Laman

Minggu, 21 Oktober 2012

Catatan Budaya:


Mengisi Ruang Kosong Kesenian “Dolanan Anak”
Ki Sugeng Subagya

Kreasi dan apresiasi merupakan dua unsur sangat penting dalam seni budaya. Kreasi seni budaya bersifat spesifik cenderung tertutup, sedang apresiasi bersifat umum dan sangat terbuka.
Kreasi seni budaya merupakan pengalaman estetik yang diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan kreatif yang menghasilkan karya memesona. Berkreasi memerlukan keahlian khusus. Hanya para seniman yang memiliki keahlian, mampu mengaktualisasikan pengalaman estetiknya dalam bentuk karya seni budaya.
Apresiasi seni budaya dilakukan dengan menghayati dan merasakan suatu  karya sehingga mampu  menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan untuk mencermati kelebihan dan kekurangan terhadap karya. Bagi sebagian orang, apresiasi dilakukan dengan mencermati karya  dengan mengerti dan peka terhadap segi-segi estetiknya, sehingga mampu menikmati dan memaknai karya-karya tersebut dengan semestinya. Dengan demikian apresiasi dapat dilakukan oleh siapapun tanpa harus memiliki keahlian khusus.
Apresiasi seni budaya, khususnya kesenian “dolanan anak” dalam rangka menumbuhkan pengertian dan penghargaan diberikan oleh Kedaulatan Rakyat dalam bentuk KR Award tahun 2012 bidang pendidikan kepada Nyi Corijati Mudjiono, pembina seni “dolanan anak” dari Taman Kesenian Ibu Pawiyatan Tamansiswa, belum lama ini.
Hubungan apresiasi seni budaya dengan pendidikan mendapatkan tempatnya karena apresiasi dapat berupa persepsi, pengetahuan, pengertian, analisis, penilaian, dan apresiasi faktual. Di lingkungan perguruan Tamansiswa, pendidikan kesenian diberikan dengan tujuan untuk mengantar perkembangan peserta didik menuju proses pendewasaan melalui belajar dengan seni, belajar melalui seni, dan belajar tentang seni. Disinilah wahana berekspresi, berkreasi, dan berapresiasi peserta didik mendapatkan tempatnya.
Kesenian Dolanan Anak
Adalah Ki Hadi Sukatno (1915-1983), pamong Tamansiswa dan seorang seniman yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pembelajaran dengan wahana dan media kesenian. Permainan anak atau dolanan anak yang sangat lekat dengan dunia anak-anak direkayasa menjadi wahana dan media pendidikan dan pembelajaran. Jadilah dolanan anak menjadi salah satu genre kesenian bermuatan pendidikan dalam rangka pembentukan karakter peserta didik.
Menurut Ki Hadi Sukatno, permainan anak-anak tradisional dapat dikelompokkan menurut maksudnya. Pertama, permainan yang bersifat menirukan perbuatan orang dewasa, misalnya: pasaran, mantenan, dhayoh-dhayohan, dll.  Permainan ini dilakukan dengan asyiknya, seakan anak-anak merasakannya sebagai perbuatan yang sungguh-sungguh.
Kedua, permainan untuk mencoba kekuatan dan kecakapan jasmani, misalnya  tarik-menarik, berguling-guling, bergulat, berkejar-kejaran, gobaksodor, gobak-bunderan, jethungan, bengkat, benthik-uncal, obrok, bandhulan, dll. Ketiga, permainan melatih panca-indera, kecakapan meraba dengan tangan, menghitung bilangan, memperkirakan jarak, dan menggambar,  misalnya: gatheng, dakon, macanan, sumbar-suru, sumbar-manuk, sumbar-dulit, kubuk, adu-kecik, adu-kemiri, nekeran, jirak, bengkat, paton, dekepan, serang-serongan, dll.
Keempat, permainan dengan latihan bahasa, yaitu permainan anak-anak berupa percakapan. Setiap kali anak-anak berkumpul, biasanya selalu terlibat dalam perbincangan tentang dongeng, cerita pengalaman,  bedhekan atau teka-teki, yang menimbulkan tumbuhnya fantasi.  Kelima, permainan dengan lagu dan wirama yang akhirnya disebut dengan kesenian dolanan anak. Kesenian dolanan anak sangatlah luas dan banyak sekali ragamnya, misalnya; jamuran, cublak-cublak suweng, bibi tumbas timun, manuk-manuk dipanah, tokung-tokung, blarak-blarak sempal, demplo, bang-bang-tut, pung-irung, bethu-thonthong, kidang-talun, ilir-ilir, dll.
Permainan anak-anak tradisional kini keadaannya sangat memprihatinkan. Perkembangan   permainan  anak-anak semakin berkurang, mulai ditinggalkan dan tidak dikenali oleh anak-anak masa kini. Mereka lebih asyik bermain game online, play station, dan permainan komtemporer lainnya. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti permainan anak-anak punah.
Permainan anak-anak, termasuk di dalamnya kesenian dolanan anak, tidak cukup hanya dilestarikan, tetapi juga harus dikembangkan. Kesenian dolanan anak dilestarikan dengan cara melakukan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Upaya pelestarian seharusnya tidak dipahami statis, melainkan  dapat dipahami sebagai hal yang membuat nilai-nilai budaya tersebut tetap hidup sejak awal kemunculannya dan terpakai pada masa kini dan masa yang akan datang. Kesenian dolanan anak harus “sederajat” dengan permainan-permainan kontemporer di mata anak-anak Indonesia.
Oleh karenanya perlu membuka kesempatan seluas-luasnya kepada seniman dan seluruh lapisan masyarakat yang berkepentingan di bidang seni dolanan anak untuk mengasah  kreatifitas dan produktifitasnya mengisi “ruang kosong” kesenian dolanan anak. Dalam kreatifitas dan produktifitas seni budaya, “ruang kosong” itu harus diciptakan karena tidak hadir dengan sendirinya. Di dalam “ruang kosong” inovasi dan kreatifitas memperoleh wahananya. Seniman  dituntut untuk terus meningkatkan kreatifitas dan inovasinya agar dapat menjadi bagian dari sistem kontemporer tanpa harus kehilangan ruh budayanya sendiri.
Demikian halnya dengan  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, kesenian dolanan anak dalam rangka pembentukan karakter dan penguatan jati diri bangsa, pengembangan industri budaya, serta potensi ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat, merupakan tantangan sekaligus peluang. Terkait hal ini, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi serta organisasi masyarakat atau organisasi kesenian sebagai wadah kreatifitas seniman dalam menciptakan karya-karya seni dolanan anak.
Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.-
Artikel ini dimuat SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu Pon 21 Oktober 2012 Halaman 21