REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL DAN HARI KEBANGKITAN NASIONAL DI ERA REFORMASI
Meneladani Ki Hadjar Dewantara
Oleh : Ki Sugeng Subagya
Oleh : Ki Sugeng Subagya
Bulan Mei memiliki arti penting bagi sejarah bangsa Indonesia. Bulan Mei dapat kita sebut sebagai bulan perjuangan, pergerakan dan reformasi. Karaena pada bulan Mei bangsa Indonesia memperingati dua peristiwa bersejarah, yang akhirnya membawa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka bangsa yang memiliki martabat. Peristiwa penting yang setiap bulan Mei kita peringati adalah Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei, karena pada tanggal itulah lahir seorang pejuang besar bernama Ki Hadjar Dewantara.
Masih pada bulan yang sama tepatnya tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. karena pada tanggal itulah lahir sebuah organisasi atau perkumpulan yang bernama Budi Utomo. Organisasi ini lahir karena didorong oleh kesadaran yang tinggi dari kaum muda terpelajar yang ingin membebaskan diri dari belenggu penjajah. Walaupun disana sini masih sangat kental akan sifat-sifat kedaerahan, namun kelahiran Budi Utomo menandai babak baru bangkitnya kesadaran nasional.
Tidak hanya pada masa pra-kemerdekaan saja yang menjadikan bulan Mei sebagai bulan perjuangan, pergerakan dan reformasi. Pasca kemerdekaan, bulan Mei juga diisi oleh peristiwa bersejarah lain, yang tak lain dan lagi-lagi melibatkan pemuda di dalamya. Tentu masih sangat jelas dalam ingatan kita, terjadinya tragedi 1998 yang menuntut pemerintahan Orde Baru agar melakukan reformasi total di bidang politik, ekonomi dan hukum.
Dalamrangka menyongsong bulan Mei dan dengan maksud pula untuk memperingati tiga peristiwa bersejarah sekaligus, sehari sebelum bulan April 2010 berakhir, penulis hadir sebagai pembicara dalam sebuah forum sarasehan pemerhati pendidikan dan kebudayaan. Tema besar yang diangkat dalam forum sarasehan itu, ialah Meneladani Ki Hadjar Dewantara dan Menyongsong Kebangkitan Kembali Pendidikan Nasional Dalam Era Revormasi.
Ada baiknya jika, butir-butir sarasehan itu dirangkum dalam tulisan untuk diterbitkan Majalah SISWA yang kita cintai ini. Disamping untuk dipetik manfaatnya, sekaligus menggali mutiara-mutiara pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk diangkat kembali di permukaan. Tidak sedikit mutiara-mutiara pemikiran beliau yang sampai saat ini masih sangat relevan.
Dasar berpijak tulisan ini sesungguhnya merespon pertanyaan seorang peserta sarasehan. “Apa yang dapat diteladani dari Ki Hadjar Dewantara untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa sekarang ini ? Misalnya kasus penggelapan pajak, mafia hukum, korupsi, dll. ?”
Pertanyaannya mudah, tetapi susah menjawabnya. Oleh karenanya untuk menjawab pertanyaan yang susah dijawab itu penulis mencoba memulainya dari menempatkan Ki Hadjar Dewantara sebagai sosok teladan, pelopor, dan penyemangat mengatasi persoalan aman. Penulis mencoba membalik ceritera riwayat hidup sebagaimana lazimnya ketika dilahirkan. Tetapi dikisahkan dari penghargaan yang diterima Ki Hadjar Dewantara sesaat setelah beliau wafat.
Satriya Pinandhita
Sesaat setelah Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959, penghargaan dari masyarakat sungguh luar biasa. Penghargaan itu berupa pernyataan, sikap, dan perilaku dalam berbagai bentuknya. Tidak hanya perorangan, lembaga, kantor, perusahaan, bahkan sampai dengan negara memberikannya. Satu hal yang sangat berkesan, ialah perwujudan duka cita mendalam dari ratusan ribu pelayat yang memenuhi rumah duka di Muja Muju, kompleks Pendopo Agung Tamansiswa, sepanjang jalan dari Wirogunan sampai Taman Makam Wijayabrata di Celeban. Mereka memberikan penghormatan terakhir dengan iklas tanpa paksa.
Perhatian yang sangat besar dari seluruh lapisan masyarakat terhadap wafatnya Ki Hadjar Dewantara oleh karena jasa-jasa beliau yang sangat besar terhadap bangsa dan negara Republik Indonesia.
Setidaknya, jasa besar Ki Hadjar Dewantara yang paling menonjol ialah gigih berjuang “memintarkan” rakyat Indonesia, dan sekaligus “mengenyahkan” penjajahan dari tanah Indonesia. Kebesaran jasanya tergambarkan sebagai satriya pinandhita.
