Laman

Rabu, 15 April 2009

Pemilu

Menyikapi Hasil Pemilu Tanpa Gangguan Jiwa

Ki Sugeng Subagya

SETELAH pelaksanaan Pemilu, diperkirakan banyak orang terkena gangguan jiwa. Kegagalan mendapatkan suara yang signifikan sehingga tidak dapat menghantarkan para kandidat menjadi anggota legislatif adalah penyebabnya.

Gangguan jiwa seperti yang diperkirakan, dapat menimpa kepada siapapun. Secara psikologis setiap manusia memiliki potensi untuk terkena gangguan jiwa. Potensi itu teraktualisasi atau tidak sangat tergantung pada stabilitas kejiwaan seseorang. Banyak hal dapat mempengaruhi stabilitas kejiwaan. Salah satu diantaranya yang jarang dibicarakan adalah pengaruh faktor internalisasi nilai-nilai kearifan budaya.

Menang atau kalah dalam kompetisi dan pertarungan adalah hal biasa. Menerima kekalahan tentu menyakitkan. Sebaliknya, merengkuh kemenangan pasti membanggakan. Persoalannya, ketika kekalahan yang menyakitkan itu dikompensasikan kepada “ora trima” maka banyak hal kemudian dapat terjadi. Gangguan jiwa ringan, misalnya stres dan deperesi atau gangguan jiwa berat seperti gila, pada gilirannya dapat memicu orang bertindak di luar kesadarannya. Dari sekadar melamun dengan pikiran kosong, sampai “ngamuk” bahkan bunuh diri.

Kebanggaan memenangkan pertarungan, bukan berarti dapat lolos dari gangguan jiwa. Jika kebanggaan itu disikapi dengan berlebih-lebihan, bukan tidak mungkin dapat menjadikan orang lupa diri. Pendek kata, bagi yang menang ataupun yang kalah, jika menyikapi kemenangan dan kekakalahannya secara berlebih-lebihan pasti buruk akibatnya.

Sebagai kenyataan hidup, kemenangan dan kekalahan hendaknya dihadapi secara aanvarding. Hal yang demikian ini oleh Sosro Kartono dirumuskan sebagai nrimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langgeng tan ana bungah tan ana susah, dan anteng mantheng sugeng jeneng.

Nrimah mawi pasrah tidak berarti nglokro, menerima keadaan secara pasif dan menyerah karena merasa tidak berdaya, melainkan legawa menyerahkan hasil akhir pada kehendak Tuhan. Karena itu sikap yang ditunjukkan adalah menerima kebenaran dengan sabar dan toleran, dan bersedia menerima kebenaran itu jika ia dapat meyakini kebenarannya.

Menyikapi kenyataan hidup sebagaimana adanya adalah dasar bersikap kritis dan obyektif. Sikap yang demikian dibangun bebas dari pengaruh keterikatan terhadap barang atau orang, situasi dan kondisi, bebas dari keinginan memiliki (suwung pamrih tebih ajrih. Tetap tangguh, konsisten dan terpercaya (langgeng) dalam keadaan apapun (tan ana bungah tan ana susah). Tenteram damai (anteng) penuh kegembiaraan dan kegairahan hidup (mantheng) untuk kesejahteraan dan kebahagiaan didi, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia serta tertib damainya seluruh alam semesta dan isinya (sugeng jeneng).

Menerima kemenangan dan kekalahan secara legawa adalah bagian dari tanggungjawab. Tanggungjawab dibentuk melalui kedewasaan mental. Untuk mencegah, menangggung, dan mengatasi penderitaan diperlukan kedewasaan mental. Ciri orang yang bermental dewasa ialah sanggup memimpin dirinya sendiri secara bertanggungjawab dan menghadapi kenyataan hidup secara otonom. Kekagalan bukanlah kesalahan yang harus ditimpakan kepada orang lain, melainkan tanggungjawab otonom pada dirinya sendiri. Dengan demikian yang harus difahami adalah, tidak ada kegagalan yang terus menerus dan tak ada sukses terus menerus. Hal ini yang oleh Ki Ageng Suryomentaram disebut sebagai mulur mungkret tan ana bungah tan ana susah.

Ketika berjuang untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, pedoman yang perlu dihayati adalah wejangan Sosrokartono dalam Drs R.M.P. Sosrokartono Sebuah Biografi karangan Solichin Salam, Yayasan Sosrokartono, Jakarta, 1994, “sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, gglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kira-kira “kaya tanpa harta, sakti tanpa azimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan.

Kaya tanpa harta dapat diwujudkan ketika kita dapat memberi apa yang dapat kita berikan secara ikhlas tanpa parih. Sedangkan sakti tanpa azimat dapat diwujudkan ketika merasa berharga dan termormat tanpa harus memiliki kedudukan sosial dan kekuasaan. Kehormatan akan diperoleh seseorang tanpa kekuasaan apabila bersikap dan bertindak susila, jujur, konsisten dan konsukuen.

Dengan membina kepercayaan pada diri sendiri, keteguhan iman dan kemampuan untuk setia kepada apa yang adil dan benar, akan mengantarkan seseorang merasa mampu memperjuangkan cita-citanya meski tanpa bantuan orang lain. Demikianlah makna menyerbu tanpa pasukan. Sedangkan kemampuan untuk merasa bahagia sejahtera dalam situasi dan kondisi apapun dengan tidak membiarkan dirinya dikuasai dan menguasai adalah makna dari menang tanpa mengalahkan.

