Laman

Sabtu, 10 Oktober 2009

In Memoriam

Ki Hadi Sugito “Tetuladhan” Dalang Teguh Pendirian
Ki Sugeng Subagya


Masyarakat pemerhati dunia pedalangan Indonesia, khususnya pecinta wayang purwa berduka. Ki Hadi Sugito, dalang kondang dari Toyan Wates Kulonprogo meninggal dunia. Beliau wafat dalam usia 67 tahun hari Rabu 9 Januari 2008 pukul 09.00 di RSUD Wates.

Wafatnya Ki Hadi Sugito sungguh menorehkan kepedihan mendalam. Betapa tidak, beliau adalah dalang sepuh, tokoh panutan dan salah satu pilar kokoh budaya Jawa. Kiprahnya yang panjang dalam dunia pedalangan secara otodidak menjadikannya sebagai guru bagi dalang-dalang generasi penerusnya.

Ki Hadi Sugito dikenal sebagai dalang yang memiliki rasa humor tinggi, piawai berkreasi dan mengedepankan originalitas. Rasa humor itulah yang selalu menyertai sanggit kreatifitasnya yang original. Bahasa pedalangan yang selalu dikesankan “dakik-dakik” dan rumit, oleh Ki Hadi Sugito disederhanakan dalam bahasa simpel yang mudah dimengerti. Dengan cara seperti ini banyak kalangan muda yang justeru menyukai pertunjukkannya.

Humor dalam pedalangan gaya Ki Hadi Sugito bukan hanya tempelan dalam alur cerita, tetapi lebih dari itu, humor adalah bagian melekat dari alur ceritera itu sendiri yang nampak manusiawi. Oleh karena itu humor tidak hanya dapat ditemui dalam adegan gara-gara saja. Bukan hal yang mustahil tokoh-tokoh wayang serius, seperti Puntodewo, Brotoseno, Kresno, Duryudono, Bolodewo, bahkan Bethara Guru-pun “ndagel”.

Dengan bahasa sederhana dan cenderung lugu serta sanggit yang lucu, Ki Hadi Sugito mampu membangun motivasi penonton untuk menikmati pertunjukkan wayang purwa yang gampang dan menarik sejak “jejer” hingga “tancep kayon”.

Disamping itu, dialog adalah kekuatan lain yang dilmiliki Ki Hadi Sugito. Melalui dialog yang ringan dan encer menjadikan pertunjukan semakin enak kepenak ditonton dan diikuti alur ceritanya.

Patut diakui, bahwa Ki Hadi Sugito adalah dalang sangat produktif. Dari sisi jumlah kaset rekaman wayang, sampai saat ini barangkali jumlahnya tidak tertandingi oleh dalang manapun. Ibaratnya, hampir setiap malam kita dapat mendengarkan pergelarannya melalui siaran radio. Meskipun pemutaran kasetnya sudah berulangkali, tetapi ternyata masih menarik minat untuk di dengarkan.

Dikritik
Upaya menarik perhatian kaum muda mencintai pertunjukkan wayang dan kemudian mampu mengambil hikmah dari ceritera wayang yang dirintis Ki Hadi Sugito bukan tanpa kritik. Pada awal kemunculannya menggelar pertunjukan wayang “yang tidak lazim” Ki Hadi Sugito dianggap dalang yang nyempal dari pakem pakeliran pedalangan gagrak mataraman yang saat itu dianggap wingit. Bahkan tidak sedikit yang menganggap bahwa Ki Hadi Sugito adalah dalang lekoh, saru dan kasar. Kata-kata prek, dapurmu, trembelane, ngglibeng, menus, bosah-baseh dan sebagainya yang selalu muncul dalam dialog wayang adalah alasannya.

Tidak kurang para ahli susastra Jawa memberikan kritik atas penggunaan kata-kata atau ungkapan bahasa Jawa yang tidak trep. Misalnya, ngambar arum, diucapkan sebagai nggambar arum dan rikala diucapkan sebagai natkala, dan sebagainya.

Dalang “Mumpuni”
Pesan berharga Ki Hadi Sugito yang selalu diungkapkan kepada dalang-dalang generasi penerusnya, hendaklah mereka mau “sinau”. Sebab tanpa “sinau” tidak mungkin kemampuan sanggit, sabet dan antawecana dikuasai. Jadilah dalang yang mumpuni, kata beliau. Petuah ini tidak hanya jatuh diomongkan. Ki Hadi Sugito menjadi teladan dalam penerapannya. Konsistensi terhadap “penolakan” bintang tamu pelawak dan campur sari adalah contohnya.

Lepas dari semua kritik dan keberatan berbagai pihak atas tampilan pertunjukkan wayang Ki Hadi Sugito, kita tidak dapat menyangkal bahwa saat ini beliau adalah dalang sepuh yang patut diteladani dalam memegang teguh pakem pakeliran gaya mataraman. Tentu disamping itu ada Ki Timbul Hadiprayitno dari Patalan, Jetis Bantul. Sayang, Ki Hadi Sugito telah berpulang menghadap Sang Khalik. Untuk itu sepantasnya kita hantarkan doa, semoga khusnul khatimah. Sugeng tindak Ki Hadi Sugito, kami adalah saksi karya budayamu yang ngambar arum.

Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan

2 komentar:

  1. saya pengagum dalang Ki Timbul (swargi) dan Ki Hadi Sugito (swargi)

    BalasHapus
  2. Cuma sekali nonton live ki hadi sugito paz dekat rumah pentasnya. Sejak kecil ga sengaja ikut dengarkan di radio saudara. Kalo ga ki hadi Sugito males. Ki timbul haiprayitno juga. Suka gojegannya tapi ga paham cerita. Suka gagrag jogja karena terbiasa saja. Tahun 90an dan 2000 sampai hapal radio mana yg siarkan ringgit wacucal. Moga jasa2 mereka selalu dikenang

    BalasHapus