Laman

Sabtu, 28 Februari 2009

Tutwuri Handayani Dalam Kritikan
Ki Sugeng Subagya


SAHABAT penulis, seorang kolumnis, mempersoalkan gambar Ki Hadjar Dewantara dipajang dalam lembaran uang kertas yang nilainya hanya Rp. 20.000,- Mestinya, mengingat jasanya yang sangat besar, lembaran uang kertas dengan nilai tertinggi sekalipun tidak cukup sebanding untuk menghargai jasa dan pengabdian beliau. Bukankah karya besarnya, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tutwuri handayani menjadi filosofi bangsa Indonesia sampai sekarang. Jangan-jangan penghargaan setengah hati ini merupakan indikasi ketidakmampuan generasi penerus memahami dan mengimplementasi konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara itu ?

Romo J Drost SJ dalam buku “Proses Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikan” menuliskan, Departemen Pendidikan Nasional saat ini telah mengingkari tutwuri handayani, diganti dengan ing ngarsa sung dhawuh. Mestinya Tamansiswa menuntut kepada pemerintah untuk mengembalikan implementasi makna tutwuri handayani yang sebenarnya sebagaimana esensinya.

Seseorang, dalam blog http://yulian.firdaus.or.id/. berkomentar kurang setuju dengan inti ajaran Ki Hadjar Dewantara. Kalau dicermati, ajaran beliau tidak mendukung terciptanya pribadi yang mandiri. Para siswa dianggap sebagai orang yang terus-terusan harus diberi contoh dan didorong. Padahal, tuntutan di masa sekarang memerlukan pribadi-pribadi yang lebih independen, tidak harus diberi contoh dan dorongan.
Totok Amin Soefijanto (KOMPAS, 26/5/2003), menulis; kita sudah merdeka 58 tahun, tetapi mentalitas penyelenggara dan birokrasi pemerintahan yang mengurusi pendidikan masih mengandalkan pendekatan formal, seolah merekalah yang paling tahu. Kita bisa melihatnya dari penempatan pikiran Ki Hadjar Dewantara yang nyaris tanpa koreksi. Yang terus dipakai hanyalah ’ing ngarsa sung tuladha’ (di depan memberi contoh, memimpin), bukan ’ing madya mangun karsa’, apalagi ’tut wuri handayani’. (ejaan diperbaiki penulis).
Sahabat yang lain lagi berkomentar, sekarang kita sudah merdeka lebih dari setengah abad, ternyata keadaannya semakin parah. Bukan hanya ing madya mangun karsa dan tutwuri handayani yang tidak lagi dipakai, tetapi ing ngarsa sung tuladha-pun ditanggalkan.

Menyikapi Kritik
Bagi penulis, yang merupakan bagian sangat kecil dari keluarga besar Tamansiswa, kritik terhadap konsepsi-konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara merupakan upaya mencari konsepsi sempurna sistem pendidikan nasional. Sebuah konsepsi tentu tidak dapat disetujui oleh semua orang. Apalagi implementasinya. Oleh karena itu setiap konsepsi perlu dikaji secara ilmiah agar mudah diimplementasi.


Betapa baiknya sebuah konsepsi, tanpa implementasi yang benar dan sungguh-sungguh, hasilnya pasti akan mengecewakan.

Semboyan tut wuri handayani, ing ngarsa sung tuladha dan ing madya mangun karsa adalah rumusan sistem among. Sistem among bukanlah konsepsi yang muncul tiba-tiba. Sistem among muncul sebagai perlawanan atas sistem pendidikan kolonial yang memakai regeering, tucht, en orde (paksaan, hukuman, dan ketertiban). Konsep ini menempatkan guru sebagai figur sentral dan siswa sebagai obyek, yang mematikan tumbuhnya jiwa merdekanya anak-anak.
Ki Hadjar Dewantara mengenalkan konsepsi orde en vrede (tertib dan damai) sebagai dasar pendidikan dengan bertumpu kepada prinsip bertumbuh menurut kodrat. Alat pendidikan yang dipakai adalah pemeliharaan dengan sebesar-besarnya perhatian untuk memperoleh tumbuhnya hidup anak lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Jika saat ini, penerapan sistem among tidak terjadi, tentu itu bukan salahnya Ki Hadjar Dewantara yang mencetuskan teori sistem among.

