Laman

Jumat, 26 Maret 2010

Ujian Nasional dan Perencanaan Pendidikan




Kekuatan atau Ketakutan ?

Oleh : Ki Sugeng Subagya

MOMEN ujian nasional (UN) diakui atau tidak, telah membuat banyak pihak cemas dan khawatir. Tidak hanya siswa peserta UN yang mengalaminya, tetapi juga guru, kepala sekolah, orangtua siswa, birokrat pendidikan, bahkan para pejabat penguasa wilayah. Semua itu bersumber dari apa yang disebut sebagai pemetaan mutu pendidikan yang disalahtafsirkan.

Sesungguhnya, pemetaan mutu pendidikan bukanlah hal yang negatif. Ia malah akan membantu pengambil kebijakan menyusun tata kelola pendidikan. Setidaknya, dengan mengetahui peta mutu pendidikan akan tersusun rencana pengembangan pendidikan yang lebih realistis.

Salah satu substansi diselenggarakannya UN ialah dalamrangka pemetaan mutu pendidikan. Sayang, konsep pemetaan mutu sebagaimana dimaksud tidak jelas. Akibatnya, pada level bawah, pemetaan difahami tidak lebih sebagai pemeringkatan. Sekolah A berada pada peringkat sekian di tingkat kabupaten/kota, dan sekian di tingkat provinsi serta sekian di tingkat nasional, berdasarkan rata-rata nilai UN yang diperoleh para siswamya. Pada umumnya, pemeringkatan itu dimaknai sebagai sebuah pengumuman. Untuk apa dan bagaimana tindak lanjutnya hampir tidak pernah difahami.

Celakanya, pengumuman yang demikian itu pada gilirannya tidak berdampak positif. Karena malu dan gengsinya bisa turun jika sekolah atau daerahnya berada pada peringkat rendah, maka segala daya upaya ditempuh. Guru, Kepala Sekolah, Dinas Pendidikkan, dan Penguasa Wilayah, akan melakukan tindakan apa pun agar sekolah atau daerahnya tidak berada pada peringkat papan bawah. Jika tindakan itu terpuji, tidak menjadi masalah dan itu hal yang baik dan patut diapresiasi. Sebaliknya jika tindakannya tidak terpuji, moral pendidikan akan menjadi taruhannya.

Guru mencari dan mengembangkan sebanyak-banyak trik dan taktik terbaik untuk menyiasati dalam menjawab soal UN. Orang tua pontang-panting memberikan ruang dan waktu kepada putra-putrinya untuk ikut bimbingan belajar dengan biaya yang tidak murah. Siswa dengan segala keunggulan dan sekaligus keterbatasannya dipaksa dirinya berhadapan dengan tingginya atmosfer persaingan. Pejabat pun tak kalah sibuk berkoordinasi dan mengeluarkan sejumlah kebijakan agar lembaga dan daerahnya bisa terangkat citranya lewat hasil UN. Pendek kata, UN telah menciptakan situasi yang memaksa para pemangku kepentinganpendidikan beradu strategi untuk mendapatkan hasil terbaik.

Tampaknya, inilah salah satu sebab UN dari tahun ke tahun selalu diwarnai kecurangan. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional membuktikan hal itu. Sebagai illustrasi, tingkat kejujuran penyelenggaraan UN dapat dikategorikan dalam wilayah hitam dan putih. Wilayah putih untuk menggambarkan tingkat kejujuran yang tinggi, dan wilayah hitam untuk menggambarkan tingkat kejujuran yang rendah. Sedangkan diantara kedua wilayah ada yang abu-abu, untuk menggambarkan ambivalensi antara jujur dan tidak jujur. Secara nasional baru sekitar 50 persen sekolah berada di wilayah putih, 20 persen di wilayah hitam, dan sisanya (kurang lebih 30 persen) berada dalam wilayah abu-abu.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan Provinsi dengan peringkat kejujuran terbaik secara nasional. Sekitar 65 sampai 75 persen menempati wilayah putih, dan hanya 5 persen yang berada di wilayah hitam. Ini berarti ada sekitar 20 sampai 30 persen yang berada di wilayah abu-abu. Dengan kondisi yang seperti ini dipastikan tingkat kejujuran penyelenggaraan UN di provinsi lain lebih rendah persentasenya.

