Laman

Rabu, 18 Mei 2011

Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2011 (1)

Kembali Ke "Sistem Among"

Ki Sugeng Subagya


Pendidikan nasional dikritik tidak mampu mendorong siswa mengembangkan inovasi dan kreatifitas sehingga sulit memunculkan wirausaha maju. Bagaimana mungkin pendidikan mampu memunculkan wirausahawan jika prosesnya menggunakan alat perintah dan paksaan ?

Esensi pendidikan adalah memerdekakan dan memandirikan. Penggunaan cara perintah dan paksaan bertentangan dengan falsafah pendidikan nasional Indonesia yang dasar-dasarnya diletakkan Ki Hadjar Dewantara. Atas jasa-jasanya meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan hari lahirnya, tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Sistem among adalah
ruh pendidikan Tamansiswa sekaligus embrio sistem pendidikan nasional Indonesia. Dari sistem among inilah gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan nasional dikembangkan.

Mulanya, sistem among dimaksudkan sebagai perlawanan atas sistem pendidikan Barat yang dibawa oleh pemerintah kolonial yang tidak sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Pendidikan Barat didasari oleh regering, tucht and orde, atau perintah, hukuman dan ketertiban atau paksaan. Dalam praktinya, pendidikan yang demikian akan merusak kehidupan batin anak-anak. Budi pekertinya rusak karena hidup di bawah paksaan dan hukuman. Jika kelak dewasa, anak-anak yang telah rusak batinnya tidak dapat bekerja tanpa diperintah
.

Sistem among diimplementasi dengan orde and vrede, ialah tertib dan damai atau tata tentrem.

Pamong tidak boleh memaksa, meskipun sekadar memimpin. Ia juga tidak dalamrangka “nguja” atau membiar-liarkan. Mencampuri kehidupan anak diperbolehkan ketika anak ternyata sudah berada di jalan yang salah.


Pijakan sistem among ada pada dua dasar, ialah kemerdekaan dan kodrat alam. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak sehingga dapat hidup merdeka, mandiri dan makarya. Sedangkan kodrat alam sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya menurut hukum evolusi.

Ketika kurikulum dikembangkan sendiri oleh satuan pendidikan, dan setiap guru harus mengembangkan sendiri silabus dan rencana pembelajarannya, maka sesungguhnya sudah terbuka lebar peluang mengimplementasi sistem among dalam pembelajaran.

Memberikan layanan pada kecenderungan anak agar tumbuh secara maksimal tanpa adanya perasaan takut dan tertekan adalah salah satu contohnya. Mengutamakan personal aproach atau pendekatan individual dalam pembelajaran dengan memperhatikan kodratnya anak, adalah contoh yang lainnya. Di lain pihak, pamong harus membuka peluang tumbuhnya inisiatif serta kemampuan anak untuk berbuat sesuatu. Dari sinilah akan muncul inovasi dan kreatifitas peserta didik.


Apabila hendak “menghukum anak”, hendaknya dipikir masak-masak. Apakah hal itu akan menguntungkan anak atau sebaliknya? Apakah dengan hukuman tidak berdampak menjauhkan hubungan antara guru dengan murid ? Apabila terpaksa harus menghukum, maka hendaknya tetap didasarkan pada rasa cinta dan dengan iktikad demi keselamatan anak itu sendiri. Hukuman bukan didasari oleh dendam atau untuk membuat jera (ngapokke), tetapi hukuman harus difahami untuk menunjukkan buahnya perbuatan. Hukuman adalah sebuah pembelajaran untuk konsekuen dan bertanggungjawab.


Tampaknya, kini perintah dan paksaan justeru tumbuh subur dalam sistem pembelajaran pendidikan nasional kita. Pada sisi yang lain sasaran pendidikan yang cenderung intelektualistis yang ditolak oleh sistem among, kini kokoh mencengkeram dengan angkuhnya. Kemandirian untuk berkarya bagi peserta didik telah terabaikan oleh selembar ijazah formal. Akibatnya, tamat sekolah, peserta didik tak mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya, apalagi orang lain, kecuali “klonthang-klanthung” menenteng map mencari pekerjaan untuk menjadi buruh pada orang lain.

Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.

Kamis, 12 Mei 2011

Daur Ulang Demokrasi (2)

Perangai Penguasa Bebal

Ki Sugeng Subagya

Secara kontekstual, bebal tidak hanya berarti bodoh atau dungu. Tetapi dapat diartikan sebagai sukar mengerti; atau tidak mau mengerti. Bisa juga diartikan sebagai tidak cepat menanggapi sesuatu atau tidak responsif.

Kegaduhan politik yang akhir-akhir ini terjadi di berbagai belahan dunia yang ditandai dengan demontrasi besar-besaran, dapat dikategorikan sebagai perlawanan terhadap sikap dan perilaku bebal. Perlawanan rakyat terhadap Zine El Abidine Ben Ali dari Tunisia, Muhammad Hosni Said Mubarak dari Mesir, dan Moammar Khadafi dari Libya dapat dijadikan indikasi masih berlakunya sikap dan perilaku bebal.

Penguasa yang bebal bisa dianggap sebagai gila kekuasaan dan tidak tahu malu. Meskipun diteriaki agar turun dari kursi kekuasaanya, ia tidak mau turun juga. Segala daya upaya dilakukan untuk tetap bertahan. Tidak kurang cara-cara kotor dan tidak manusiawi, jauh dari akal sehat dan menyesatkan sekalipun ditempuh demi tetap berkuasa. Setelah lama duduk di kursi kekuasaan lalu lupa “berdiri”. Ketika sudah jatuh sekalipun, penguasa bebal akan tetap merasa benar.

Dalam dunia pewayangan, penguasa bebal dipresentasikan dengan sempurna oleh Dasamuka dalam kisah Ramayana, dan Duryudana dalam kisah Mahabarata.

Untuk mendapatkan Dewi Shinta, Dasamuka menghalalkan segala cara. Diculiknya Shinta dengan cara licik. Ketika perang sudah berkecamuk dan rakyat telah menjadi korban perang, pantang mundur barang sejengkal. Bahkan, ketika seluruh tentara dan rakyatnya habis oleh ganasnya perang, dengan pongah maju sendiri ke medan laga dengan dalih atas kebenaran yang diformulasikannya sendiri.

Demikian halnya Duryudana, dengan dalih kebenarannya sendiri ia merasa memenangi perang bharatayudha. Sebagai prajurit terakhir, akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali maju ke medan laga untuk menjemput ajal. Dalam keadaan sekarat, Duryudana berkata bahwa sesungguhnya yang memenangi perang baratayudha adalah Kurawa. Semua orang yang hidup itu pasti akan mati, maka hidup tidak perlu takut mati. Selayaknya hidup yang tidak lama itu dimanfaatkan untuk bersenang-senang, bergelimang kemewahan dan kemegahan. Jika perlu menuruti nafsu angkara murka. Itu semua pernah dinikmati Kurawa. Sedang Pandawa, selama hidupnya dalam keadaan terlunta-lunta dan sengsara.

Meskipun setelah bharatayudha Pandawa akan mendapatkan kembali Hastina, tetapi mereka akan tetap hidup sengsara. Seluruh harta kekayaan Hastina telah habis diperuntukkan biaya perang. Prajurit dan kaum laki-laki telah terbunuh habis. Kini yang tersisa tinggal infrastruktur yang porak-poranda, anak-anak kecil, janda tua, orang jompo, dan sebagian kecil laki-laki bekas prajurit dalam tawanan yang dalam keadaan sakit parah. Diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk memulihkan keadaan. Bukan tidak mungkin harta yang kini dimiliki Pandawa akan habis untuk merekonstruksi Hastina pasca-perang.

