Laman

Rabu, 26 Oktober 2011

Pendidikan dan Kebudayaan


Kembalinya Pendidikan Berkebudayaan
Ki Sugeng Subagya
Digabungnya kembali pengelolaan pendidikan dan kebudayaan dalam satu kementerian tentu bukan tanpa alasan.  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan,  pendidikan sangat terkait dengan kebudayaan. Pembentukan karakter bangsa yang berbudaya bisa dicapai antara lain melalui pendidikan. 
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Sedangkan perguruan atau sekolah adalah taman persemaian benih-benih kebudayaan.
Sebelum kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional dalam wujud  dasar-dasar dan azas-azas pembaharuan pengajaran. Konsep mendasar inilah yang pada kemudian hari dirumuskan secara legal formal dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa  pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan pada kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia menuju arah kebahagiaan hidup batin serta keselamatan hidup lahir.
Dominasi Pengajaran
Dalam perkembangan terakhir, pendidikan cenderung mensterilkan diri dari kebudayaan. Ketika pendidikan tidak berkebudayaan maka pengajaran menjadi sangat dominan. Pendidikan yang didominasi pengajaran maka intelektualisme tidak dapat lagi dihindari. Akibatnya pengetahuan yang diperoleh sebatas untuk diketahui, bukan untuk diamalkan.  
Dalam praktiknya, pengajaran telah menghasilkan manusia canggung dalam hidupnya di masyarakat. Mereka hanya bisa hidup  bergantung pada orang lain. Akibatnya, hidup dan kehidupannya tergantung pada orang lain.  Jika yang dijadikan tempat bergantung  jatuh, jatuh pulalah mereka.  
Melihat gerak langkah pembangunan pendidikan kita dewasa ini, harus diakui bahwa sudah banyak kemajuan yang dicapai. Berbagai prestasi regional dan internasional banyak didapat oleh anak-anak bangsa Indonesia. Tetapi, jika dikaitkan dengan tujuan akhir pendidikan dalamrangka mempertinggi derajat kemanusiaan,  kita masih harus terus bekerja keras untuk mewujudkannya. Salah satu derajat kemanusiaan yang tinggi itu tergambar dalam pembentukan insan mandiri.
Pendidikan nasional kita memperlihatkan kelemahannya pada pembentukan insan mandiri.  Tidak sedikit lulusan sekolah  yang terpaksa menganggur. Keluar masuk kantor menenteng map berisi lamaran kerja.  Mereka tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Jangankan lapangan pekerjaan untuk orang lain, untuk dirinya sendiri saja tidak ada kemampuan. Mereka menggantungkan diri kepada “pemerintah”,  tidak mampu bernisiatif dan bekerja tanpa diperintah orang lain.  
Kegagalan mendidik insan mandiri nampak jelas dari tidak dimilikinya rasa percaya diri. Bukan hanya setelah lulus para siswa tidak percaya diri. Sejak di bangku sekolah mereka sangat tergantung orang lain. Fenomena menyontek  sampai dengan kecurangan-kecurangan lain dalam peneyelanggaraan  ujian adalah bukti tidak percaya diri. Hal ini diperparah oleh sikap beberapa oknum pendidik yang tidak responsif menanggulangi kecurangan, tetapi tidak sedikit diantara mereka malah terlibat dalam praktik kecurangan itu.
Keluarga telah terimbas praktik mereduksi percaya diri anak. Betapa sibuknya orangtua   mengintervensi sekolah anak-anaknya. Antrean panjang di loket pendaftaran siswa baru tidak hanya dijejali oleh para calon siswa, tetapi didominasi orangtua. Belum lagi keinginan-keinginan setengah memaksakan kehendak orangtua untuk pendidikan anak-anaknya. Dari memilih sekolah, memasukkan sekolah sebelum usianya, memaksa anak harus naik kelas meski kemampuannya belum cukup, dan sebagainya.
Ketika kebijakan pendidikan menyentuh upaya mempersepsikan  manajemen sekolah sama dengan manajemen perusahaan atau korporasi, tidak bedanya dengan pendidikan yang tidak menyemai benih-benih kebudayaan untuk masa depan bangsa. Pendidikan hanyalah “pabrik” tenaga kerja atau buruh.
Peluang kembalinya pendidikan berkebudayaan telah terbuka lebar. Pengelolaan pendidikan dan kebudayaan dalam satu kementerian sudah dilakukan. Gaung pendidikan karakter dalamrangka keseimbangan pengembangan cipta, rasa, karsa masih nyaring terdengar. Sebaiknya kita segera bergegas memaknai pendidikan berkebudayaan itu dalam isi substansi nyata dalam praktik pendidikan dan pengajaran.-

Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa, Alumnus Filsafat dan Sosiologi Pendidikan FIP UNY.

Keterangan :
Artikel ini dimuat Harian Pikiran Rakyat Bandung, Selasa 24 Oktober 2011 Halaman 26.

