Esensi Pendidikan Karakter
Ki Sugeng Subagya
Pendidikan karakter sebagai tema pokok peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010 menginspirasi banyak pihak untuk merevitalisasi pendidikan karakter. Pendidikan karakter diangkat sebagai isu utama pembangunan pendidikan nasional dewasa ini. Ini adalah hal yang sangat baik, setidaknya ada kesadaran bahwa disengaja atau tidak, selama ini pendidikan karakter telah terabaikan.
Merevitalisasi pendidikan karakter tentu bukan pekerjaan mudah. Terlebih ketika perjalanan pendidikan nasional telah sampai pada lintasan yang kental muatan intelektualisme. Bukan bermaksud menafikkan pendidikan intelektual, tetapi ketika intelektualisme telah mendominasi pendidikan kita, dipastikan aspek kognitiflah pemenangnya, sedang aspek afektif dan psikomotorik tidak kebagian tempat.
Penting kiranya merevitalisasi pendidikan karakter dikaji dari konsep dasarnya untuk diketahui karakteristiknya.
Pada awalnya, pendidikan karakter muncul sebagai respon atas ketimpangan pendidikan naturalis dan instrumentalis ala JJ. Rousseau dan John Dewey. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Pendidikan karakter adalah upaya menghidupkan pendidikan ideal-spiritual yang saat itu telah lenyap oleh pendidikan yang intelektualistis. Dimensi pendidikan karakter harus bergerak dari determinasi natural ke pendidikan personal dengan pendekatan psiko-sosial yang humaniter dan integral. Barangkali inilah yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai pendidikan yang membangun watak melalui proses niteni, nirokke, dan nambahi, untuk ngerti, ngrasa, dan nglakoni.
Oleh karena itu hakikat pendidikan karakter adalah pembentukan pribadi yang utuh esensial dalam sikap dan perilaku peserta didik. Karakter menjadi identitas bagi individu dalam kapasitas subyek. Kematangan karakter merupakan manifestasi kualitas pribadi seseorang.
Untuk mengukur kematangan karakter seseorang, seorang ahli didik bangsa Jerman FW Foerster (1869-1966), mengemukakan empat ciri dasar, ialah (1) setiap tindakan diukur berdasar tataran hirarki nilai, (2) keberanian memegang teguh prinsip dan tidak lari atas resiko, (3) internalisasi nilai-nilai dan norma-norma di luar diri sehingga integral dengan kepribadiannya, dan (4) keteguhan dan kesetiaan dalam memegang teguh cita-cita kebaikan dan penghormatan atas pilihan yang telah ditetapkan.
Nilai merupakan pedoman normatif setiap sikap dan tindakan. Keteguhan dalam memegang prinsip menjadikan seseorang “jejeg” dan “kukuh” untuk tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan apapun. Internalisasi atas nilai-nilai dan norma-norma memberikan kemampuan menilai dalam pengambilan keputusan tanpa intervensi pihak lain. Sedangkan keteguhan merupakan daya tahan untuk meyakini apa yang dipandang baik dan komitmen yang kuat untuk keputusan yang telah dipilih.
Pendidikan di Indonesia yang sedang berlangsung belum dapat dikatakan memiliki karakteristik pendidikan karakter. Dalam tataran praksis, pengajaran belum sampai kepada pembelajaran. Rata-rata para guru sebatas mengajarkan hafalan yang tidak lebih hanya menghasilkan peserta didik yang meng-copy paste pelajaran. Ujian tidak mampu mengeksplorasi pemikiran kritis, argumentatif berbasis logika yang kuat. Apalagi untuk sampai kepada pendidikan sebagai kinerja budaya yang religius dalam kehidupan masyarakat, tentu masih jauh dari harapan.
Jika revitalisasi pendidikan karakter dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka pendidikan berbasis kompetensi yang dikembangkan harus tidak mengesampingkan kompetensi pribadi dan komptetensi sosial yang religious. Kompetensi IPA, matematika, kimia, fisika, biologi, geografi, teknologi informasi, dan sejenisnya, harus seiring dengan kompetensi karakter dan kompetensi keterampilan.
Tampaknya, taksonomi Benjamin S. Bloom dengan dimensi cognitive, afektif, dan psikomotorik, dan/atau trisakti jiwa Ki Hadjar Dewantara dengan dimensi daya cipta, rasa, dan karsa, perlu digali kembali sebagai pijakan pendidikan karakter yang memiliki karakteristik pengembangan potensi humanities yang serasi, selaras, dan seimbang.
Lebih dari itu, meskipun dukungan lingkungan diperlukan dalam pendidikan karakter, namun bukan berarti tanpa dukungan lingkungan, pendidikan karakter harus terabaikan. Logika yang demikian harus dibalik, melalui pendidikan karakter lingkungan harus dipaksa berubah menjadi wahana perwujudan kesalehan pribadi menjadi kesalehan publik. Semoga.-
Catatan :
Artikel ini dimuat Harian Pikiran Rakyat Bandung, Senin 14 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar