Laman

Rabu, 08 Juli 2009

Pendidikan Watak


Revitalisasi Pendidikan Watak
Oleh : Ki SUGENG SUBAGYA

Ketika terjadi fenomena kemerosotan moral, maka pendidikan adalah kambing hitamnya. Sebagian orang kemudian melirik kembali pentingnya pendidikan watak. Hal ini sangat menggembirakan. Setidaknya mulai ada kesadaran bahwa pendidikan watak merupakan hal yang penting.

Pendidikan dalam rangka pembentukan watak bertugas menumbuhkan dan membina watak bangsa. Kongkretnya, pendidikan harus mampu menanamkan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang bersangkutan.

Lingkup pendidikan formal di lingkungan sekolah hanya satu dari tiga pusat pendidikan yang sama pentingnya untuk terbangunnya watak bangsa. Oleh karena itu pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat harus pula dituntut tanggungjawabnya. Tidaklah cukup pendidikan watak hanya diserahkan ke sekolah, apalagi hanya berupa matapelajaran pendidikan budi pekerti.
Pendidikan watak dalamrangka penanaman nilai-nilai luhur untuk mengembangkan dan membina watak bangsa dapat dikategorikan sebagai penanaman nilai moralitas manusiawi (Paul Suparno,2001). Thomas E. Lickona (1991) dalam bukunya Educating for Character, menekankan pentingnya diperhatikan tiga unsur dalam menanamkan nilai moral supaya sungguh terjadi, yaitu unsur pengertian, perasaan, dan tindakan moral. Dalam konteks konsepsi Ki Hadjar Dewantara, yang demikian disebut sebagai ngerti, ngrasa, dan nglakoni, atau tri-nga. Ketiga unsur itu saling berkaitan. Ketiga unsur itu perlu diperhatikan, supaya nilai yang ditanamkan tidak tinggal sebagai pengetahuan saja tetapi sungguh menjadi tindakan seseorang.

Termasuk dalam unsur ngerti, diantaranya adalah konsepsi dan kesadaran, pengertian akan nilai, kemampuan untuk mengambil gagasan orang lain, rasionalitas (alasan mengapa harus melakukan hal itu), pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai, dan pengertian mendalam tentang dirinya sendiri. Segi pengertian ini cukup jelas dapat dikembangkan seperti dalam pembelajaran di kelas, sarasehan, seminar, diskusi kelompok, workshop, diklat, pembelajaran, dll. Dengan demikian orang sungguh mengerti apa yang akan dilakukan dan sadar akan apa yang dilakukan. Pendek kata, mana mungkin orang dapat melalukan sesuatu dengan baik tanpa dalam benaknya memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang akan dilakukannya itu.

Unsur ngrasa, meliputi suara hati (kesadaran akan yang baik dan tidak baik-yang benar dan yang tidak benar), harga diri seseorang, sikap empati terhadap orang lain, perasaan mencintai kebaikan, kontrol diri, dan rendah hati (bukan rendah diri). Perasaan sangat mempengaruhi seseorang untuk mudah atau sulit bertindak baik atau jahat dan benar atau salah. Dalam pendidikan watak, peserta didik dibantu untuk menyenangi ataupun mengiyakan, atau setidaknya menyetujui nilai yang mau dilakukannya. Orang dibantu untuk menjadi lebih tertarik akan nilai tersebut. Untuk itu orang harus dibantu pula untuk dapat merasakan bahwa nilai itu sungguh baik dan perlu dilakukan.

Nglakoni yang termasuk unsur tindakan, adalah kompetensi (kemampuan untuk mengaplikasikan keputusan dan perasaan ke tindakan kongkret), kemauan, dan kebiasaan. Tanpa kemauan yang kuat, meski orang sudah tahu tentang tindakan baik yang harus dilakukan, ia tidak akan melakukannya. Hal ini juga membutuhkan pembiasaan. Apabila anak-anak sudah dibiasakan bertindak yang baik dan benar dalam hal-hal yang kecil, ia akan lebih mudah untuk melakukan tindakan yang baik dan benar dalam hal yang lebih besar.