Pemetaan mutu pendidikan yang tidak sekadar pemeringkatan jauh lebih bermakna. Dengan pemetaan yang berbasis kejujuran maka akan dikenali kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan bagi suatu lembaga, utamanya satuan pendidikan. Tanpa kejujuran kekuatan, kelemahan, peluang, dan hambatan yang teridentifikasi dari sebuah lembaga malah menyesatkan. Dengan demikian teknik analisis SWOT yang disarankan Albert Humphrey, untuk mengimplementasi metode perencanaan strategis tidak dapat digunakan. Tanpa kejujuran, ternyata UN tidak mampu menunjukkan potensi kekuatan, tetapi malah menimbulkan ketakutan.

Untuk itu marilah kita renungkan, bisakah perencanaan pendidikan dianalisis potensinya hanya dari kepura-puraan. Jika ini yang terjadi sampai kapanpun niscaya kualitas pendidikan kita tidak akan pernah baik sebagaimana yang kita harapkan. Tanpa didasari kejujuran, UN tidak akan ada gunanya. Hal itu berarti kita telah menghambur-hamburkan banyak sekali sumberdaya dan sumber dana. Mubazir !!

Ki Sugeng Subagya,

Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan


Senin, 22 Maret 2010

Pendidikan Ketamansiswaan

Hakikat Belajar :

Ngerti, Ngrasa, dan Nglakoni

oleh : Ki Sugeng Subagya

Apa yang diperoleh seseorang setelah belajar ? Jawaban dari pertanyaan ini pada umumnya, seseorang setelah belajar akan mendapat ilmu dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan sesungguhnya bukan sesuatu yang dapat dikonkretkan. Bagi sebagaian peserta didik, bentuk konkret hasil belajar adalah nilai. Misalnya, siswa kelas I Taman Muda (SD) yang mampu menulis angka 0 sampai dengan 9 di buku tulisnya dibubuhkan nilai 10 oleh pamong atau gurunya. Demikian pula seorang siswa Taman Dewasa (SMP) atau Taman Madya (SMA) dan Taman Karya Madya (SMK) mengerjakan ulangan matematika benar semua, maka pamong akan memberikan nilai 100. Demikian halnya seorang mahasiswa yang mampu menjawab soal ujian dari dosennya dengan sempurna, maka akan diberikan nilai A.


Bentuk-bentuk konkret berupa nilai tersebut hanya berlaku jika seseorang belajar di sekolah. Pada hal, sesungguhnya belajar di sekolah hanyalah satu dari tiga pusat belajar. Menurut Ki Hadjar Dewantara belajar dapat berlangsung di tiga lingkungan yang disebut dengan “tri-centra”. Ialah lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Nilai 10, 100, atau A, pasti tidak akan berlaku jika orang tidak belajar di sekolah. Seorang anak yang perilakunya berubah menjadi semakin sopan, ibadahnya semakin rajin, dan mampu memesona orangtuanya sebagai akibat belajar dari lingkungan keluarga, tentu tidak akan memperoleh nilai 10, 100, atau A.


Untuk membahas lebih dalam tentang hasil belajar, tepat kiranya jika kita merujuk kembali kepada hakikat belajar. Kita tinggalkan sejenak nilai, rapor, ijazah, dan lain-lain yang kita anggap sebagai hasil belajar selama ini. Sebab itu semua sesungguhnya bukan hasil belajar yang esensial.


Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku.