Menyikapi logika Duryudana yang “keblinger”, Kresna memberi nasehat kepada Pandawa. Menurut Kresna, apa yang dikatakan Duryudana itu benar, tetapi benar menurut dirinya sendiri. Padahal kebenaran hakiki itu tidak cukup hanya benar menurut diri sendiri, tetapi harus pula benar menurut tuntunan agama, dan benar menurut tatanan hidup bermasyarakat. Itulah kebenaran universal yang harus menjadi karakter ksatriya, seperti Pandawa.

Hal yang menarik untuk dijadikan pelajaran hidup beradab, sebagaimana nasehat Kresna kepada Pandawa, bahwa pemimpin itu berbeda dengan penguasa. Untuk menjadi penguasa tidak perlu berwatak ksatriya, sedangkan Pandawa itu ksatriya, maka ketika berkuasa harus menjadi pemimpin bukan sekadar penguasa.

Tidak semua orang memiliki karakter memimpin jika tidak dipenuhi syarat-syaratnya. Menurut Ki Hadjar Dewantara, dalam pelaksanaan memimpin hanya diperlukan dua syarat. Bagi pemimpin syaratnya adalah “berani dan bijaksana”. Sedangkan bagi yang dipimpin, syaratnya adalah “berani dan setia”. Bagi pemimpin, modal berani saja tidaklah cukup. Keberanian tidak akan efektif tanpa perhitungan dan kebijaksanaan. Demikian pula kebijaksanaan yang tanpa keberanian tidak akan menghasilkan apa-apa. Tanpa keberanian, kebijaksanaan malah menjadi tempat bersembunyi untuk menyelematkan diri sendiri. Hanya orang yang berani yang berhak menentukan kebijaksanaan.

Sebagai kenyataan hidup, memimpin dan dipimpin hendaknya dihadapi secara aanvarding. Hal yang demikian ini Sosrokartono dirumuskan sebagai nrimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langgeng tan ana bungah tan ana susah, dan anteng mantheng sugeng jeneng.

Nrimah mawi pasrah tidak berarti nglokro, menerima keadaan secara pasif dan menyerah karena merasa tidak berdaya, melainkan legawa menyerahkan hasil akhir pada kehendak Tuhan. Karena itu sikap yang ditunjukkan adalah menerima kebenaran dengan sabar dan toleran, dan bersedia menerima kebenaran itu jika ia dapat meyakini kebenarannya.

Menyikapi kenyataan hidup sebagaimana adanya adalah dasar bersikap kritis dan obyektif. Sikap yang demikian dibangun bebas dari pengaruh keterikatan terhadap barang atau orang, situasi dan kondisi, bebas dari keinginan memiliki (suwung pamrih tebih ajrih. Tetap tangguh, konsisten dan terpercaya (langgeng) dalam keadaan apapun (tan ana bungah tan ana susah). Tenteram damai (anteng) penuh kegembiaraan dan kegairahan hidup (mantheng) untuk kesejahteraan dan kebahagiaan didi, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia serta tertib damainya seluruh alam semesta dan isinya (sugeng jeneng).

Memimpin itu bukan untuk dilayani, tetapi melayani. Memimpin itu bukan untuk berkuasa, tetapi untuk mengabdi. Memimpin itu menyejahterakan, bukan disejahterakan. Memimpin itu tampil didepan saat genting dan berada dibelakang saat aman. Memimpin itu adalah tanggungjawab, bukan hak. Memimpin itu ada saatnya, ketika yang dipimpin tidak berkehendak, turunlah tanpa harus mengorbankan harga diri.

Apakah kisruh PSSI, kemelut koalisi, dan hiruk pikuk pembangunan gedung DPR yang sedang hangat di negeri tercinta juga representasi sedang berlangsungnya hegemoni penguasa dan bukan kearifan pemimpin? Atau, jangan-jangan malah merupakan manifestasi sikap dan perilaku penguasa bebal ? Wallahu'alam bishawab.

Ki Sugeng Subagya,

Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.

Daur Ulang Demokrasi (1)

Demokrasi dengan Kepemimpinan
Ki Sugeng Subagya

Tanggal 2 Mei adalah hari pendidikan nasional. Tanggal 2 Mei 1889 adalah hari lahir Ki Hadjar Dewantara. Ditetapkannya tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada Ki Hadjar Dewantara atas jasa-jasanya yang besar dalam meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional.

Salah satu dasar sistem pendidikan nasional yang digagas Ki Hadjar Dewantara ialah demokrasi dengan kepemimpinan. Democratie met leaderschap.


Konsep democratie met leaderschap serasa kembali aktual ketika kini bangsa Indonesia sedang mengalami masa evoria demokrasi. Ialah, demokrasi yang difahami sebagai kebebasan yang tiada terbatas.


Ada kesan, ketika Indonesia menganut sistem otoritarian atau semi-otoritarian, stabilitas keamanan lebih terjamin sehingga ketenteraman masyarakat terjaga. Begitu menerapkan sistem demokrasi, berkembang gangguan keamanan yang ditandai dengan terusiknya ketenteraman masyarakat. Kekerasan horizontal seperti tak pernah surut. Terorisme tertebar sampai sudut-sudut negeri. Radikalisme yang pernah mati suri seolah kembali siuman dan bangkit dengan kekuatan barunya.


Demokrasi Liberal


Perancis adalah Negara yang pertama menerapkan faham demokrasi. Konsepnya diambil dari pemikiran filsafati JJ. Rousseau, untuk mengganti kedaulatan Tuhan atau teokrasi yang telah diselewengkan. Faham demokrasi berkembang pesat sejak Negara-negara Barat, dalam hal ini sekutu, memenangi perang dunia kedua. Terlebih ketika faham komunis tak lagi berkutik karena keruntuhan Uni Soviet pada akhir Abad XX, perkembangan demokrasi semakin menggila. Kini, faham demokrasi bagai candu yang mendominasi tata kehidupan umat manusia di dunia.


Faham demokrasi ala Barat bertujuan mencapai kebaikan bersama dalam wadah suatu Negara, terutama tata hubungan manusia sebagai warga Negara dengan negaranya. Mekanisme demokrasi dikonsepkan sebagai keputusan tertinggi yang terbaik dan yang paling benar adalah yang diambil berdasarkan suara terbanyak (mayoritas) melalui pemilihan umum. Oleh karenanya keputusan yang diambil oleh minoritas diabaikan, karena dianggap tidak baik dan tidak benar. Dari sinilah lalu muncul adagium Vox Populi Vox Dei, suara rakyat (mayoritas) adalah suara Tuhan. Dalam penuturan sehari-hari inilah yang disebut sebagai demokrasi liberal.

Demokrasi Indonesia

Demokrasi liberal tidak bisa diterapkan begitu saja di Indonesia, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi, situasi dalam masyarakat dan budaya Indonesia. Apabila Indonesia meniru mentah-mentah demokrasi barat, maka dikhawatirkan demokrasi tersebut justru tidak membantu menciptakan keadilan dan kesejahteraan Indonesia. Demokrasi bukanlah tujuan akhir sebuah bangsa melainkan hanya sarana.


Tujuan demokrasi Indonesia untuk menyejahterakan rakyat sehingga terwujud Negara demokratis yang anti feodalisme dan anti-imperialisme. Feodalisme dan imperialisme bukan hanya bertentangan dengan hakikat demokrasi, tetapi juga dapat menghambat upaya kesejahteraan rakyat.


Demokrasi Indonesia dibangun berbasis karakter bangsa. Otoritarian dan liberalisme bukan karakter dasar bangsa Indonesia. Semangat gotong-royong dan kekeluargaan yang merupakan pilar utama bangunan karakter bangsa merupakan modal utama membangun demokrasi Indonesia.


Ki Hadjar Dewantara yang pernah secara langsung belajar tentang demokrasi Barat mengkonsepkan demokrasi Indonesia sebagai democratie met leaderschap.


Menurut Ki Hadjar Dewantara, democratie met leaderschap merupakan demokrasi yang berjiwa kekeluargaan, bukan demokrasi yang menganut suara terbanyak. Tetapi juga bukan demokrasi dengan otoritarian pemimpin.


Demokrasi suara mayoritas berakibat mengabaikan suara minoritas. Sekecil apapun suara minoritas tetap bermakna, oleh karena itu harus tetap dihargai. Sedang otoritarian pemimpin dapat berakibat meluapnya individualisme yang pada gilirannya akan menimbulkan anarkhisme. Anarkhisme tidak dikenal sebagai karakter dasar bangsa Indoensia.


Kepemimpinan dalam democratie met leaderschap, diperlukan syarat bagi pemimpin dan bagi yang dipimpin. Bagi pemimpin syaratnya adalah, berani, bijaksana, dan berani bijaksana. Sedangkan bagi yang dipimpin syaratnya adalah, berani, setia dan berani setia. Hanya pemimpin yang berani, bijaksana dan berani bijaksana yang akan dapat menghasilkan rakyat yang berani, setia, dan berani setia.


Tanggungjawab pendidikan nasional dalam alam demokrasi Indonesia ialah menanamkan nilai-nilai demokrasi yang berkarakter Indonesia kepada peserta didik. Jika kemudian pendidikan karakter masih menjadi tema peringatan hari pendidikan nasional tahun 2011, tepat kiranya konsep democratie met leaderschap dikaji sebagai salah satu nilai demokrasi Indoensia. Semoga.-


Ki Sugeng Subagya
, Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.-

Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2011 (2)

Trisula Penjaminan Mutu Pendidikan

Ki Sugeng Subagya



MEWUJUDKAN penjaminan mutu endidikan nasional ternyata masih jauh panggang dari api. Ujian nasional, akreditasi satuan pendidikan, dan sertifikasi pendidik yang diharapkan menjadi ujung tombak (trisula) penjaminan mutu pendidikan baru langkah awal menuju solusi.

Ujian nasional sebagai bentuk evaluasi dalam penjaminan mutu pendidikan dimaksudkan
sebagai upaya memperbaiki kualitas pendidikan melalui jalur peserta didik.

Akreditasi dimaksudkan sebagai upaya memperbaiki kualitas pendidikan melalui jalur satuan pendidikan.
Sedangkan sertifikasi pendidik dimaksudkan sebagai upaya memperbaiki kualitas pendidikan melalui jalur pendidik.

Seakan jawaban bagi kualitas pendidikan adalah ujian nasional, akreditasi satuan pendidikan, dan sertifikasi pendidik. Dengan menempatkan ketiganya sebagai trisula penjaminan mutu pendidikan, maka kualitas pendidikan Indonesia gemilang. Boleh saja berharap kepada trisula penjaminan mutu pendidikan. Namun kalau mengharapkan hal itu akan pasti memberikan hasil yang lebih baik, rasanya terlalu berlebihan.


Tidak ada yang instan dalam pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan memerlukan proses panjang. Penentunya bukan hanya sekadar orang dan uang, tetapi konsep yang benar dan dilaksanakan secara konsisten. Orang dan uang memang penting dalam pendidikan, tetapi tanpa konsep yang baik dan benar cenderung mubazir.


Ujian nasional, sertifikasi pendidik, dan akreditasi satuan pendidikan dalam tataran konsep tampaknya sudah baik dan benar. Hanya dalam praktiknya perlu konsistensi dan penguatan komitmen semua pihak dari sejak memenuhi persyaratan awal sampai dengan “legawa” menerima apapun hasilnya.


Faktor tidak bisa menerima hasil dengan legawa inilah yang sesungguhnya menjadikan penjaminan mutu pendidikan coreng-moreng dengan kecurangan. Praktik kecurangan telah membawa pendidikan nasional terperosok kedalam pengingkaran ruh pendidikan nasional yang paling esensial, ialah
proses yang mengedepankan rasionalitas, integritas, kejujuran, kerja keras serta menjunjung tinggi etika moral.