Ketika pendidikan watak direkonstruksi untuk tercapainya hasil ngerti, ngrasa, dan nglakoni itulah maka pembenahan proses juga perlu dilakukan. Ki Hadjar Dewantara telah mewariskan hakekat proses pendidikan sebagai niteni, nirokke, dan nambahi untuk menjadi panduan kita. Oleh karena itu, dalam kerangka niteni (mengamati dengan jeli), nirokke (menirukan), dan nambahi (menambah dalam rangka inovasi), diperlukan model atau figur teladan.

Dalam lingkungan in-formal, pendidikan keluarga membutuhkan figur teladan dari orangtua dan orang-orang dewasa lain dalam keluarga sebagai panutan. Dalam lingkungan non-formal, pendidikan dalam masyarakat membutuhkan figur teladan dari para tokoh masyarakat yang dituakan dan teman sebaya sebagai panutan. Demikian pula dalam lingkungan formal, pendidikan di sekolah membutuhkan figur teladan guru dan pendidik lainnya sebagai panutan.

Dari uraian di atas, kata kuncinya untuk merekronstruksi pendidikan watak tidak dapat lepas dari keteladanan. Demikianlah Ki Hadjar Dewantara mengatakan ing ngarsa sung tuladha, di depan menjadi (tidak sekadar memberi) contoh. Menjadi contoh menuntut konsekuensi yang lebih berat daripada sekadar memberi contoh. Untuk dapat sekadar memberi contoh seseorang tidak perlu menjadi figur teladan, sebab figur teladan dapat diwakili oleh sosok lain. Dalam hal mendidik, praktik yang demikian dapat dipandang sebagai tidak konsekuen. Orang Jawa mengatakan, gajah diblangkoni, bisa kojah ora bisa nglakoni. Barangkali artinya, ngomong doang, mana praktiknya ?

Demikianlah pendidikan watak direvitalisasi. Bukan hanya tanggung jawab sekolah untuk menanamkan nilai-nilai luhur bangsa, lebih dari itu semua pemangku kepentingan pendidikan harus mengambil perannya masing-masing.

Ki Sugeng Subagya,
Wakil Ketua Majelis Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta

Artikel ini dimuat Harian KOMPAS 16 Mei 2009

Pendidikan Nasional Indonesia


Berpaling kepada Pendidikan Nasional

Ki Sugeng Subagya

Ajakan Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutan upacara hari pendidikan nasional tahun 2009 patut diapresiasi. Hendaknya bangsa Indonesia senantiasa meneladani perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara telah meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi pendidikan nasional yang sesuai dengan watak, kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Sedikitnya ada tiga hal penting mengenai dasar-dasar pendidikan nasional, ialah (1) pendidikan jiwa merdeka, (2) pemerataan pendidikan, dan (3) cara pendidikan among.

Disadari benar, perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia tidak segera terwujud oleh karena tidak adanya “jiwa merdeka” pada setiap diri anak bangsa Indonesia. Agar jiwa merdeka itu berkembang, maka harus ditanam pula jiwa nasional. Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup akan berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan.Menanamkan jiwa merdeka dan jiwa nasional seharusnya dimulai sejak kanak-kanak. Syaratnya pendidikan harus memerdekakan dan menuntun terbentuknya semangat nasionalisme. Demikianlah, maka dengan tegas Ki Hadjar Dewantara menamakan perguruan yang didirikannya sebagai Perguruan Nasional Tamansiswa.