Mengapa orang berubah perilakunya ? Ya, ia berubah perilakunya karena memiliki pengetahuan baru yang dihayatinya untuk diamalkan. Nah, perubahan perilaku akibat pengetahuan baru yang dihayatinya kemudian diamalkannya itu oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai “ngerti, ngrasa, dan nglakoni”.


Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar.


Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya.


Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya.


Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang siswa belajar matematika, tujuan yang ingin dicapai dalam jangka pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang matematika yang diwujudkan dalam bentuk memperoleh nilai baik. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin memanfaatkan ilmu matematika yang diperolehnya itu untuk kemudahan hidupnya di kelak kemudian hari.


Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata (ngerti), tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap (ngrasa) dan keterampilannya (nglakoni). Misalnya, siswa belajar tentang “sopan santun”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “sopan santun”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seseorang berperilaku “sopan santun”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “sopan santun” dalam pergaulan.


Dalam tataran ngerti, perubahan yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, konsep dan sebagainya.


Dalam tataran ngrasa, diperlukan strategi kognitif sekaligus afektif; ialah kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif dan afektif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif.


Di samping itu, hasil pembelajaran yang dihayati berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.


Dalam tataran nglakoni diperlukan kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik. Dalam hal ini akan muncul dalam perilaku yang berupa kebiasaan, keterampinan, pengamatan, berfikir asosiatif, berfikir rasional, sikap, inhibisi, apresiasi, termasuk di dalamnya perilaku afektif.


Peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar. Itulah yang disebut sebagai kebiasaan. Sedangkan dalam keterampilan; teraktualisasi dalam sebuah aktifitas fisik. Misalnya; menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.


Pengamatan juga merupakan aktifitas nglakoni, ialah proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar. Dalam hal ini diperlukan proses berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.


Demikianlah, sesungguhnya dalam tataran nglakoni termasuk pula berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).


Dengan memahami hakikat belajar sebagai ngerti, ngrasa, dan nglakoni, jika diimplementasikan secara integral maka akan dapat menghidari hal yang mubazir atau inhibisi. Di samping itu akan dengan mudah peserta didik melakukan apresiasi, ialah menghargai karya-karya bermutu. Jika hal itu yang terjadi maka sempurnalah perilaku afektifnya, misalnya mampu mengidentifikasi perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, iba, kecewa, dan sebagainya.


Ki Sugeng Subagya,

Pamong Ibu Pawiyatan Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan


Selasa, 16 Maret 2010

Cakepan Sekar Macapat


Cakepan Sekar Pangkur :
“Ngimpi Dadi Ratu”
Karipta dening Ki Sugeng Subagya

Sinten wonge mboten gela,
Nembe ngimpi jroning tilem hanglilir,
Ing pangimpen dados ratu,
Ratugung binathara,
Sugih bandha sugih bandhu mubra mubru,
Sinuyudan kawula,
Kanan kering para putri,

Emane amung nyumpena,
Mendah eba yen kelakon sayekti,
Dados ratu bathara gung,
Kumbul ing panguwasa,
Tebih tumiyung ingkang celak tumungkul,
Tanpa ginebag perang,
Gesang mulya pejah mukti,

Dipun tembangaken Ki Ngabdul, Nyi Purwanti, lan Nyi Endah Laras ing Giyaran Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta, Senin 15 Maret 2010.

Selasa, 02 Maret 2010

Nasionalisme


Kearifan Membaca Pesan Teroris

Oleh : KI SUGENG SUBAGYA

Ada pesan yang disampaikan dalam aksi teror. Meskipun pesan yang menjadi tujuan akhir teroris belum tentu terwujud dalam suatu aksi teror, tetapi pesan-pesan lain yang menyertainya sangat terasa dampaknya. Pesan lain ini tidak kalah menyeramkannya daripada pesan yang sesungguhnya.