Di kalangan Tamansiswa, sistem among difahami dengan menempatkan anak sebagai figur sentral dalam pendidikan. Kemerdekaan diberikan sepenuh-penuhnya untuk berkembang. Guru hanya membimbing dari belakang dan baru mengingatkan anak kalau sekiranya mengarah kepada suatu tindakan yang membahayakan (tutwuri handayani) sambil terus membangkitkan semangat dan memberikan motivasi (ing madya mangun karsa) dan selalu menjadi contoh dalam perilaku dan ucapannya (ing ngarsa sung tuladha).

Tanggungjawab Siapa ?
Persoalannya, sekarang ini tidak jarang guru menjadikan dirinya otoritas yang paling berkuasa dalam proses pendidikan sehingga alih-alih membangkitkan semangat, memasung kreativitas sudah pasti. Tidak sedikit guru berperilaku yang tidak patut diteladani. Dan yang demikian ini bukan tidak mungkin terjadi pula di kalangan Tamansiswa sendiri.
Hemat penulis, setidaknya ada dua sebab tidak dipraktikkannya sistem among saat ini. Ialah, pertama sistem pendidikan nasional kita sebagai konsepsi sudah berjarak sangat jauh terhadap konsepsi sistem among. Ketatnya peraturan pemerintah sebagai bentuk kebijakan tidak lagi memberi peluang kepada para guru Tamansiswa untuk mengimplementasi konsepsi sistem among.

Kedua, saat ini kendala utama yang dihadapi oleh Tamansiswa adalah kualitas sumber daya manusianya; artinya sangat sedikit kader Tamansiswa yang memiliki kemampuan (bevoegdheid) dan sekaligus kewenangan (bekwaamheid) untuk mengembangkan diri dan lembaganya. Sebenarnya banyak kader Tamansiswa yang bagus, akan tetapi ketika masih produktif memilih berkarya di luar dan setelah kurang produktif baru ingin berkiprah di Tamansiswa.

Ketika tutwuri handayani, inti dari sistem among, telah disepakati oleh bangsa sebagai filosofi dan semboyan Pendidikan di Indonesia, maka kewajiban mengimplementasi konsepsi sistem among dengan benar dan sungguh-sungguh menjadi tanggungjawab seluruh komponen bangsa. Pemerintah berkewajiban untuk mengawal keterlaksanaannya dan Tamansiswa sepantasnya menempatkan diri dalam posisi ”tri-ko”, ialah kooperatif, koordinatif dan korektif. Bukankah bangsa ini memang sejak mula harus dibangun secara sinergis ?

Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan

Sabtu, 21 Februari 2009

Vrijman Bukan Preman

Vrijman Bukan Preman
Ki Sugeng Subagya

OPERASI preman jalanan yang gencar dilakukan POLRI pada awal masa jabatan Bambang Hendarso Danuri sebagai Kapolri hampir hilang gaungnya. Saat itu ribuan preman di berbagai kota ditangkap. Gebrakan yang bikin miris dan menimbulkan secercah harapan perlindungan bagi warga masyarakat. Bagaimana tidak, melalui Kabareskim Mabes POLRI, Kapolri memerintahkan menembak aparat yang menjadi backing kelompok preman.

Langkah tegas ini mendapat respon beragam dari masyarakat. Banyak diantara mereka yang memberikan apresiasi sebagai respon positif atas kebijakan yang diharapkan dapat menciptakan rasa aman. Namun demikian, tidak sedikit pula yang menyangsikan efektifitas penangkapan para preman dapat memberi jaminan keamanan berkelanjutan jika hanya dilakukan secara sporadis sesaat.

