Laman

Kamis, 05 Agustus 2010

Sistem Evaluasi Pendidikan

UN versus SNMPTN
Oleh : Ki Sugeng Subagya

Fenomena pendidikan di Indonesia semakin menarik diikuti. Setelah hasil ujian nasional (UN) dan kejujuran berbanding terbalik. Kini yang terbaru, hasil UN berbanding terbalik pula dengan hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Berita yang dilansir media massa menyebutkan, nilai hasil SNMPTN tahun 2010 peserta di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terbaik dan tertinggi secara nasional. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil UN tahun 2010 yang beberapa waktu lalu disorot karena berada pada peringkat bawah secara nasional. Provinsi Bali yang dalam UN menempati posisi terbaik, tetapi dalam SNMPTN sangat rendah siswanya masuk perguruan tinggi negeri (PTN).

Hal ini menunjukkan masih banyaknya persoalan yang melilit sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Setidaknya memperkuat alasan banyak pihak yang mengusulkan agar UN dievaluasi secara menyeluruh. Di lain pihak memperkuat pula alasan PTN menolak hasil UN dijadikan satu-satunya alat seleksi masuk PTN.

Kemandirian Semu
Jika dikaitkan dengan obyektifitas proses evaluasi, tampaknya SNMPTN lebih obyektif dari UN. Dari sisi penyelenggaraan SNMPTN jauh lebih mandiri. Tidak ada kepentingan apapun bagi penyelenggara SNMPTN kecuali memperoleh in-put calon mahasiswa baru yang memiliki potensi akademik yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Tidak demikian dengan UN. Meskipun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai penyelenggara UN adalah badan mandiri, namun dalam operasionalnya tidak memiliki organ yang cukup sampai pada tataran bawah. Akibatnya, aparat birokrasi pendidikan dan satuan pendidikan tetap dilibatkan dalam penyelenggaraan maupun pengawasan. Benarlah olok-olok sebagian pengamat, dalam UN “bagai jeruk minum jeruk”.

Dengan tidak bermaksud menuduh, kepentingan menjaga citra bagi pejabat dan birokrat, dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Pendidikan sampai dengan Kepala Satuan Pendidikan dapat menurunkan kadar kemandirian BNSP.

Meskipun banyak pejabat dan birokrat yang legawa menerima hasil UN apa adanya, tetapi tidak sedikit yang merasa kehilangan muka jika hasil UN di wilayahnya buruk. Upaya menyiasati agar hasil UN lebih baik harus diapresiasi. Tetapi, jika upaya itu kemudian dilakukan dengan menghalalkan kecurangan dan mengabaikan kejujuran, maka yang demikianlah yang menggambarkan hasil UN tidak obyektif.

Dimensi Teoritik

Membandingkan hasil UN dengan hasil SNMPTN dari sisi potensi akademik bisa jadi sejalan. Tetapi secara teori evaluasi pendidikan, model atau pola evaluasinya dapat dibedakan berdasarkan fungsinya. Soal UN lebih banyak bersifat menguji hasil belajar siswa. Sedangkan soal SNMPTN lebih cenderung berupa tes prediktif untuk memprediksi keberhasilan seseorang ketika belajar di perguruan tinggi. Bahkan dalam konteks tertentu, soal SNMPTN hanya merupakan alat seleksi untuk menjaring peserta didik terbaik dari yang ada.

Kriteria tes dalam UN adalah achievement effectivity, ialah sejauhmana tes dapat menggambarkan secara tepat kemampuan riil atas hasil belajar. Dengan kata lain siswa yang memiliki hasil belajar tinggi maka nilainya akan tinggi, sedangkan siswa yang hasil belajarnya rendah nilainya akan rendah. Sedangkan kriteria tes dalam SNMPTN adalah prediction effectivity, ialah sejauhmana tes dapat menggambarkan secara tepat potensi calon mahasiswa. Dengan kata lain, siswa yang nilainya tinggi berarti potensinya tinggi, sedangkan yang nilainya rendah potensinya rendah.

Berdasar orientasi waktu pelaksanaannya, UN sebagai tes hasil belajar harus selalu dilakukan pada akhir program kegiatan belajar. Sedangkan SNMPTN sebagai tes prediksi, maka harus dilakukan sebelum pelaksanaan program kegiatan belajar. Momentum yang jauh dari tepat jika tes hasil belajar difungsikan sebagai tes prediksi.

Karena memang pola evaluasi UN berbeda dengan pola SNMPTN, maka tidak ada alasan teoritik yang mendukung maksud pemerintah menggunakan hasil UN sebagai satu-satunya syarat masuk PTN. Kecuali keduanya sangat sulit diintegralkan (fit in), lebih dari itu kaitan tes hasil belajar yang melekat dengan UN dan tes prediksi yang melekat dengan SNMPTN hampir tidak ada.

Terlebih ketika UN belum bersih benar dari kecurangan yang mengabaikan kejujuran sehingga obyektifitasnya diragukan. Menjadikan nilai hasil UN sebagai salah satu pertimbangan masuk PTN-pun dapat dikategorikan sebagai “mengotori” obyektifitas SNMPTN. Tidak ada alasan untuk tidak segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap ujian nasional.-

Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.-

Artikel ini dimuat harian KOMPAS Rabu, 4 Agustus 2010 halaman D.

2 komentar:

  1. Polemik tentang UN memang terus berkembang. Perdebatan kadang berdasar pada emosi, bukan ilmiah atau logika. kalaupun ada ilmiah atau logikanya tampak dipaksakan berdasar emosi.
    Mencari solusi yang win win mestinya melalui tahapan yang disepakati. Misalnya pertama-tama ditanyakan perlu tidaknya UN, termasuk hal yang mendasari (Undang-undang, PP dll.)
    Apabila jawabannya "Perlu" meskipun ada kata "tetapi...." maka perlu tidaknya sudah tidak perlu dibahas lagi. yang dilakukan selanjutnya adalah mengatasi "tetapi" atau syarat yang ditetapkan (bukan satu-satunya penentu kelulusan, penyelenggaraannya harus lebih baik, cukup sebagai sertifikasi saja, dll)

    BalasHapus
  2. Sangat sependapat dengan komentar penjenengan, dalamrangka keluar dari "tetapi" itulah sya tidak jemu-jemunya urun rembug.

    BalasHapus