Pemboman hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta, diekspose media massa keseluruh penjuru dunia. Tidak ada secuil bagian dunia ini yang tidak mengetahui bahwa Indonesia sedang mengalami masalah keamanan. Tidak jarang kesan yang dimunculkan lebih dari itu. Indonesia dalam keadaan in-stabilitas politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan bahkan ideologi. Inilah salah satu pesan sampingan teroris yang diinginkan.

Batalnya pertandingan persahabatan kesebelasan Manchaster United (MU) melawan Indonesia All Stars di Jakarta dan Travel warning beberapa negara kepada warga negaranya agar menunda kunjungannya ke Indonesia merupakan indikasi tidak terjaminnya keamanan yang dipicu oleh aksi terorisme itu. Sungguh, keadaan yang demikian sangat merugikan Indonesia sebagai bangsa.

Patut disayangkan, dalam keadaan yang sangat memprihatinkan, tidak sedikit perilaku pemimpin bangsa ini malah cenderung memperkeruh suasana. Adu pernyataan pers bagai berbalas pantun yang dapat ditafsirkan sebagai saling tuduh yang tidak hanya meresahkan, tetapi juga mengkhawatirkan. Barangkali inilah pesan teroris juga yang harus ditangkap dengan arif. Bukan tidak mungkin konflik para pemimpin sengaja diciptakan untuk membinasakan Indonesia sebagai bangsa.

Bersatu Melawan Terorisme
Masalah terorisme adalah masalah bangsa. Setiap komponen bangsa, baik kelompok maupun perorangan, yang menyatakan bahwa dirinya adalah bagian bangsa Indonesia mempunyai tanggungjawab yang sama melawan terorisme. Tidak ada alasan untuk menolak bersatu melawan terorisme.

Dalam situasi seperti ini tidak ada lagi komitmen yang paling pas kecuali kebulatan tekad, bersatunya niat, gemblenging karsa, untuk bersatu bahu-membahu melawan terorisme. Terorisme adalah kebiadaban, kedzaliman, dan kejahatan kemanusiaan. Pada tempatnya jika terorisme dijadikan sebagai musuh bangsa dan musuh bersama.
Bagi para pemimpim, meski berbeda haluan politik, seharusnya dalam menyikapi masalah bangsa, termasuk terorisme, berada dalam satu haluan dan satu visi. Perbedaan pandangan yang dimunculkan kepermukaan sebagai adu argumentasi tidak diperlukan. Sebab hal ini akan membingungkan rakyat. Bukan tidak mungkin rakyat semakin tidak tenteram karena pemimpinnya tidak damai.

Tidak dilarang anak bangsa berbeda pandangan. Namun dalam hal menyikapi perbedaan pandangan itulah masing-masing anak bangsa harus mampu menahan diri dengan tetap mengedepankan kepentingan bangsanya daripada kepentingan pribadi dan golongannya.
Belajarlah kita kepada para pendahulu. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, meskipun berbeda pendapat dalam banyak hal, hampir tidak pernah perbedaan itu tampak di permukaan sebagai kompetisi yang menjurus konflik. Demikian pula Presiden Soeharto dengan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX, meskipun berseberangan dalam berbagai kebijakan pembangunan, tetapi hal itu tidak sampai membingungkan rakyat. Demikianlah kearifan pemimpin kita tempo doeloe.

Neng Ning Nung Nang
Merespon sesuatu tidak harus reaktif-emosional, apalagi gegabah. Maka pemimpin perlu wicaksana dan wasis mengimplementasi kiat meneng-wening-hanung-menang atau wenang yang dirumuskan sebagai Neng-Ning-Nung-Nang. Demikian Ki Hadjar Dewantara memberi petuah.