Istilah
Dilihat dari asal katanya, preman dapat berasal dari bahasa Inggris freeman atau bahasa Belanda vrijman. Keduanya dapat diartikan sebagai orang yang bebas, orang yang tidak terikat dan orang yang merdeka. Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, kata preman setidaknya dapat diartikan dalam 3 (tiga) pengertian, ialah (1) swasta, partikelir, non-pemerintah, bukan tentara, sipil, (2) sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan), (3) kuli yang bekerja menggarap sawah.

Dalam perkembangan terakhir, pengertian yang kedua cenderung tepat untuk mendefinisikan kata preman dalam upaya menggambarkan perilaku seseorang atau sekelompok orang yang mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat. Faktanya, kini preman adalah orang-orang yang suka melakukan tindak kejahatan, dalam arti suka memeras, mengganggu keamanan kampung, sok jagoan dan semau gue.

Mendidik preman
Dari cara pandang pendidikan, memberantas premanisme dengan cara menangkap para preman tanpa tindak lanjut pembinaan bukan cara yang pedagogis. Terlebih, akar persoalan timbulnya premanisme sesungguhnya adalah faktor ekonomi. Premanisme adalah akibat desakan ekonomi di tengah sempitnya peluang kerja. Memberantas premanisme sesaat bagaikan memangkas ranting tanpa membongkar akar persoalannya, ialah kemiskinan dan pengangguran.

Hampir semua orang sepakat, memberantas kejahatan, termasuk premanisme merupakan langkah bagus untuk menekan angka kriminalitas yang pada gilirannya memberikan rasa aman kepada masyarakat. Namun demikian menumpas kejahatan jalanan harus hati-hati. Salah-salah langkah bagus itu dapat berakibat buruk jika mengabaikan prosedur yang wajar. Menangkap sembarang orang tanpa bukti kejahatan yang kuat, polisi dapat dianggap tidak profesional. Meskipun banyak diantara preman yang tertangkap lengkap dengan barang bukti kejahatan seperti senjata tajam, uang, ponsel hasil curian, namun tidak sedikit pula orang ditangkap tanpa barang bukti yang akhirnya harus dilepaskan kembali. Jika hal ini yang terjadi, mengacu kepada teori labelling dalam Sosiologi Pendidikan, orang baik-baik yang diberi strempel jahat bukan tidak mungkin menjadi penjahat beneran.

Meskipun istilah preman berasal dari freeman dan vrijman yang kemudian berkonotasi negatif, namun konsepsi freeman dan vrijman bukanlah preman. Oleh karena itu mengembalikan para preman yang tertangkap polisi untuk kembali menjadi freeman dan vrijman jauh lebih mulia daripada menghukumnya tanpa pembinaan.

Freeman dan vrijman adalah one who is not a serf or slave. Seseorang yang bukan menjadi pelayan atau budak. Ia adalah seseorang yang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Oleh Ki Hadjar Dewantara yang demikian disebut berjiwa merdeka, sedang oleh Ki Mohammad Said Reksohadiprojo disebut berwatak wirausaha. Tugas kita semua setelah preman ditangkap untuk dididik kembali agar menjadi freeman dan vrijman. Jadikan mereka mengenali situasi dirinya yang bebas berkarya, bebas mengaktualisasi diri, bebas mengekspresikan diri dan bebas untuk bertanggungjawab. Untuk itu diperlukan penanaman nilai-nilai (untuk mengenali baik dan buruk) serta norma-norma (untuk mengenali benar dan salah). Dengan harapan yang baik dan benar akan menjadi pilihan untuk dilakukan, sedangkan yang buruk dan salah untuk dihindari.



Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan

Sabtu, 07 Februari 2009

Problematika Pendidikan Budi Pekerti


Problematika Pendidikan Budi Pekerti
Oleh : Ki Sugeng Subagya

Peraturan daerah Kota Yogyakarta tentang sistem penyelenggaraan pendidikan, mencamtumkan pendidikan budi pekerti sebagai muatan lokal isi pendidikan. Sebagai langkah awal antisipatif pemberlakuan Perda tersebut, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta menyelenggarakan Diklat Pendidikan Budi Pekerti untuk Guru. Dari kegiatan diklat, ternyata muncul berbagai problematika pendidikan budi pekerti yang perlu mendapat perhatian.