Selasa, 11 Oktober 2011

Pembelajaran Berkarakter

Memaknai Pembelajaran Berkarakter
Ki Sugeng Subagya
Guru-guru Pendidikan Agama Katolik yang tergabung dalam Musyawarah Guru Matapelajaran Agama Katolik (MGMP PAK) Sekolah Menengah Kota Yogyakarta  merasa terinspirasi atas sebuah contoh pembelajaran berkarakter tanpa harus memaksa diri memasukkan dalam materi pembelajaran.
Beberapa pengajar Matematika di Sulawesi Selatan merasa tidak mampu memasukkan  satu atau dua dari delapan belas nilai karakter dalam silabus dan Rancangan Program Pembelajaran (RPP). Kesulitan yang sama juga dihadapi oleh para guru matapelajaran Ekonomi di Sumatera Barat yang harus memandang nilai-nilai karakter sebagai hal positif belaka dan diadopsi oleh tema negatif dalam pembelajaran, misalnya mengenai pengangguran.    
Dari contoh-contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran masih menemui kendala. Hal itu masih diperparah oleh pihak-pihak tertentu yang memandang pengintegrasian nilai karakter dalam pembelajaran sebatas formalitas tanpa makna. Meskipun silabus dan RPP yang disusunnya  rapi-jali mencantumkan nilai-nilai karakter sebagai muatannya, namun dalam praktiknya pembelajaran tidak berbeda dengan yang selama ini berlangsung.
Jebakan 18
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan nilai-nilai karakter  menjadi 18 butir; ialah  (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial dan (18) tanggung jawab.
Nilai-nilai tersebut diharapkan menjadi kunci penuntun pembelajaran berkarakter dalamrangka pendidikan karakter. Identifikasi nilai-nilai karakter dalam 18 butir dimaksudkan dapat mempermudah para guru menyelenggarakan pembelajaran berkarakter.
Maksud baik ternyata berbeda dengan kenyataannya di lapangan. Para guru telah terjebak oleh 18 butir nilai-nilai karakter. Jika guru tidak mampu memasukkan satupun dari 18 butir nilai karakter dalam materi pembelajaran maka  belum termasuk mampu menyelenggarakan pembelajaran berkarakter. Jika guru hanya mampu memasukkan nilai-nilai; cermat, teguh pendirian, legawa,  memaafkan, santun, dsb. yang tidak termasuk 18 butir nilai karakter belum pula dianggap  berhasil menyelenggarakan pembelajaran berkarakter.
Sementara pihak khawatir, nasib pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah akhirnya tidak lebih baik dengan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Penataran P-4 di masa lalu jika orientasinya hanya formalitas dan rutinitas.
Re-orientasi
Formalitas dalam pendidikan karakter harus dicegah sedini mungkin. Bukan hanya karena hal itu tidak bermakna, pada saatnya formalitas akan menjadi rutinitas. Upaya perbaikan dari sisi manapun pendidikan akan gagal membentuk manusia berkarakter jika hanya sebatas formalitas dan rutinitas. Terlebih jika guru tidak mampu mengelola rutinitas dalam pembelajaran, maka kejenuhan dan kemandegan yang akan terjadi.
Pembelajaran berkarakter harus bermakna. Pelatihan dalamrangka re-orientasi pendidikan karakter perlu dilakukan. Sebagaimana disarankan buku A Teacher Is Many Things (Pullias, 1979)  bahwa mengajarkan satu pelajaran selama berpuluh tahun bisa menghilangkan gairah mengajar. Jika pengalaman itu membosankan guru, sudah pasti ia juga akan membosankan siswa.
Pelatihan guru ditekankan setidaknya untuk dua hal, ialah (1) mengentaskan guru agar tidak terjebak oleh “mitos” 18 butir karakter, dan (2) meningkatkan kemampuan guru agar mengintegrasikan nilai-nilai karakter tidak hanya sebatas materi pelajaran.
Guru diberi keleluasaan untuk mengembangkan sendiri nilai-nilai karakter yang akan diiintegrasikan dalam pembelajarannya. Menggali nilai-nilai karakter yang tumbuh dan berkembang di masyarakat akan menjadikan pembelajaran berkarakter lebih bermakna.
Orientasi mengintegrasikan nilai karakter sebatas pada materi pelajaran sangat menyulitkan guru. Oleh sebab itu, guru harus diberikan pelatihan mengasah kemampuan untuk menyelenggarakan pembelajaran berkarakter dari strategi yang berbeda, misalnya memilih metode pembelajaran, mengorganisasikan kelas, dan menentukan jenis tagihan dalam penilaian.  
Dari semua itu yang tidak kalah pentingnya ialah terus menerus menanamkan esensi pendidikan karakter melalui keteladanan. Kata Ki Hadjar Dewantara, ing ngarsa sung tuladha. Di depan menjadi contoh. Guru adalah model dalam pendidikan karakter. Kedewasaan bersikap dan bertindak seorang guru cara siswa belajar nilai-nilai karakter yang sesungguhnya.

Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.-

Artikel dimuat Harian PIKIRAN RAKYAT Bandung, Senin, 10 Oktober 2011 Halaman 26

Selasa, 04 Oktober 2011

Dirgahayu "Kedaulatan Rakyat"

Mengapa KR Panjang Umur?
Ki Sugeng Subagya

KEDAULATAN RAKYAT (KR) tergolong koran panjang umur. Kini usianya 66 tahun. Terbit pertama kali tanggal 27 September 1945. Perintisnya H. Samawi (1913 – 1984) dan Madikin Wonohito (1912 – 1984). Mereka dikenal dengan sebutan Pak Sam dan Pak Won. Dengan fondasi kuat yang beliau pancang  menjadikan KR panjang umur.
Pak Sam dan Pak Won memegang kendali KR dengan prinsip “ngeli nanging ora keli”, menghanyut tetapi tidak turut hanyut. Jika kemudian KR identik dengan koran moderat merupakan konsekuensi logis atas perwujudan prinsip tersebut.
Meskipun moderat KR tetap kritis. Kekritisannya didadasri oleh “triko”. Korektif, koordinatif, dan kooperatif terhadap kebijakan pemerintah.  Keberpihakannya kepada kepentingan publik dirumuskannya dalam semboyan ”suara hati nurani rakyat”. Inilah salah satu cara KR menyelamatkan diri dari badai politik.
Koran anak kandung revolusi ini tak mungkin melawan cita-cita revolusi. Sementara koran lain   terpotong umurnya oleh brangusKR tetap dapat jalan terus.  
Meng-internasional
Sebagai media lokal yang menasional, KR adalah community paper yang berbasis intellectual community. Memang KR terbit di Yogyakarta, dengan demikian komunitas pembaca KR berangkat dari lokalitas Yogyakarta dan sekitarnya. Namun, pengaruh KR dalam memberikan pencerahan tidak sesempit lokalitasnya. Pembaca KR yang pernah menghuni lokalitas Yogyakarta tersebar seantero dunia.  KR dengan semua rubrikasinya tetap mewarnai sepak terjang mereka. Dalam perkembangannya KR mampu menginternasional melalui konsep intellectual community.
Awak redaksi dan manajemen KR dipegang oleh orang-orang dengan latar belakang intelektualitas memadai. Disamping itu, dukungan kalangan cendekia yang ketersediaannya tidak  terbatas mewarnai tulisan-tulisan KR sehingga menjadi rujukan banyak pihak. Tidak hanya dalam kapasitas sebagai narasumber, tidak sedikit diantara mereka “medhar gagasan” secara langsung menulis dalam rubrik opini maupun analisis.  Menariknya, KR tidak hanya dibesarkan oleh para penulisnya, tetapi KR sekaligus membesarkan para penulisnya.
KR adalah bagian sejarah Yogyakarta, tetapi KR juga merupakan salah satu pilar penyangga konstruksi Yogyakarta itu sendiri.  Kraton Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, Muhammadiyah dan Tamansiswa yang eksis di Yogyakarta memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan KR. Namun demikian, KR juga memberikan urunan yang sangat berarti terhadap lembaga-lembaga “tua” ini untuk tetap bertahan mengemban visi dan misinya. Prinsip saling memberi dan menerima manfaat inilah dengan sangat cerdas dirumuskan dalam slogan migunani tumraping liyan.
Falsafah Mendidik
Pak Sam dan Pak Won pernah mengajar maka ia adalah guru. Tetapi, untuk mendidik, tidak perlu seseorang menjadi guru. Demikian falsafah mendidik beliau. Mendidik tidak harus formal di depan kelas dengan murid tertentu. Jurnalis itu juga mendidik meskipun tidak mengajar. Koran adalah media pendidikan tidak terbatas.
Pak Won memberikan ilustrasi mengenai jurnalis yang mendidik. Ki Hadjar Dewantara mulai mendidik tidak hanya ketika Perguruan Tamansiswa berdiri. Sejak lama sebelum Tamansiswa lahir Ki Hadjar sudah menulis di Koran, sejak itulah beliau mendidik. Dari koran, pembaca dimengertikan berbagai hal tentang ekonomi, sosial, politik, hukum, ideologi, budaya, bahkan falsafah hidup. (Pusara, No.5 Mei 1984 halaman 201-202).
Mendidik itu mencerahkan, maka koran tidak pada tempatnya memprovokasi terjadinya keributan, kerusuhan, pertikaian, ketidaktenteraman, dan fitnah. Jika ketegangan sudah terlanjur terjadi, maka koran harus bertindak bijak bagai air, menyejukkan suasana. Dalam suasana yang sejuk inilah, masyarakat adalah taman pendidikannya para jurnalis.
Dirgahayu KR !!

Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.

Dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Selasa 4 Oktober 2011 Halaman 12.