Menghadapi berbagai permasalahan hendaknya setiap orang mengawalinya dengan bersikap diam (Neng), tidak mengobral kata dan tidak mengumbar janji. Dengan sikap diam maka dia dapat berpikir jernih (Ning), tidak tumpang tindih, dan tidak salah konsep untuk dikombinasikan dengan kebesaran jiwa, keluasan wawasan, dan kedalaman pengetahuan (Nung) menuju sebuah kemenangan (Nang) yang diidamkan. Apabila hal ini dapat dilakukan maka dicapai sebuah kemenangan tanpa harus menyebabkan kompetitornya merasa kalah apalagi merasa dipermalukan (menang tanpa ngasorake).
Adalah pesan teroris yang sangat mengerikan jika bangsa ini harus runtuh berkeping-keping oleh karena tidak damainya para pimimpin, tidak tertibnya kehidupan berbangsa, dan tidak tata tentremnya rakyat. Masihkah kita peduli ?

Ki Sugeng Subagya,
Pamong Ibu Pawiyatan Tamansiswa di Yogyakarta

Senin, 01 Maret 2010

Pendidikan Ketamansiswaan



Hakikat Belajar :

Niteni, Nirokke, dan Nambahi

Oleh : Ki Sugeng Subagya


Seringkali kita mendengar pertanyaan di sekitar kita. Mengajar apa bu ? Mengajar di mana Pak ? Jawabnya; Ibu mengajar Bahasa Indonesia. Bapak mengajar di SMP Tamansiswa Jakarta.


Jika dicermati, antara pertanyaan dan jawaban tentang mengajar di atas, konotasinya tugas guru adalah mengajar. Sedangkan siswa diajar. Dalam hal ini berarti guru berkedudukan sebagai subyek, sedang siswa sebagai obyek.


Sebagai subyek, aktifitas guru lebih dominan dibandingkan siswa. Akibatnya komunikasi dalam pembelajaran kebanyakan terjadi hanya satu arah, ialah dari guru ke siswa. Guru mengajar, bukan membelajarkan siswa. Materi pelajaran berupa “bahan jadi” yang disiapkan guru, siswa tinggal menerimanya. Pendek kata, dalam pembelajaran guru aktif, sedang siswa pasif.


Sesungguhnya, belajar itu hakikatnya dapat ditelusur dari dua aspek. Ialah belajar sebagai proses, dan belajar sebagai produk atau hasil. Menurut Ki Hadjar Dewantara, dalam proses belajar siswa harus mengimplementasikan potensi dengan cara “niteni”, “nirokke”, dan “nambahi”. Niteni adalah upaya mencari kejelasan dari suatu peristiwa atau keadaan melalui pengamatan secara jeli dan mendalam. Nirokke adalah aktifitas menirukan dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan dalam bentuk contoh atau teladan yang baik. Sedangkan nambahi adalah suatu aktifitas melengkapi melalui inovasi dan kreatifitas sehingga menimbulkan hal-hal yang baru.


Konsep niteni, nirokke, dan nambahi dalam implementasinya bukan merupakan hal yang dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Satu hal tidak mendahukui hal yang lain. Melainkan ketiganya integral dalam satu aktifitas sehingga menghasilkan pengetahuan dan keterampilan yang utuh.


Jika cara niteni, nirokke dan nambahi diimplementasikan dalam pembelajaran, maka instruksional dalam pengertian penagajaran harus ditinggalkan dan beralih pada pembelajaran. Artinya guru harus membelajarkan siswa, sehingga siswa sendiri yang harus belajar.


Dalam pembelajaran, kelas tidak boleh didominasi oleh guru. Siswa harus aktif mempelajari sesuatu bukan atas bahan jadi yang dipersiapkan guru, melainkan mencari sendiri apa yang ingin diketahui dan dikuasainya.


Bagaimana Penerapannya ?

Berikut adalah beberapa hal yang harus ditinggalkan agar pembelajaran kreatif inovatif sebagaimana konsepsi niteni, nirokke, dan nambahi berhasil efektif. Cara-cara pembelajaran berikut ini dilakukan sekarang ini.

1. Jarang sekali guru bertanya yang sifatnya pengembangan kreativitas, soal jarang sekali menggunakan kata mengapa, bagaimana, darimana, selidiki, temukan, atau generalisasikan. Jadi sekolah tak ubahnya seperti tempat pelatihan.

2. Untuk mengikuti pelajaran di sekolah, kebanyakan siswa tidak siap terlebih dulu dengan membaca bahan yang akan dipelajari, siswa datang tanpa bekal pengetahuan.

3. Siswa dan bahkan guru, tidak menyadari tujuan belajar yang sebenarnya, tidak mengetahui manfaat belajar bagi masa depannya. Mereka hanya memandang bahwa belajar adalah suatu kewajiban yang dipikul atas perintah orang tua, guru, dan lingkungannya. Belum memandang belajar sebagai suatu kebutuhan.

4. Pelaksanan kegiatan di kelas guru masih melaksanakan proses pengajaran secara klasikal. Istilah klasikal bisa diartikan sebagai secara klasik yang menyatakan bahwa kondisi yang sudah lama terjadi, bisa juga diartikan sebagai bersifat kelas. Jadi pembelajaran klasikal berarti pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan di kelas selama ini, yaitu pembelajaran yang memandang siswa berkemampuan tidak berbeda sehingga mereka mendapat pelajaran secara bersama, dengan cara yang sama dalam satu kelas sekaligus. Ibarat murid memakai pakain seragam dengan ukuran yang sama. Model yang digunakan adalah pembelajaran langsung (direct learning). Pembelajaran klasikal tidak berarti jelek, tergantung proses kegiatan yang dilaksanakan, yaitu apakah semua siswa berartisipasi secara aktif terlibat dalam pembelajaran, atau pasif tidak terlibat, atau hanya mendengar, menonton, dan mencatat.

5. Siswa masih jarang berkesempatan untuk berdiskusi, presentasi, berkreasi, bernalar, berkomunikasi, memecahkan masalah, dan berkolaborasi. Hal ini disebabkan pola yang dipakai masih mengajar bukan membelajarkan siswa. Pola mengajar yang diterapkan oleh guru bisa cocok bagi siswa yang terbiasa pasif, untuk membentuk generasi penerus yang penurut dan menjadi tukang, yaitu orang-orang yang tinggal menunggu tugas dari dunungan (atasan), misalnya tukang sapu dan tukang kuli. Di lain pihak, banyak siswa yang masih belum berani dan terbiasa beraktivitas, kebanyakan masih takut salah untuk bertanya, menjawab, berkomentar, mencoba, atau mengemukakan ide.

6. Mereka masih sangsi apakah keberanian akan melanggar etika hormat kepada guru, karena di lingkungan keluargapun banyak bicara itu bisa dimarahi. Mereka masih takut akan kesalahan karena biasanya akan mendapat teguran atau bentakan, ada rasa tidak aman dalam belajar. Pada pihak guru pun, masih banyak guru yang merasa kurang nyaman jika siswa banyak bicara, merasa kuang senang bila siswa banyak bertanya dan berkomentar, memandang kurang sopan jika siswa banyak bertingkah, dan semacamnya. Apalagi jika siswa berbuat salah (bertanya, menjawab, mengerjakan) biasanya lansung divonis tidak menyenangkan.

7. Masih banyak guru yang belum menyadari bahwa kesalahan adalah bagian yang tak terpisahkan dari belajar, kesalahan sebagai indikasi bahwa siswa berpartisipasi, antusias, perhatian, motivasi, berpikir, mencoba, menggali (eksplorasi), tetapi karena kemampuan dan pemahaman siswa masih kurang dan terbatas maka muncullah kesalahan itu. Guru belum menghargai kesalahan siswa tersebut karena belum bisa membelajarkan siswa dengan suasana nyaman dan menyenangkan.

· Ki Sugeng Subagya,

Pamong Ibu Pawiyatan Tamansiswa


Artikel ini dimuat Majalah SISWA Nusantara, Edisi Februari 2010.