Ketika anak-anak dianggap sudah tidak lagi santun. Hidup dan kehidupan masyarakat diwarnai dengan fitnah, ketidakjujuran bahkan kekerasan. Hal ini mengindikasikan penghayatan terhadap nilai-nilai moral sebagai penuntun sikap dan perilaku mulai luntur. Pendidikan yang dilaksanakan selama ini disadari belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan anak didik menuju manusia yang utuh. Nampaknya sekolah kurang mampu membantu siswa untuk bersikap dan berperilaku yang lebih manusiawi. Pendidikan belum memberikan kontribusi terhadap terbentuknya rasa tanggungjawab, pengamalan sopan santun, dan menghargai orang lain sebagai sesama manusia dan makhluk Tuhan.

Sekolah cenderung memberi penekanan pada pendidikan kognitif yang mengarah kepada kepandaian akal, bukan kecerdasan budi. Beberapa sekolah malah hanya mengarahkan siswanya semata-mata untuk mengejar Nilai Ujian Akhir yang tinggi. Ada sekolah pada semester terakhir hanya mengajarkan matapelajaran yang akan di-Unas-kan saja. Dalam konteks ini, telah terjadi pendangkalan makna pendidikan yang semakin parah, ialah keberhasilan pendidikan di sekolah hanya diukur dengan perolehan Nilai Ujian Akhir.

Diakui atau tidak, pendidikan kita telah gagal membentuk akhlak mulia. Pendidikan moral hanya dalam ucapan dan konsep, tetapi tidak dalam realita. Akibatnya orang yang mengaku terdidik, bermoral hanya dalam perkataan, tetapi tidak dalam perbuatannya. Perilakunya justeru kurang atau bahkan tidak bermoral.

Dahulu, para guru kita mampu mengintegrasikan dengan baik pendidikan budi pekerti itu dalam kegiatan pembelajaran. Oleh sebab itu muatan pendidikan moral dalam dongeng, menulis halus, bahasa daerah, kesenian daerah, menyanyi, “nembang”, menari, drama, dan lain sebagainya, masih sangat membekas dalam sanubari anak didik.

Persoalannya, ketika kita memberlakukan kurikulum dengan padat muatan dan pesan, sedang kemampuan para guru cenderung lebih dominan menguasai bahan ajar akademik, nampaknya upaya mengintegralkan pendidikan budi pekerti dalam materi pembelajaran akan sangat sulit dan kecil kemungkinannya berhasil.

Melihat struktur program kurikulum yang sudah tidak mungkin diberi muatan pendidikan budi pekerti, hemat penulis sedikitnya ada dua alternatif solusi yang bisa ditawarkan, ialah melalui pendekatan idealistik dan melalui pendekatan praktis.

Inti dari pendekatan idealistik ialah keteladanan. Melalui keteladanan yang diberikan oleh para pendidik, siswa dengan sendirinya belajar budi pekerti. Sebab hakekat “ing ngarsa sung tuladha” sebagai konsep trilogi kepemimpinan pendidikan adalah menjadi teladan bukan sekadar memberi contoh.

Pendekatan praktis dalam pendidikan budi pekerti dapat ditempuh dengan menjadikan pendidikan budi pekerti sebagai matapelajaran tersendiri yang dicantumkan dalam struktur program kurikulum. Konsep pendekatan praktis didasari oleh landasan berpikir bahwa tidak mungkin seorang anak akan mau dan mampu melakukan sesuatu jika tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal yang akan dilakukan itu.

Pengetahuan tentang kejujuran, swa-disiplin, menghargai orang lain, kasih sayang, ramah tamah, penghormatan, cinta tanah air, dan lain-lain, sudah agak jauh dari benak anak didik. Agar anak memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai luhur tersebut maka harus diajarkan dalam bentuk ilmu pengetahuan.