Sebagai satriya pinandhita, perjuangan Ki Hadjar Dewantara melawan penjajah tidak diaktualisasikan dengan memanggul senjata bertempur di medan perang. Alat perjuangannya adalah kedewasaan berpikirnya berdasar logika dan panduan rasa. Alat yang demikian bukan didapat di pabrik messiu atau di gudang senjata, melainkan dalam wahana pendidikan.
Kesewenang-wenangan penguasa kolonial dalam bentuk pembatasan hak-hak rakyat tiadalah mungkin dilawan dengan senjata berpeluru. Hanya dengan kedewasaan berpikir logis dipandu oleh rasa, maka kesewenang-wenangan itu dapat diruntuhkan. Pemberlakuan Onderwijs Ordonantie 1932 (OO ‘32) sebagai contohnya.
OO ’32 adalah upaya mempersempit gerak langkah sekolah-sekolah partikelir yang saat itu sedang berkembang pesat untuk memintarkan rakyat pribumi. Jika tetap diberlakukan, bukan tidak mungkin upaya mencerdaskan rakyat untuk melawan penjajahan akan gagal. Ki Hadjar Dewantara dan Perguruan Tamansiswa memelopori penentangan terhadap pemberlakukan OO’32 itu. Tentu tidak sendirian, di belakangnya berbaris rapi segenap organisasi kegamaan, kebudayaan dan politik memberikan dukungan.
Dalam pandangan filosofis Ki Mohammad Said Reksohadiprodjo, sifat satriya pinandhita digambarkan sebagai sifat seorang pemimpin utama. Ialah sifat seorang pemimpin yang tidak menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya. Betapa tinggipun kedudukannya, ia tidak akan menggunakan aji mumpung berbuat menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya di atas penderitaan orang lain.
Sebagai satriya, ia adalah pemimpin yang berdiri tegak dalam topangan keadilan sejati. Berlaku adil sekaligus menegakkan keadilan, menegakkan keadilan dengan berlandaskan kebenaran. Itu semua dimaksudkan untuk tertib-damainya kehidupan bersama dan aman-sejahteranya kehidupan masyarakat.
Sebagai pandhita, ia adalah pemimpin yang tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya dari ukuran semat (harta), derajat (tahta atau kedudukan), kramat (kuasa), dan apalagi asma (nama). Ia memelihara gairah hidupnya tanpa ambisius, mengabdi dengan sepi pamrih rame ing gawe, dan memahami bahwa pengabdiannya adalah sesuatu hal yang memang harus dilakukan dengan tanpa mempertimbangkan untuk menjadi hebat, istimewa, terpuji, dah bahkan dikagumi.
Demikianlah Ki Hadjar Dewantara. Beliau adalah sosok yang melebihkan usaha daripada bicara. Menempatkan harga dirinya atas rasa percaya akan kekuatannya sendiri. Sebagai perwira yang berani dan bijaksana, sebagai prajurit yang berani dan setia. Menanggalkan gelar kebangsawanannya, jika ternyata gelarnya itu dirasa dapat menghalanginya berbaur dengan rakyat. Semuanya itu dipersembahkan untuk kepentingan rakyat dengan tidak mengambil keuntungan sedikitpun untuk diri dan keluarganya.
Refleksi
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia tampak sedang dalam kekosongan kepercayaan atas tegaknya keadilan berlandaskan kebenaran. Putusan hukum yang seharusnya sebagai intrumen penegakkan keadilan telah dianggap sepi oleh karena landasan kebenarannya telah diingkari. Meskipun rumusan instrumen hukumnya sama, namun jika penafsirannya tidak lagi berlandaskan kebenaran, maka pengambil keputusan sebagai pengadil tidak lagi dapat berlaku satriya pinandhita. Salah satu contoh mutakhir adalah kerusuhan Koja. Kepentingan bermuatan pamrih telah menenggelamkan keampuhan hukum sebagai instrumen penegak keadilan.
Seorang satriya pinandhita, tidak sama sekali meremehkan kehidupan jasmaniah lahiriah, namun ia juga tidak pula mengejar kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan kemashuran. Kebahagiaannya tidak tergantung kepada orang dan benda, keadaan dan kejadian, namun diukur dari cara menilai atas keadaan yang dihadapi. Kekayaan bukan diukur dari seberapa banyak yang ia miliki, tetapi diukur dari seberapa besar yang ia bisa berikan secara iklas tanpa pamrih.
Kekuasaan, kedudukan, dan harta kekayaannya akan dilepaskannya daripada harus menjadi pengkhianat bangsa, integritas pribadinya menjadi korban, dan harga dirinya jatuh di mata masyarakat. Dalam hal yang demikian ini yang oleh Ki Hadjar Dewantara dirumus sebagai ing ngarsa sung tuladha. Memimpin di depan dengan keteladanan yang bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyelewengan.
Keteladanan jauh lebih efektif untuk memberantas korupsi daripada tindakan preventif (misalnya : renumerasi) dan represif (misalnya : proses hukum). Tindakan preventif dan represif semacam itu tanpa keteladanan dari para pemimpinnya, maka tidak lebih hanya akan menjadi lelucon belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar