih teroris yang harus diberantas. Hal ini dipertegas oleh Mendiknas Bambang Sudibyo, yang menyatakan bahwa para guru dan kepala sekolah yang terbukti terlibat kecurangan dalam Unas akan dipidanakan.

Korban Teror
Jika selama ini, sebagian para guru dan kepala sekolah, bahkan orangtua siswa dan siswa berpendapat bahwa mereka adalah “korban teror” dari teroris yang bernama Unas. Maka dalam kasus ini justeru para guru dan kepala sekolah yang dianggap sebagai teroris.

Unas dalam formatnya seperti sekarang ini, ada sisi positifnya. Diantaranya dapat memotivasi siswa, orang tua siswa, guru dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meningkatkan prestasi belajar siswa secara maksimal. Tetapi, di sisi yang lainnya dampak negatifnya tidak kurang pula. Banyak kalangan berpendapat bahwa Unas dapat meningkatkan kecemasan yang mengarah depresi bagi siswa, orangtua siswa dan guru. Bahkan Unas sebagai penentu kelulusan disinyalir telah memicu penurunan moralitas guru dan siswa. Tidak jarang, demi predikat lulus cara apapun ditempuh.

Guru dan siswa berbuat curang didorong oleh sebuah sistem. Mereka tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Sesungguhnya mereka adalah bagian dari pihak-pihak yang menjadi korban sistem.

Pelanggaran atas aturan main dan kecurangan di dunia pendidikan, termasuk Unas, memang perbuatan yang tidak dapat ditolerir. Oleh karenanya harus ditindak. Tetapi dengan cara memidanakan para pelaku kecurangan dan pelanggaran Unas bukan langkah bijak. Bukankah pelanggaran dan kecurangan itu lebih kuat nuansa pelanggaran moral dan etika daripada kriminal ?

Memperbaiki Sistem
Persoalannya, apakah dengan menerjunkan aparat kepolisian secara besar-besaran dan memidanakan para pelaku kecurangan dan pelanggaran Unas masalahnya selesai ? Faktanya kecurangan dan pelanggaran tetap terjadi. Dampak ikutan yang tidak terprediksi malah terjadi. Kehadiran aparat yang berlebihan di sekolah sedikit banyak menjadi beban psikologis bagi siswa. Setidaknya beban psikis itu tampak dipermukaan ditunjukkan dengan gugup, tidak tenang dan bahkan menangis tanpa alasan.

Pemidanaan terhadap pelaku kecurangan dan pelanggaran hanya akan menyelesaikan persoalan sesaat. Ada hal lain yang lebih penting, ialah memperbaiki sistem Unas yang mengarah kepada peningkatan mutu pendidikan nasional secara komprehensif. Mengukur mutu pendidikan yang hanya dari aspek akademik dan mengabaikan aspek sikap, perilaku dan budi pekerti jauh dari rumusan tujuan pendidikan nasional.

Pendapat para pemerhati pendidikan yang menganjurkan sistem Unas diperbaiki hendaknya mendapat perhatian pemerintah. Ketika pendekatan input, proses dan out put diterapkan, sesungguhnya tidak pada tempatnya menuntut peningkatan mutu out put terlalu tinggi tanpa didahului oleh peningkatan mutu input dan mutu proses.

Dimuat “Harian Jogja” Rabu, 21 Mei 2008 Halaman 4.

Pendidikan Nasional

Mengembalikan Arah Pendidikan Nasional
Oleh : Ki Sugeng Subagya

Ki Hadjar Dewantara, yang hari lahirnya 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional, meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional tidak sekadar nama, tetapi ia adalah makna. Dengan tiada menolak apa yang asing yang berguna untuk memperkaya jiwa bangsanya, ditumpukan pendidikan pada usaha membangun jati diri bangsa.

Menentang kolonialisme dan feodalisme dengan perjuangan politik hanya akan mampu mengantarkan ke depan pintu gerbang merdeka. Menanamkan jiwa merdeka melalui pendidikan nasional, disamping akan mampu mengantar ke depan pintu gerbang merdeka, sekaligus memberi modal mengisi kemerdekaan

Proses terbentuknya jiwa merdeka akan berlangsung terus. Tetapi tampaknya, melihat fakta yang terjadi saat ini cita-cita mewujudkan jiwa merdeka “simpangannya” semakin jauh dari peta pendidikan nasional yang sudah digambarkan.

Ketika pendidikan hanya sebatas pengajaran, maka intelektualisme tidak dapat lagi dihindari. Akibatnya pengetahuan yang diperoleh sebatas untuk diketahui, bukan untuk diamalkan. Jikapun diimplementasikan maka akan mengutamakan kenikmatan hidup pribadi dengan mengabaikan kepentingan hidup bersama. Segala hal dipandang dari sisi benar salah dan mengabaikan baik buruk. Apalagi penghargaan terhadap nilai-nilai keindahan, jauh dari garapan pengajaran.