Namun memilih pendekatan praktis sebagai cara menanamkan kembali nilai-nilai budi pekerti luhur bukan tanpa resiko. Pengalaman guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP) dapat dijadikan referensi. Ketika didapati “anak nakal” di sekolah, maka guru BP-lah yang dianggap paling bertanggungjawab. Bukan tidak mungkin apabila Budi Pekerti dijadikan matapelajaran, jika terjadi kemerosotan moral anak didik, maka guru budi pekerti-lah yang dianggap paling bertanggungjawab.

Seharusnya, mengembalikan keluarga sebagai pusat pendidikan budi pekerti utama merupakan alternatif yang paling tepat dipilih. Untuk itu menjadikan orangtua sebagai pendidik budi pekerti adalah hal yang tidak boleh ditawar. Kembalikan fungsi pendidikan keluarga sebagaimana seharusnya, ialah tempat interaksi pengembangan kecerdasan budi, mengasah akhlak dan membangun peradaban. Dari keluargalah sesungguhnya pendidikan budi pekerti harus disemaikan.

Ki Sugeng Subagya
Ketua Tim Pengembang Pendidikan Budi Pekerti Majelis Ibu Pawiyatan Tamansiswa.

Rabu, 04 Februari 2009

Stop Cara Kekerasan Dalam Pendidikan


Stop Cara Kekerasan dalam Pendidikan
Oleh Ki SUGENG SUBAGYA

Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, menjadi sangat dikenal. Kepopulerannya bukan karena keberhasilan mendidik calon pamong praja yang andal, bukan pula karena prestasinya yang luar biasa dalam mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan melalui pendidikan. Akan tetapi, IPDN menjadi tenar karena buah perbuatannya menyiksa peserta didik sampai menelan korban meninggal dunia. IPDN menyelenggarakan pendidikan dengan kekerasan.
Kekerasan tidak dikenal dalam teori mendidik. Hakikat mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat manusia agar menjadi manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Oleh karenanya, mendidik hanya suatu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya peserta. Hal itu berarti kekuatan dan kehendak pendidik atau siapa pun tidak boleh dipaksakan kepada peserta didik. Jika kekuatan dan kehendak pendidik dipaksakan, maka kekerasan yang akan muncul.
Pendidikan dalam pengertian opvoeding atau paedagogiek menafikan paksaan apalagi kekerasan, sebab dalam paksaan selalu dibarengi kami tegan. Mendidik itu dalam rangka momong, ngemong, dan among. Momong, ngemong, dan among memerlukan kasih sayang dan welas asih. Welas asih bermakna mengasihi, mengasah, dan mengasuh. Meskipun tidak boleh pula mendidik dengan cara welas tanpa alis, sebab welas tanpa alis bermakna kasihan yang berlebihan yang dapat berakibat pemanjaan atau malah nguja sama sekali.
Alasan penggunaan cara paksaan dan kekerasan untuk membina disiplin tidak dapat dibenarkan. Kekerasan dan paksaan dalam rangka pembinaan disiplin tidak akan mampu menumbuhkan tertib damainya hidup bermasyarakat.
Salah-salah, tekanan dan ketakutan yang akan didapat. Jika orang dalam keadaan tertekan dan ketakutan, maka hilanglah kemerdekaannya. Kemerdekaan adalah kodrat manusia sehingga menghilangkan kemerdekaan sama halnya mengingkari cara mendidik dalam konsep opvoeding yang momong, ngemong, dan among.
Sekalipun hukuman merupakan salah satu alat pendidikan, tetapi kekerasan yang dimaksudkan sebagai hukuman bukan alat pendidikan. Tidak setiap hukuman itu merupakan alat pendidikan jika syarat- syaratnya tidak dipenuhi.
