Laman

Sabtu, 21 Agustus 2010

Dakwah Kultural Muhammadiyah

Seni Tradisi dan Dakwah Kultural Muhammadiyah

Oleh : Ki Sugeng Subagya


Ada catatan tersisa dari Muktamar 1 abad Muhammadiyah di Yogyakarta. Hiruk pikuk pelaksanaan Muktamar terselip dakwah kultural. Selasa (6/7/2010) malam, Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta menjadi ajang dakwah kultural.


Pentas ketoprak dan seni tradisi di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta sudah biasa terjadi. Tetapi malam itu terasa sangat istimewa. Bukan hanya karena pucuk pimpinan Muhammadiyah, Din Syamsudin dan banyak tokoh lain tampil “ngetoprak”. Nuansa dakwah yang dikemas dalam pentas seni tradisi seperti mengingatkan bahwa Muhammadiyah memiliki banyak cara menyampaikan dakwah. Seni tradisi dapat menjadi sarana menyampaikan ajaran Islam secara damai, tidak menjemukan, dan sekaligus menghibur.


Pada dimensi yang lain, melalui pentas seni tradisi, secara kultural menyumbangkan akulturtasi budaya dan sekaligus meneguhkah hakikat Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Islam adalah agama penebar damai dan keselamatan, rahmat bagi alam semesta.


Membalik Citra

Adalah pilihan cerdas bagi para seniman dan budayawan Muhammadiyah menggagas pentas ketoprak dengan lakon “Pletheking Surya Ndadari” malam itu. Pada saat ada sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam melakukan tindak kekerasan dalam berdakwah, Muhammadiyah memberikan suri tauladan dakwah dengan cara damai.


Ketika wajah Islam sebagai agama rahmat sedang babak-belur akibat ulah segelintir kelompok orang yang melakukan aksi-aksi kekerasan dan terorisme atas nama jihad Islam, Muhammadiyah tampil dengan dakwah damai melalui media seni tradisi. Ketika makna suci jihad tercemari dengan terorisme, Muhammadiyah mengangkat kembali jihad kultural sebagai tuntunan.


Dakwah kultural dengan media pentas seni tradisi, mudah-mudahan mampu membuka pandangan dunia yang selama ini melihat Islam bukan dalam wajah Islam yang sebenarnya. Penilaian yang selama ini dipelihara dunia (Barat) bahwa Islam identik dengan kekerasan dan teorisme dalam dakwahnya tertepis oleh upaya-upaya kultural.


Akulturasi

Dakwah kultural di Indonesia sesungguhnya bukan hal yang baru. Pada awal perkembangan Islam di tanah Jawa, dakwah kultural dilakukan para wali. Ternyata berhasil. Tidak hanya penyebaran ajaran agama Islam, tetapi juga meneguhkan Islam sebagai agama yang tidak mentolerir kekerasan. Dari sinilah akulturasi kebudayaan terjadi.


Dalam kajian ilmu sejarah, Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai. Mula-mula, sebagai pemegang peran adalah bangsa Arab, bangsa Persia, dan bangsa India (Gujarat) melalui jalur perdagangan lintas bangsa. Selanjutnya, perkembangannya menjadi sangat pesat oleh karena dipicu perkawinan, pendidikan, dakwah dan kesenian.


Sebelum Islam masuk, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha, bahkan animisme dan dinamisme. Dengan masuknya Islam, terjadi akulturasi budaya yang lebih dahsyat. Ialah proses percampuran dua atau lebih kebudayaan yang saling mempengaruhi sehingga melahirkan kebudayaan baru. Ialah kebudayaan Indonesia yang islami.


Di Jawa, penyebaran Islam berpusat di Kerajaan Demak. Sebagai pusat agama Islam, Demak dikenal memiliki “wali sanga”. Para wali memiliki peranan yang penting menyebarkan agama Islam dalam konteks akulturasi. Sunan Kalijaga misalnya, beliau meninggalkan karya akulturasi monumental. Masjid Demak dan upacara tradisional sekaten adalah contohnya.


Masjid Demak terkenal dengan bangunan Masjid dengan satu tiangnya terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang disebut dengan Saka Tatal. Di serambi depan Masjid Demak inilah Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar perayaan Sekaten dalamrangka peringatan Maulud Nabi. Hingga kini upacara perayaan sekaten masih berlangsung setiap bulan Mulud (Jawa) di Kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.


Esensi upacara sekaten sesungguhnya adalah dakwah kultural. Hal ini dapat dirujuk dari sejarah sekaten itu sendiri. Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad, Saw. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.


Menyandingkan sejarah sekaten dengan pentas ketoprak “Pletheking Surya Ndadari” dari sisi monumentalnya tentu tidak sebanding. Tetapi dari cara pandang hakekat, keduanya tidak berbeda. Pindha suruh lemah kurepe, yen ginigit padha rasane. Meski daun sirih permukaan depan dan belakangnya beda rupa, tetapi jika digigit rasanya sama. Ialah Pencerahan.


Pencerahan yang diadaptasi dalam dakwah melalui pentas ketoprak. Ajaran kebaikan harus disampaikan dengan cara yang baik. Dialog santai dengan canda tawa bukan berarti nihil dari muatan ajaran moral agama. Dari cara yang demikianlah sebuah ide dan konsep kebaikan dapat diajarkan.


Dialog-dialog yang muncul dalam pentas malam itu, sesungguhnya memiliki pesan moral yang tinggi tetapi sekaligus autocritic terhadap umat Islam sendiri. Umat Islam saat ini masih belum sepenuhnya mampu menunjukkan perilaku dan akhlak Islami. Masjid banyak, tapi yang shalat berjamaah sedikit. Umat Islam juga memiliki kelemahan di berbagai lini kehidupan. Kemiskinan dan kebodohan telah menjadikan umat yang lemah. Demikian pula dengan akhakul karimah yang masih jauh panggang daripada api.


Cara-cara dakwah kultural dengan berbagai media ternyata tidak sepi peminat. Televisi misalnya. Mengemas siraman rohani dalam bentuk dialog interaktif yang sedikit teatrikal, ternyata digemari pemirsa. Disamping jutaan pasang mata mengikuti melalui layar kaca, tidak sedikit kelompok-kelompok yang mengajukan untuk hadir di studio “live show”. Saking banyaknya peminat, ada yang rela mengantri sangat lama. Sejak permohonan diajukan, baru 2 tahun kemudian mendapat giliran.


Ketika dakwah konvensional selalu disampaikan dengan cara serius cenderung membosankan, seni tradisi dapat dijadikan alternatif sebagai dakwah kultural yang menyegarkan. Dan, Muhammadiyah telah memulainya kembali.

Ki Sugeng Subagya,

Pamong Tamansiswa tinggal di Yogyakarta.




Artikel ini dimuat Majalah SUARA MUHAMMADIYAH

No. 16/Tahun Ke-95 tanggal 16-31 Agustus 2010.

1 komentar:

  1. Postingan yang bagus. Sebagai info juga, banklink blog ini ada di http://www.surau.net/jurnal.php. Perkenankan kami posting info juga, barangkali ada manfaatnya.

    1. Sarang semut papua
    2. Madu alam super
    3. Name chemistry
    4. Foto jadi kartu lebaran
    5. Umroh, haji dan investasi
    6. Reklame & percetakan
    7. Privat English & sertifikat
    8. Freeware - shopping cart
    9. Freeware - mesin email
    10. Kursus gratis
    11. Iklan bonafid

    Info selengkapnya http://sutaryo.net/promosi.htm

    BalasHapus