Saat ini bangsa Indonesia sedang disuguhi cara berpikir yang tidak logis dalam mengimplementasi trisula penjaminan mutu pendidikan. Setiap langkah gerak penjaminan mutu pendidikan selalu diwarnai sikap dan perilaku menipu diri. Pendidikan di Indonesia sedang dilanda dis-orientasi penjaminan mutu.


Bangsa Indonesia telah sepakat menetapkan Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Slogan Kementerian Pendidikan Nasional masih “tut wuri handayani”. Logonyapun masih berupa “blencong” bersayap beralas kitab. Kesemuanya kental dengan nuansa Ki Hadjar Dewantara dengan konsepsi-konsepsinya. Tidak salah kiranya jika re-orientasi pendidikan nasional dilakukan dengan cara mengangkat kembali konsepsi-konsepsi Ki Hadjar Dewantara tersebut dengan cara pandang kekinian.


Cara ini menjadi sangat mungkin manakala pemikiran Roland Robertson (1992) yang menjadikan glokalisasi sebagai bentuk perlawanan penyeragaman budaya oleh globalisasi dijadikan rujukan. Melalui glokalisasi, local culture diboncengkan globalisasi sehingga malah eksis mendunia.


Pada dasarnya konsep student centered learning yang sekarang berkembang bukanlah barang import. Konsep inilah esensi “sistem among” yang digagas Ki Hadjar Dewantara. Student centered learning telah menjadi tradisi pendidikan di tanah air sejak sebelum kemerdekaan, Bahwa Ki Hadjar Dewantara juga pernah bersinggungan dengan tradisi pendidikan Barat di zaman kolonial, tidaklah menghapus akar konsep sistem among dalam budaya lokal Indonesia.


Kita gali kembali konsepsi-konsepsi pendidikan lokal untuk membuka jalan buntu pendidikan nasional sebelum benar-benar tersesat.-

Ki Sugeng Subagya, Pamong Ibu Pawiyatan Tamansiswa di Yogyakarta.-

Obituari

Ki Timbul Hadiprayitno
Menghadap Sang Maha Dalang

Ki Timbul Hadiprayitno atau Mas Tumenggung Cerma Manggala adalah dalang wayang kulit purwa senior. Lahir di desa Jenar, Bagelan, Purworejo pada tahun 1932. Darah seni dan bakatnya mendalang harus diakui tidak datang secara tiba-tiba, meskipun jelas dari garis keturunannya.

Pada awalnya Timbul yang masih bocah itu memang sudah menunjukkan kelebihannya dalam bermain wayang. Kemampuan ini didapat dari kakeknya, Ki Gunawarto.Hidup dan kehidupannya sejak kecil yang berada dalam lingkungan pedhalangan, sebab semua kerabatnya adalah dhalang, merupakan proses mematangkan kemampuan penguasaan pedhalangannya.

Di dorong oleh motivasinya yang tinggi, pada tahun 1956, Timbul masuk ke Habirandha, pawiyatan pedhalangan milik Kraton Yogyakarta. Disinilah Timbul mendapatkan gemblengan, pengetahuan baik teori, retorika serta filsafat tentang wayang yang menjadi bekalnya kemudian sebagai dalang.

Kerja kerasnya tidak sia-sia. Mula-mula Timbul menggelar pementasanya di daerahnya. Eksistensinya sebagai dalang semakin mendapat pengakuan luas, terbukti kemudian Ki Timbul Hadiprayitno menguasai Yogyakarta bagian Selatan, Utara, Timur dan Barat. Namanya terus melambung. Pada dekade 80-an, Ki Timbul Hadiprayitno melawat ke Lampung, Lombok, dan ke London (Inggris) dan India.

Banyak lakon yang sudah digarapnya disamping menyajikan lakon-lakon baku yang sudah ada. Sebagai dalang Ki Timbul Hadiprayitno menampakkan cirinya yang khas yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecintanya: sabet, filsafat serta kesetiaannya yang tidak bisa ditawar pada dunia seni pewayangan klasik gagrak Yogyakarta dengan pakem yang sangat kental. Prinsip ini seakan tidak tergoyahkan bahkan sampai sekarang ketika para dalang-dalang muda bermunculan.


Kompetensi seorang dalang, lengkap melekat pada Ki Timbul Hadiprayitno. Disamping penguasaan, sanggit, sabet, antawecana, dan kemampuan dasar lainnya yang sangat kuat, Ki Timbul Hadiprayitno juga menguasai wirama dan “gecul” sekalipun. Maka tidak mengherankan dalam pementasan, peran alus, kasar, luruh, lucu, ada di dalamnya. Jika pada umumnya para dalang “ngebon” penyanyi campursari untuk “nembang” dan pelawak untuk “ndhagel”, tidak demikian dengan Ki Timbul Hadiprayitno. Dirinya dengan dibantu para waranggana mampu untuk melakukan itu semua. Hal yang demikian juga dilakukan Ki Hadi Sugito (almarhum).

Berkait dengan penghargaan, Ki Timbul Hadiprayitno pernah menerimanya dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Kodam V Brawijaya, Polda Jateng, TVRI Stasiun Yogyakarta, RRI Nusantara II Yogyakarta, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Fakultas Sastra UGM, mingguan Buana Minggu Jakarta, Pepadi dan masih banyak lainnya.

Sementara dari Kraton Yogyakarta tempat dimana ia mengabdikan dirinya sebagai abdi dalem, Ki Timbul Hadiprayitno mendapat paringan asma Mas Tumenggung Cerma Manggala, dan budaya dalam serat bratayuda (Cetakan I terbit Maret 2004), Teori Estetika untuk Seni Pedalangan (Cetakan I, terbit September 2004).

Selain itu juga mengerjakan penulisan Naskah dan Karya Seni, antara lain Smaradahana (1995), Ontran-ontran Mandura (1996), Dewa Ruci (1997), Prigiwa-Pregiwati (1997), Babad Alas Mertani (1999), Harjuna Wijimulya (2000), Sang Palasara (2001), Apologi Rama (2001) Tele Wayang serial Gathutkaca (1999-2000).

Pengalaman dalam program Pengabdian Masyarakat : Tim Penyuluhan Seni ISI Yogyakarta bidang seni pedalangan di DIY dan sekitarnya (1999 s/d 2001); Ketua PEPADI (Perstuan Dalang Indonesia) Prop. DIY dua periode sejak 1998 – 2001 dan 2001 – 2004; Anggota Dewan Kebijaksanaan SENA WANGI Jakarta (2001-2004); Ketua tim Sibermas ISI Yogyakarta (2001-2004) di Kab Gunung Kidul DIY Ketua Pendampingan UKM Perajin Kulit di Kec. Pajangan Bantul, Yogyakarta (2001).

Kecuali menjadi dosen tamu di ISI Yogyakarta, Ki Timbul juga membagi ilmunya sebagai pengajar di Pawiyatan Pedhalangan “Habirandha” Kraton Yogyakarta.

Selasa, 10 Mei 2011 pukul 01.25 Ki Timbul Hadiprayitno telah menghadap Sang Maha Dalang untuk selamanya dalam usia 79 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Umum Dusun Panjangjiwo, Patalan, Jetis, Bantul pada hari yang sama pukul 14.00 Wib. Upacara pemakaman jenazah dihadiri oleh ribuan pelayat. Termasuk di dalamnya para pejabat pemerintah, budayawan, seniman, dan masyarakat luas. Tampak hadir pula Gusti Bandara Pangeran Hariyo Yudhaningrat dan Gusti bandara Pangeran Hariyo Prabukusuma dari Kraton Ngayogyokarta. Selamat jalan Ki Timbul, semoga khusnul khatimah. Karyamu tak terbatas oleh usiamu ………

(Dirangkum dari berbagai sumber oleh Ki Sugeng Subagya, Pemerhati Pendidikan dan kebudayaan).