Ki Hadjar Dewantara mengemukakan tiga macam syarat agar hukuman bermakna alat pendidikan. Pertama, hukuman harus selaras dengan kesalahannya. Kedua, hukuman harus dilakukan dengan adil dan ketiga, hukuman harus lekas dijatuhkan.
Jika kesalahan yang dilakukan sebatas terlambat mengikuti suatu kegiatan atau tidak tepat menjalankan perintah pimpinan, kemudian harus dipukul, ditendang, bahkan dianiaya, maka hukuman itu tidak selaras dengan kesalahannya.
Jika hukuman dilakukan bukan didasari untuk menunjukkan atas buahnya perbuatan, tetapi lebih berdasar pada upaya balas dendam atau "tradisi perlakuan" dari para senior kepada yuniornya, maka sangat tidak adil. Terlebih jika hukuman tidak segera dijatuhkan sesaat setelah kesalahan dilakukan, maka hukuman tersebut sudah kehilangan momentum.
Pemahaman agar yang melakukan kesalahan supaya lekas mengerti akan hubungan antara kesalahannya dengan hukuman yang harus diterimanya tidak terwujud. Prinsip hukuman dan ganjaran sebagai alat pendidikan ialah setiap perbuatan tersebut terdapat buahnya masing-masing.
Perbuatan baik berbuah baik dan sebaliknya perbuatan buruk, maka buruk pula buahnya Tindak kekerasan di IPDN telah memancing respons masyarakat, termasuk di dalamnya para pendidik, anggota DPR, dan pejabat pemerintah. Hampir semua reaksi mengarah pada tuntutan perubahan sistem pendidikan. Bahkan, di antaranya menghendaki agar IPDN dibubarkan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengambil langkah awal yang tegas, di antaranya membekukan untuk sementara penerimaan praja dan membentuk tim evaluasi sistem pendidikan di IPDN. Tentu kita berharap langkah tersebut dapat menghentikan tindak kekerasan yang selama ini terjadi. Lebih dari itu, tim evaluasi yang diketuai oleh Ryaas Rasyid diharapkan mampu memberi rekomendasi perbaikan sistem pendidikan IPDN yang jauh dari tindak kekerasan.
Perubahan sistem pendidikan IPDN seharusnya didesain sedemikian rupa tanpa corak militeristis, tetapi mengedepankan wahana "kawah candradimuka" calon pamong praja yang mampu momong, ngemong, dan among. Barangkali sistem paguron yang dikonsepkan oleh Ki Hadjar Dewantara perlu dikaji untuk dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif pembenahan sistem pendidikan IPDN.

Dalam sistem paguron antara pamong pengasuh dan peserta didik tinggal bersama dalam sebuah masyarakat kecil yang dilandasi oleh hidup kebersamaan saling asah, saling asih, dan saling asuh. Hubungan pamong pengasuh dengan peserta didik lebih dari sekadar hubungan guru dengan murid, tetapi merupakan hubungan orangtua dan anak sebagaimana yang terjadi dalam sebuah keluarga. Sedangkan hubungan antarpeserta didik bukan hanya hubungan pertemanan, tetapi hubungan "saudara" sebagaimana dalam sebuah keluarga.
Struktur masyarakat kecil yang dibangun dalam paguron memberikan gambaran realitas hidup bermasyarakat. Hidup bersama itu membutuhkan tenggang rasa, tolong-menolong, gotong royong, tepa selira, mad sinamadan, toleransi, dan sebagainya.
Hal yang demikian hanya dapat dibangun dari sebuah kesadaran bahwa hidup tidak pada tempatnya untuk egois, kumingsun, adigang adigung adiguna, serakah, sok merasa menang, sok kuasa, dan sebagainya.
Prinsip sistem paguron adalah membangun masyarakat kecil dalam bentuk keluarga. Akhirnya, kasus IPDN ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Kejadian yang sama atau serupa tidak boleh terjadi lagi di lembaga pendidikan mana pun di negeri tercinta ini.
Ki Sugeng Subagya Wakil Ketua Majelis Ibu Pawiyatan Tamansiswa Tinggal di Yogyakarta