Laman

Sabtu, 26 Desember 2009

Pendidikan Ketamansiswaan

KI HADJAR DEWANTARA :
Kecil Badannya, Tetapi Besar Nyalinya

Oleh : Ki Sugeng Subagya


Dalam meniti hidup dan kehidupan, diperlukan keberanian. Keberanian adalah modal untuk dapat melakukan sesuatu hal. Misalnya berani menghadapi resiko, berani bertanggungjawab, berani hidup sederhana, berani mengalah, berani berkata jujur, dan sebagainya. Pendek kata setiap perbuatan harus didasari keberanian. Tanpa keberanian mustahil perbuatan dapat dilakukan. Dalam hal negatif sekalipun, keberanian tetap dibutuhkan. Seorang pencuri mustahil dapat melakukan aksinya tanpa ia memiliki keberanian.


Dalam usia muda, seringkali keberanian itu teraktualisasi lebih menonjol. Disamping karena usia muda merupakan usia yang ditandai dengan sikap-sikap dan perbuatan heroik, tetapi juga pertimbangan baik-buruk dan benar-salah ada kalanya terkalahkan oleh semangat heroiknya itu. Bahkan bukan tidak mungkin, pada usia muda keberanian tanpa didasari perhitungan matang. Pokoknya berani, dan yang penting berani. Apakah dengan keberaniannya itu kemudian merugikan orang lain, menyusahkan orang lain, membuat orang lain menderita, bahkan tidak mustahil dapat merugikan dirinya sendiri atau dirinya sendiri menjadi korban, itu tidak penting. Pukul dulu urusan belakang.


Belakangan ini keberanian yang teraktualisasi tanpa pertimbangan dan perhitungan matang itu sering terjadi. Kasus-kasus tawuran pelajar, tawuran antar kampung, tawuran antar kelompok masyarakat, demonstrasi yang anarkis, dan lain-lain adalah contohnya. Dalam lingkup yang lebih kecil, perkelahian berebut “pacar” atas dasar kecemburuan dan kecurigaan yang tidak beralasan sehingga menyebabkan korban terluka atau bahkan meninggal dunia atau cacat sepanjang hidup, hampir setiap saat terjadi.


Mestinya, potensi keberanian yang kita miliki harus diaktualisasikan dalam hal-hal yang positif. Ki Hadjar Dewantara sejak masih kanak-kanak memberi teladan hal itu.


Menurut rekan-rekan sejawatnya, Ki Hadjar Dewantara itu kras maar nooit grof, keras namun tidak pernah kasar. Tentu keras dalam sikap dan pendirian butuh keberanian, sedang tidak kasar itulah sikap dan perbuatan yang dilandasi oleh pertimbangan yang matang.
Ketika masih sekolah di ELS tidak dapat dihindari Suwardi harus berkelahi dengan sinyo-sinyo Belanda. Bukan karena rebutan pacar, tetapi karena membela teman-temannya yang ditindas atau dilecehkan oleh mereka. Seorang anak pribumi berani berkelahi dengan anak-anak Belanda di kandangnya (karena ELS adalah sekolah untuk anak-anak orang Eropa dan bangsawan pribumi) memerlukan keberanian tersendiri.


Bersama dengan Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Suwardi mendirikan Partai Hindia atau Indische Partij. Berbeda dengan organisasi sosial politik sebelumnya yang masih berkutat pada perjuangan kelompok, Indische Partij bertujuan menyatukan rakyat untuk mencapai "Hindia bebas dari Nederland" alias merdeka. Inilah bukti keberanian Suwardi yang lain, menyatakan Indonesia merdeka dalam keadaan negeri dalam pengaruh kuat kekuasaan penjajah tidak semua orang berani melakukannya.


Tak pelak, pemerintah kolonial Belanda miris. Tak lama kemudian Indische Partij dibreidel. Suwardi pantang menyerah. Kritik pedas kepada penjajah kembali dilancarkan lewat artikelnya dalam de Express November 1923, berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya saya orang Belanda). Dengan sindiran tajam tulisan itu menyatakan rasa malunya merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut uang dari rakyat Hindia yang terjajah.


Suwardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regeringsreglement - UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang melarang organisasi politik di Hindia-Belanda. Akibat tulisan tersebut Ki Hadjar Dewantara harus dibuang ke Belanda Oktober 1914. Alhasil, pemuda yang baru saja mempersunting R.A. Sutartinah ini harus berbulan madu di pengasingan.


Setelah kemerdekaan, keberanian Ki Hadjar Dewantara tidak pernah surut. Ini terkuak dalam peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas) tanggal 19 September 1945. Saat itu pemerintah R.I. menghadapi tantangan, apakah Presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan. Sidang kabinet di Pejambon sempat ribut. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat. Yang lain menolaknya dengan pertimbangan keselamatan. Akhirnya setelah melalui perundingan alot, semua sepakat untuk hadir. Yang kemudian menjadi pertanyaan, siapa menteri yang harus membuka jalan terlebih dulu memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan Presiden, mengingat ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah Republik Indonesia menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional.


Pada saat kritis inilah sebagai Menteri Pengajaran Ki Hadjar Dewantara unjuk keberanian. Bersama Menteri Luar Negeri Mr. Achmad Subarjo, Menteri Sosial Mr. Iwa Kusumasumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi tameng. Padahal usia bapak enam anak itu bisa dibilang tak lagi muda. Ketika diingatkan oleh Sekretaris Negara, Abdul Gafur Pringgodigdo, "... Ki Hadjar 'kan sudah tua." Apa jawab Ki Hadjar Dewantara, "... Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa," jawab Ki Hadjar Dewantara enteng.


Pada lain kesempatan, meski baru saja keluar dari tahanan, beliau sudah berani perang mulut dengan tentara Belanda. Pagi itu satu peleton tentara Belanda dengan sikap garang melakukan sweeping asrama Pamong Tamansiswa di Yogyakarta. Sebelum rombongan tentara itu berlalu, Ibu Dalimo, salah seorang istri pamong, tergopoh-gopoh mendatangi Ki Hadjar Dewantara. Ia melaporkan, seorang serdadu Belanda merampas kalung emasnya. Secara tak terduga, Ki Hadjar Dewantara menghardik komandan tentara tersebut dan melarang mereka meninggalkan tempat. Perang mulut sengit dalam bahasa Belanda-pun tidak terhindarkan. Nyi Hajar Dewantara yang semula berdiri di belakang, tiba-tiba maju ke depan mendampingi suami tercinta. Akhirnya, kalung emas pun berhasil kembali ke pemiliknya.


Tentu, mereka yang tidak mengenal pribadi Ki Hadjar Dewantara secara utuh akan terkaget-kaget menyaksikan adegan ini. Betapa tidak? Sosok pria kurus kecil berhati lembut yang tidak pernah memaksakan kehendaknya terhadap orang lain, ternyata bisa marah meledak-ledak.
Dari sepenggal kisah ini ada yang dapat dipetik hikmahnya. Keberanian itu adalah modal utama kita bersikap dan berbuat. Hendaknya keberanian itu didasari oleh pertimbangan yang matang. Keberanian bukan untuk memamerkan diri sebagai ”sok jagoan”, tetapi keberanian untuk menunjukkan kejujuran, ketulusan, keteguhan hati membela yang benar dan menegakkan harga diri berdasar prinsip-prinsip kemanusiaan yang berpihak kepada yang lemah.



Artikel ini dimuat Majalah SISWA Pebruari 2009.

2 komentar:

  1. Halo Pak Sugeng,
    Saya sangat tertarik membaca tulisan Anda di blog ini. Memang luar biasa ketika kita menjadikan pendidikan sebagai pegangan hidup baik dalam perkembangan intelektual maupun kehidupan moralitas yang senantiasa menjadikan manusia lebih manusiawi.

    Pertanyaan saya, mengapa para tokoh pendidikan kita belum sanggup mengimplementasikan idealismenya dalam mendobrak kebobrokan sistem pendidikan kita?

    BalasHapus
  2. Salam Pak Frans,
    Orang lupa pada local genius, lebih mengagungkan segala sesuatu yang datangnya dari luar. Malas menggali milik sendiri, dan sangat suka melirik milik orang lain....... Pendidikan nasional, sesungguhnya dewasa ini sudah bukan lagi memiliki ruh nasional. Dalam praktik, pendidikan sudah dikesampingkan, yang ada tinggal pembelajaran yang intelektualistis .

    BalasHapus