Pada masa penjajahan, pendidikan bagi rakyat sangat tidak cukup. Bukan hanya tidak ada kesempatan seluas-luasnya bagi bangsa Indonesia untuk mengenyam pendidikan, tetapi pengajaran yang diberikan sangat tidak sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia. Bahkan pendidikan kolonial telah meracuni jiwa anak-anak Indonesia dengan ditanamkan jiwa budak pengabdi kepentingan kolonial. Sesungguhnya, memeratakan pendidikan jauh lebih penting dari sekadar meninggikannya hanya untuk segelintir orang.

Cara pendidikan among maknanya tergambar dalam ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tutwuri handayani. Cara among merupakan bimbingan (handayani) yang bebas dari paksaan dan ancaman (tutwuri), agar “Sang Anak” menentukan sendiri jalannya yang berguna (utilitas), yang benar (logika), yang baik dan susila (etika), dan yang bagus dan indah (estetika). Cara among bukan berarti pembiarliaran ataupun pemanjaan, tetapi suatu bimbingan yang aktif-kreatif yang didasari oleh pengabdian dan cinta kasih sayang yang jauh dari pamrih.

Kemajuan Pendidikan Nasional
Harus diakui, banyak kemajuan telah dicapai dalam pembangunan pendidikan nasional. Namun untuk mewujudkan pendidikan nasional sebagaimana dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Ki Hadjar Dewantara masih memerlukan kerja keras.

Dalam hal menanamkan jiwa merdeka dan membangun nasionalisme, perlu langkah-langkah terobosan strategis. Tidak dapat dipungkiri bahwa era global dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sedikit banyak menghambat penanaman jiwa merdeka. Ketergantungan bangsa Indonesia kepada bangsa lain dalam banyak aspek kehidupan adalah indikatornya. Bahkan orientasi pendidikan nasional kita saat ini sesungguhnya telah berpaling dari dasar dan sendi-sendi pendidikan nasional. Sekolah bertaraf internasional yang dikembangkan seharusnya berpangkal dari penguatan nasionalisme, bukan mengadopsi sistem pendidikan asing untuk diterapkan dalam sistem pendidikan nasional kita.

Pemerataan pendidikan masih menyisakan persoalan tinggginya penyandang buta aksara yang mencapai angka lebih dari 10 %. Kurangnya perhatian pemerintah atas pelayanan dan fasilitasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Berkembangnya sekolah-sekolah ekslusif yang hanya mau menerima siswa dari golongan tertentu saja dan tidak terakomodasinya anak-anak cerdas dari golongan miskin pada sekolah-sekolah bermutu baik, adalah persoalan lain yang perlu segera ditangani.

Meskipun logo Departemen Pendidikan Nasional mencantumkan slogan tutwuri handayani di dalamnya, tetapi makna tutwuri handayani sebagai pendidikan cara among tidak pernah terimplementasikan. Maraknya kekerasan dalam pendidikan, penistaan terhadap guru dan siswa, kecurangan dalam pendidikan, komersialisasi sekolah, dan lain sebagainya, adalah bukti bahwa tugas pendidikan membimbing tumbuh kembangnya “Sang Anak” yang didasari oleh pengabdian dan cinta kasih sayang yang jauh dari pamrih tidak dilakukan. Jangankan anak-anak mampu belajar hidup yang sesungguhnya dari lingkungan sekolah, tetapi dari sekolah ada kalanya anak-anak justeru belajar mengingkari kehidupan bermasyarakat.

Akhirnya, adalah momentum yang tepat apabila pringatan hari pendidikan nasional 2009 ini kita berpaling kembali kepada dasar-dasar dan sendi-sendi pendidikan nasional yang sudah dipancang oleh Ki Hadjar Dewanatara. Kemajuan pendidikan nasional dalam rangka peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan adalah penting, tetapi tidak kalah pentingnya kita harus membangun pendidikan nasional bermutu yang berbasis kepribadian dan kebutuhan bangsa sendiri.-


Ki Sugeng Subagya : Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.

Artikel ini dimuat SKH Kedaulatan Rakyat 5 Mei 2009