Laman

Selasa, 08 November 2011

Menuju Pahlawan Nasional


Kepahlawanan Anti Korupsi Kasimo
OLEH  KI SUGENG SUBAGYA
Pemahaman tentang hak kepemilikan I.J. Kasimo (1900-1986) dapat dijadikan rujukan pendidikan anti korupsi. Wek-ku, Wek-mu, dan Wek-e dhewe. Demikian Harry Tjan Silalahi menggambarkan  konsep Kasimo tentang kepemilikan secara sederhana.  Milikku adalah wek-ku, milikmu adalah wek-mu, dan  milik rakyat atau negara adalah wek-e dhewe.    
Merestorasi konsep kepemilikan  I.J Kasimo sedang dalam momentum yang tepat.  Bukan hanya karena bangsa Indonesia sedang kesulitan menemukan figur teladan anti korupsi, lebih dari itu mencari logika penjelas  perilaku korupsi yang semakin merajalela juga sulit didapat.
Dalam kondisi ekonomi yang semakin baik, sejalan dengan itu perilaku koruptif semakin subur. Menurut logika awam, jika faktor ekonomi menjadi penyebab perilaku koruptif, membaiknya kondisi ekonomi seharusnya berbanding lurus dengan berkurangnya perilaku koruptif.
Jika perilaku koruptif disebabkan oleh ketidaktahuan, semakin banyak penduduk berpendidikan tinggi mestinya  tindak korupsi berkurang.
Ditempa Tri-pusat Pendidikan
Memahami konsep kepemilikan I.J Kasimo dapat dirunut dari latar belakang kehidupannya. Hidup dalam kesederhanaan mewarnai hari-harinya, baik ketika masih kanak-kanak maupun setelah menjadi pejabat negara. Tampaknya, kesalehan personal yang menjadi karakter I.J Kasimo terbentuk oleh lingkungan pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakatnya. Dan kesalehan  personal itu kemudian mewujud menjadi kesalehan sosial.
Lahir dan dibesarkan dalam lingkungan abdi dalem Keraton Yogyakarta, tentu banyak yang mempengaruhi alam bawah sadar I.J Kasimo. Keraton adalah sumber kearifan, martabat, peradaban, dan humaniter. Memasuki sekolah ongko loro mengantarkannya memahami dunia luar yang lebih luas. Kemandiriannya tergembleng saat masuk asrama sekolah guru di Muntilan dan kemudian sekolah pertanian di Bogor.
Hidup dalam lingkungan masyarakat terjajah menggerakkan nalurinya untuk menuntut persamaan hak atas kemerdekaan. Pembelaan terhadap kaum lemah, rakyat tertindas, dan pribumi diwujudkan dalam pengorbanan tanpa pamrih untuk menyejahterakan mereka.
Jika kemudian pengaruh pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat itu akhirnya mewujud dalam sebuah identitas bahwa I.J Kasimo adalah orang biasa yang mempresentasikan jiwa zamannya dengan menghadirkan nilai budaya, intelektual, keadaban, maka kesederhanaan adalah kata tepat untuk mengistilahkan kesalehan sosialnya. Posisinya selalu diletakkan pada upaya mencapai kemamuran rakyat dan jauh dari kepentingan pribadi, golongan, maupun  tujuan personalnya.
Sebagai seorang menteri, I.J Kasimo menuangkan cita-citanya  dalam “Plan Kasimo”. Untuk kemakmuran rakyat digagas kebijakan pangan dengan memanfaatkan lahan tidur, intensifikasi pertanian, memperbanyak kebun bibit unggul, pencegahan hewan pertanian untuk disembelih, dan pemberdayaan lahan bekas perkebunan di Sumatera dengan memindahkan penduduk dari Jawa. Kegigihannya membela kepentingan rakyat dengan upaya memakmurkan rakyat disempurnakan dengan keterlibatan secara aktif dalam pemberantasan korupsi.  Inilah wujud prinsip hidupnya yang sederhana, jujur, dan tidak semata duniawi.
Memahami Falsafah Jawa
Sebagai orang Jawa, I.J Kasimo tidak sulit  mengakses pemikiran-pemikiran  seperti “sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”.  Untuk menjadi kaya tanpa harta, sakti tanpa azimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan, hanya dapat dicapai apabila didasari oleh pengabdian tulus ikhlas tanpa pamrih. Sepi ing pamrih rame ing gawe.
Kaya tanpa harta dapat diwujudkan manakala dapat memberi apa yang dapat diberikan tanpa berharap ia dapat memperoleh sesuatu atas pemberiannya itu. Sedangkan sakti tanpa azimat dapat diwujudkan ketika merasa berharga dan terhormat tanpa harus memiliki kedudukan sosial dan kekuasaan. Ketika kekuasaan sudah tidak dalam genggaman sekalipun, orang masih menaruh hormat oleh karena kesalehannya. Tanpa kekuasaan, kehormatannya tetap melekat oleh karena  bersikap dan bertindak susila, jujur, konsisten dan konsukuen.
Dengan membina kepercayaan pada diri sendiri, keteguhan iman dan kemampuan untuk setia kepada apa yang adil dan benar, akan mengantarkan seseorang merasa mampu memperjuangkan cita-citanya meski tanpa campur tangan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Demikianlah makna menyerbu tanpa pasukan. Sedangkan kemampuan untuk merasa bahagia sejahtera dalam situasi dan kondisi apapun dengan tidak membiarkan dirinya dikuasai dan menguasai adalah makna dari menang tanpa mengalahkan.
Itulah yang mengantarkan I.J Kasimo dalam pemahaman hidup sederhana tanpa harus melanggar hak milik orang lain atau hak milik publik. Mengambil secukupnya hak milik pribadi untuk memenuhi kebutuhan dengan tidak melampaui batas kemampuan fisik dan mental. Tidaklah sukar mencukupi kebutuhan secara wajar dengan cara halal dan legal, tanpa harus mengorbankan harga diri dan memaksakan diri.
Gelar Pahlawan
Upaya berbagai pihak mengusulkan I.J Kasimo sebagai Pahlawan Nasional dipastikan tidak dalamrangka “mengultus-individu-kan” seseorang. Dan tentu tidak pula melampiaskan hasrat untuk menghargai jasa orang yang sudah meninggal dunia semata. Sebab  I.J Kasimo tidak membutuhkan itu semua. Gelar Pahlawan Nasional itu untuk kita yang masih hidup, sebagai cermin diri atau kaca benggala dalam membangun negeri mengisi kemerdekaan yang ketika itu I.J Kasimo turut berperan memperjuangkannya.
I.J Kasimo sudah pahlawan melalui daya upayanya mewariskan pendidikan anti korupsi bagi generasi penerusnya. Tinggal kita sekarang, mau dan mampu atau tidak bersikap dan bertindak  untuk meneruskan warisan yang sangat berharga ini ?


Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.-

Pendidikan dan Kebudayaan


Pendidikan yang Berkebudayaan
Ki Sugeng Subagya
Mengembalikan pengelolaan pendidikan dan kebudayaan dalam satu kementerian mendapat respons positif masyarakat. Harapannya, pendidikan kembali dikonstruksi kebudayaan. Artinya, semua aspek pendidikan dikaji secara kritis sehingga menghasilkan bentuk satuan pendidikan yang merupakan ajang interaksi berbagai latar belakang masyarakat untuk saling memahami dalam suasana kesetaraan, keadilan, dan penghormatan. Satuan pendidikan adalah bangunan budaya menuju peradaban. 
Keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan  berkenaan dengan satu urusan yang sama, ialah pengembangan nilai. Kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, ialah sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process), serta bervisi tertentu (goals). Pendidikan merupakan proses pembudayaan. Tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan.  
Pendidikan adalah usaha kebudayaan, dan satuan pendidikan adalah taman persemaian benih-benih kebudayaan. Demikianlah Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi sistem pendidikan nasional.
Pendidikan sebagai usaha kebudayaan tidak mengenal sekat-sekat etnis, agama, strata sosial-ekonomi, latar belakang politik, bahasa daerah, perbedaan gender dan tingkat kecerdasan peserta didik. Jika sekat-sekat itu ada maka pendidikan telah menyempitkan maknanya sebatas transfer pengetahuan bukan membangun peradaban.
Sebagai taman persemaian benih-benih kebudayaan, pendidikan merupakan penggerak tumbuh dan berkembangnya budaya dan karakter bangsa. Dalam tataran yang aplikatif, satuan pendidikan sebagai penyedia ilmu pengetahuan adalah pintu gerbang bagi peserta didik untuk memperoleh  alat pengembangan diri dan masyarakatnya melalui kebudayaan. Pendidikan harus menciptakan peluang bagi individu untuk mengembangkan potensi diri, meninggikan martabat kemanusiaan, dan menghormati keberagaman.
Muara pendidikan yang berkebudayaan adalah keberhasilan melindungi dan mempertahankan budaya lokal dan nasional dengan menyerap budaya asing secara selektif adaptatif tanpa meninggalkan budaya adi luhung yang merupakan jati diri bangsa.

 Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa.-

Artikel dimuat SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Selasa 8 November 2011 Halaman 10.

Sabtu, 05 November 2011

Peduli Sosial dan Lingkungan


Paguyuban Hemodialisis Terbentuk
Drs Sugeng Subagya MM
Humas Paguyuban Hemodialisis “Manunggaling Rasa”

Hemodialisis (cuci darah) adalah sebuah terapi . Kata ini berasal dari haemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti dipisahkan. Hemodialisis merupakan salah satu dari terapi penggganti ginjal, yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal, baik akut maupun kronik. Dalam keseharian tindakan hemodialisis dikenal masyarakat dengan “cuci darah”.
Tindakan cuci darah membutuhkan dukungan dana yang tidak sedikit. Tidak semua pasien yang membutuhkan cuci darah memiliki kemampuan ekonomi yang memadai. Contohnya pasien hemodialisis RS Panembahan Senopati Bantul. Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat dengan latar belakang pekerjaan yang bermacam-macam. Ada pegawai negeri sipil, TNI/POLRI, pensiunan/purnawirawan, pegawai swasta, petani, ibu rumah tangga, bahkan buruh. Sedangkan apabila dilihat dari asal domisilinya, ada yang dari wilayah Kabupaten Gunungkidul, Kulonprogo, Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta.
Karena latarbelakang itulah, maka beberapa pasien berinisiatif untuk bermusyawarah mencari jalan keluar bagi pasien kurang mampu.
Pada tanggal 24 Juli 2011 diselenggarakan rapat terbatas pasien HD di rumah Drs Pudjana, dusun Trasih, Giriasih, Purwosari, Gunungkidul. Salah satu keputusan rapat tersebut membentuk paguyuban penderita hemodialisis dengan diberi nama “Manunggaling Rasa”. Makna nama tersebut ialah saling berbagi rasa dalam suka dan duka.
Dalam waktu kurang dari 3 (tiga) bulan, minat para pasien untuk bergabung dalam paguyuban luar biasa. Semula tidak lebih dari 30 orang anggota, akhirnya lebih dari 170 orang bergabung. Bahkan dalam perkembangan terakhir, sampai dengan akhir Oktober 2011 ini telah terdaftar 256 (dua ratus lima puluh enam) orang anggota. Oleh karena itu pada rapat kedua, tanggal 14 Oktober 2011 diputuskan melengkapi susunan pengurus. Sebagai ketua adalah Drs Pudjana dan Sumadi, S.Pd. , sekretaris Sumarya, S.E, dan Rina Astuti, bendahara Fajar Srinanti dan Trini Darmayanti. Pengurus dilengkapi dengan coordinator dan bidang-bidang.
Tujuan paguyuban adalah merekatkan silaturahim diantara para pasien HD dan keluarganya sekaligus menggalang dana dari siapapun yang tidak mengikat untuk membantu para pasien HD yang kurang mampu.
Pada hari Minggu tanggal 23 Oktober 2011 diselenggarakan rapat anggota sekaligus kegiatan Sawalan dan dilanjutkan dengan Sarasehan dengan tema “Hidup Lebih Sehat Aktif dengan Hemodialisis. Materi sarasehan disampaikan oleh Dr. Agus Yuha Ahmadu, Sp.PD tentang “Gagal Ginjal dan Terapi Pengganti Ginjal”, Dr. Dra. Sumarni, M.Kes. tentang “Aspek Sosiologis Penderita Gagal Ginjal Guna Peningkatan Kualitas Hidup”, dan Dr. Martalena Br. Purba, M.Cn. tentang “Terapi Nutrisi Pada Pasien Gagal Ginjal Guna Peningkatan Kualitas Hidup”.
Dalamrangka pelaksanaan program kerja paguyuban, dalam waktu dekat akan diselenggarakan berbagai kegiatan antara lain pertemuan anggota secara rutin setiap tiga bulan sekali, penyuluhan hemodialisis, membentuk koperasi paguyuban, kunjungan silaturahim, pasar murah, dan menyalurkan bantuan bagi anggota yang memerlukan.
Sehubungan dengan hal itu, pengurus paguyuban menghimbau kepada berbagai pihak yang berkenan membantu mengembangkan paguyuban ini untuk berhubungan dan berkoordinasi dengan pengurus paguyuban melalui kontak person Drs Pudjana (081328473969) atau menghubungi secretariat paguyuban di Unit Hemodialisis RS Panembahan Senopati Bantul, Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo Bantul, 55714 Telpon (0274)6590499.

Sumber : 
Citizen Journalism Harian Pagi Tribun Jogja, Sabtu 5 November 2011 halam 1 dan 3.