Ketika kelulusan dan kenaikan kelas diukur dari capaian angka-angka kognitif semata dan mengabaikan sikap, perilaku, budi pekerti apalagi kecakapan motorik siswa, maka arah menuju intelektualisme semakin kentara. Pengajaran yang seharusnya hanya menjadi bagian dari pendidikan malah mengambil peran lebih kuat.

Taman Kanak-kanak dituntut mengajarkan membaca, menulis dan berhitung. Sekolah Dasar dituntut mengajarkan kajian matematis dan bahasa asing. Sekolah Menengah mengutamakan mata pelajaran bidang akademis dan mengesampingkan pembentukan watak dan penanaman nilai. Perguruan Tinggi hanya mengkaji teori tanpa implementasi. Menunjukkan kuatnya dominasi pengajaran daripada pendidikan.

Jika kemudian tamatan sekolah tidak mampu berkarya di masyarakat, merupakan konsekuensi logis dari berkuasanya pengajaran terhadap pendidikan. Seharusnya pendidikan nasional bertugas membimbing insan yang memiliki kepandaian dan kecakapan yang berguna bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.
Pengajaran telah menghasilkan manusia canggung dalam hidupnya di masyarakat. Mereka hanya bisa hidup “cemanthel” pada orang lain. Akibatnya, hidup dan kehidupannya tergantung pada orang lain. Jika yang dijadikan tempat “cemanthel” jatuh, jatuh pulalah mereka. Benarlah olok-olok Ki Hadjar Dewantara, cicak yang tidak sekolah tahu dimana ia dapat mencari makan, tetapi manusia yang pernah sekolah tidak tahu dimana ia harus mencari makan.
Slogan “tutwuri handayani” dimiliki Departemen Pendidikan Nasional tidak bebas makna.


Tutwuri berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak kepada yang dipimpinnya. Handayani berarti mempengaruhi dengan daya kekuatan, jika perlu dengan paksaan. Hal itu dilakukan apabila kebebasan yang diberikan dipergunakan menyeleweng yang membahayakan bagi dirinya dan orang lain.
Itulah yang disebut Tamansiswa sebagai sistem among. Para pemimpin, termasuk guru, adalah pamong. Pamong, bertugas “ngemong”, ialah memberi kebebasan bergerak menurut kemauan tetapi harus bertindak apabila kebebasan itu berakibat membahayakan keselamatan yang “diemong”.

Kalau dicermati, kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan akhir-akhir ini kental nuansa otoritas. Seolah-olah pemerintahlah yang paling tahu dan mampu menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Salah satu akibatnya semua hal tentang pendidikan serba diatur tanpa memberikan peluang otonomi. Penyelenggaraan pendidikan mengarah pada konformitas. Konformitas itulah yang berbahaya, sebab dapat mematikan identitas diri. .
Pola konformitas tidak mendukung terciptanya pribadi-pribadi yang mandiri. Para siswa dianggap sebagai orang yang terus menerus diperintah. Padahal, tuntutan di masa sekarang memerlukan pribadi-pribadi yang lebih independen, tidak selalu bergantung pada perintah. Itulah akibat jika tutwuri handayani ditinggalkan.

Setelah kemerdekaan politik hampir 63 tahun dilalui, ternyata jiwa merdeka bangsa ini belum tumbuh sempurna. Hal itu setidaknya disebabkan oleh dua hal. Ialah, (1) pendidikan dan pengajaran kita belum memadai untuk terwujudnya cita-cita luhur bangsa Indonesia. Meskipun sebagian kecil warga negara sudah dapat mengenyam pendidikan yang tinggi, tetapi tidak sedikit pula yang masih buta huruf, tidak terlayani pendidikan dan kehidupannya masih tergantung pada orang lain. (2), Isi dan cara-cara pendidikan dewasa ini belum memerdekakan. Kuatnya sistem birokrasi pendidikan tidak jauh dari otoritarisasi pendidikan yang feodalistik menyebabkan hilangnya identitas diri dan menghambat tumbuhnya inovasi kreasi.
Untuk mengatasi hal itu peta pendidikan nasional yang pernah dibuat perlu direntang kembali. Dengan tetap berupaya memperluas dan memeratakan pendidikan untuk seluruh rakyat, maka mengubah dan memperbaharui sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan cita-cita manusia berjiwa merdeka harus dilakukan.
Artikel ini pernah dimuat harian SOLOPOS

Kebangsaan

Meneguhkan kembali kemandirian bangsa
Oleh : Ki Sugeng Subagya

... mardika iku jarwanya; nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa; amandhiri priyangga, wit saka iku den emut, wenang lan wajib ywa pisah.


Penggalan pupuh cakepan tembang “asmaradana” karya Ki Hadjar Dewantara di atas memiliki makna yang sangat dalam. Setidaknya, dengan jelas tergambar hakekat kemerdekaan yang tidak hanya lepas dari kekuasaan orang lain tetapi juga harus mandiri.

Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dibacakan oleh Soekarno/Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Sejak itu bangsa Indoenesia telah lepas dari cengkeraman kuku penjajahan. Kini, setelah 63 tahun kemudian, hakekat kemerdekaan belum terasa.

Merdeka secara politik, ternyata tidak diikuti oleh kemerdekaan ekonomi, sosial, budaya bahkan ideologi. Ada kecenderungan, bangsa Indonesia semakin terperosok dalam kubangan neo-kolonialisme. Perkembangan globalisasi yang mengarah pada kerakusan kapitalisme dan pasar bebas telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa mandiri yang buntutnya menyengsarakan rakyat.

Etos kerja petani Indonesia yang terbiasa pergi ke sawah ladang sebelum subuh dan pulang ke rumah menjelang maghrib telah membudaya. Tetapi kerja keras mereka itu tidak serta merta mengangkat kesejahteraan hidupnya. Keadannya tetap miskin.

Pelaksanaan program atas nama pembangunan untuk kehidupan yang lebih baik, selalu menimbulkan luka menganga bagi wong cilik yang konon akan disejahterakan. Rakyat miskin, pegawai rendahan, petani gurem, nelayan, pedagang kecil, buruh, dan kaum papa yang mestinya mendapat perlindungan justeru harus memikul beban yang semakin berat.

Kekayaan sumber daya alam yang besar hampir tidak berarti bagi kemakmuran rakyat. Orang lain telah menikmatinya sebagai kompensasi atas “kepintarannya” mengolah sumber daya alam milik bangsa ini. Rakyat yang sesungguhnya pemilik sah, dijadikan penonton bahkan korban pengelolaan sumber daya alam yang salah urus. Nasibnya bagai ayam mati kelaparan di lumbung padi.

Kegetiran semakin terasa, pengemban kekuasaan memimpin bangsa ini tidak amanah. Rakyat dan bangsa dituntun mendekati jurang kehancuran. Praktik korupsi pada semua lini baik yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif semakin menambah luka rakyat. Rakyat bagai ditindas oleh bangsanya sendiri.

Ternyata, bagi bangsa Indonesia, proklamasi kemerdekaan saja belum cukup. Oleh karena itu diperlukan proklamasi baru, ialah proklamasi kemandirian.

Tanpa kemandirian tidak akan ada kemerdekaan hakiki. Kemerdekaan yuridis formal secara politis sesungguhnya hanyalah pintu gerbang menuju kemerdekaan hakiki. Apakah gunanya kemerdekaan yuridis formal jika jiwa bangsa Indonesia masih jemajah ? Demikianlah Ki Mohammad Said Reksohadiprodjo pernah mengatakan kepada penulis.

Jemajah disebabkan oleh tipisnya rasa tanggungjawab secara nasional. Rasa tanggung jawab atas nasib bangsa secara keseluruhan terkalahkan oleh kepentingan pribadi, keluarga, golongan dan kelompoknya. Masa bodoh untuk bangsa dan negara ! Semangat kompetisi untuk meraih kekuasaan, kekayaan, dan kesempatan untuk kepentingan diri dengan menghalalkan segala cara membuka peluang masuknya penjajahan baru dalam segala bentuknya. Demikian halnya penerapan aji mumpung dengan mengorbankan harga diri, menunjukkan bentuk ketidakberdayaan atas tekanan pihak lain.

Teks proklamasi bangsa mandiri, sebagaimana teks proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, hendaknya dirumuskan dengan kalimat yang tidak panjang. Ialah singkat, padat, cermat dan keramat. Cukup dengan dua kalimat. “Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemandirian Indonesia. Hal-hal mengenai transformasi sikap mental dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.

Makna proklamsi kemandirian sesungguhnya adalah transformsi. Ialah transformasi sikap mental jemajah ke sikap mental tanggungjawab nasional. Tanggungjawab nasional harus dibangun melalui kemampuan berpikir dan bertindak pula secara efektif, efisien, pragmatis dan bijaksana.

Untuk dapat berpikir dan bertindak efektif, efisien dan pragmatis diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta organisasi dan mekanisasi.

Untuk dapat berpikir dan bertindak bijaksana diperlukan jiwa yang dewasa. Ciri-ciri pokok jiwa dewasa adalah realistis, konsisten, kritis dan obyektif. Merasa sejahtera dan bahagia dalam keadaan apapun dengan tetap bekerja keras membangun masyarakat merupakan ciri yang lainnya. Dengan demikian keselarasan antara kedaulatan diri dan rasa harga diri akan terpelihara dengan baik.

Untuk merdeka, bangsa ini harus mandiri. Untuk mandiri, anak-anak bangsa ini harus makarya. Dengan makarya, orang akan memiliki kedaulatan diri. Jangan berharap dapat merdeka tanpa memiliki kedaulatan diri.

Sebaiknya momentum peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2008 ini dijadikan pula sebagai momentum untuk proklamasi bangsa mandiri. Setidaknya diproklamasikan sendiri dalam diri setiap anak bangsa Indonesia. Semoga.-

Artikel ini pernah dimuat harian SOLOPOS.