Akhirnya, untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan perlu dilandasi ajaran enem sa dari Ki Ageng Suryomentaram, ialah sacukupe, saperlune, sabutuhe, sakepenake, sabenere dan samesthine. Ambilah secukupnya untuk memenuhi kebutuhan kita, dengan tidak melampaui batas kemampuan fisik dan mental kita. Tidaklah sukar mencukupi kebutuhan secara wajar dengan cara halal dan legal, tanpa harus mengorbankan harga diri dan memaksakan diri. Smoga.-


Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.


Artikel ini dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Selasa 14 April 2009







Sabtu, 04 April 2009


SBI Seharusnya Tidak Ekslusif
Ki Sugeng Subagya

UU No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3) berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional “. Amanat penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan daya saing dan mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan.

Respon para penyelenggara pendidikan, baik pemerintah maupun masyarakat, merealisasi SBI sangat positif. Pada tahun 2007 rintisan SBI jenjang SMP sebanyak 100 sekolah negeri dan dua sekolah swasta pada 26 provinsi dan 94 kabupaten/kota se Indonesia. Sedangkan pada tahun 2008 jumlahnya berkembang hampir dua kali lipatnya. Sementara itu, untuk SMA telah dirintis lebih dari 200 sekolah baik negeri maupun swasta pada tahun 2008. Demikian pula respon masyarakat memanfaatkan SBI juga sangat besar. Pada tahun 2009 ini diperkirakan semakin banyak sekolah mengajukan diri menyelenggarakan program SBI.

Model dan Kriteria
Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan SBI, terdapat dua model penyelenggaraan rintisan SBI, ialah (1) rintisan SBI yang dibina oleh pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, dan (2) rintisan SBI yang dibina langsung oleh pemerintah daerah tanpa pembinaan pemerintah pusat atau disebut dengan rintisan SBI mandiri.

Substansi SBI adalah sekolah yang telah memenuhi indikator kinerja kunci minimal dan kinerja kunci tambahan. Ialah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan plus ciri-ciri keinternasionalan.

Siswa SBI adalah mereka yang dianggap sebagai bibit-bibit unggul yang telah diseleksi ketat dan yang akan diperlakukan secara khusus. Jumlah siswa dalam satu rombongan belajar dibatasi antara 24-30 orang. Kegiatan belajar mengajar menggunakan bilingual. Pada tahun pertama bahasa pengantar yang digunakan 25 persen bahasa Inggris dan 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia.

Siswa diprioritaskan untuk belajar ilmu eksakta dan teknologi informasi. Oleh karena itu siswa kelas khusus ini diberi fasilitas belajar tambahan berupa komputer dengan sambungan internet. Kurikulum ‘berstandar internasional’ diformulakan sebagai SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan sedangkan X adalah penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional umpamanya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO.

Pendanaan
Menyelenggarakan SBI dengan kualifikasi seperti itu tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam taraf rintisan saja pemerintah pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun untuk setiap sekolah. Padahal pola pendanaan SBI menurut perbandingan 5:3:2. Artinya, pemerintah pusat menanggung 50%, pemerintah provinsi 30% dan pemerintah kabupaten/kota 20%. Jika 300 juta rupiah diasumsikan sebagai 50% dana rintisan SBI yang merupakan kewajiban pemerintah pusat, maka setiap sekolah sedikitnya membutuhkan dana 600 juta rupiah untuk menyelenggarakan rintisan SBI.

Dengan alasan keterbatasan dana, akhirnya pemerintah memutuskan setiap kabupaten/kota hanya menyelenggarakan satu sekolah rintisan SBI model yang dibina langsung pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupetan/kota. Jika pemerintah daerah menghendaki menyelenggarakan rintisan SBI lebih dari satu sekolah setiap kabupaten/kota maka termasuk dalam model yang tidak dibina langsung oleh pemerintah pusat atau dalam kategori mandiri.

Berapa dana yang harus dikeluarkan oleh orang tua yang ‘ngebet’ dengan rintisan SBI mandiri ? Yang jelas orang tua harus merogoh koceknya dalam-dalam. Hanya orang tua yang berkemampuan ekonomi tinggi saja yang bisa memasukkan anaknya dalam program rintisan SBI. Sayang, keadaan yang demikian dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk menangguk untung. Dengan dalih menyelenggarakan rintisan SBI dikeruknya dana masyarakat. Tak ayal SBI menjadi ekslusif.

Rintisan SBI mandiri adalah program prestisius dengan biaya tinggi. Muncullah olok-olok sementara orang, SBI adalah sekolah bertarif internasional. Akibatnya, kesempatan warga negara kurang mampu mengakses pendidikan bermutu sangat terbatas. Tanpa modal finansial cukup, mustahil dapat mengenyam pendidikan bertaraf internasional itu. Perlu pemikiran pemanfaatan anggaran pendidikan yang 20 % APBN untuk memfasilitasi mereka yang berkemampuan akademik tinggi, namun kemampuan ekonominya rendah. Dengan demikian SBI dapat diakses oleh siapapun dan tidak ekslusif. Semoga.-

Penulis adalah Pamong Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan.

Keterangan : Artikel ini dimuat Harian Umum PELITA pada hari Rabu, 28 Maret 2009.