Laman

Kamis, 28 Januari 2010

SERTIFIKASI GURU


Masadepan Sertifikasi Guru

Oleh : Ki Sugeng Subagya

Jika benar LPTK “mogok” melaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan pada tahun 2010, kecemasan mengarah keresahan akan terjadi di kalangan para guru. kita. Sertifikasi guru dalam jabatan terlanjur diasumsikan sebagai sarana mengikis ketimpangan kompetensi, sekaligus mempengaruhi peningkatan kesejahteraan guru. Di lain pihak, sertifikasi guru sesungguhnya wahana “pertobatan guru mismatch”.

“Mismatch”

Data Ditjen PMPTK Depdiknas, lebih sepertiga dari 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar karena mismatch, ialah kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar.

Mismatch dari sisi kualifikasi akademik dapat dirujuk pada UU Guru dan Dosen. Pasal 9 menyebutkan, kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan program sarjana atau diploma empat. Dengan kata lain, guru dikatakan memenuhi kualifikasi akademik apabila berpendidikan serendah-rendahnya S-1 atau D-IV. Ketentuan UU ini tidak memandang apakah ia guru TK, SD, SMP ataupun SMA/K.

Fakta di lapangan menunjukkan, rata-rata guru TK dan SD berpendidikan SPG, D-I atau D-II. Bahkan dapat ditemukan guru TK dan SD lulusan SMA atau SMK. Tidak sedikit guru SMP dan SMA/K yang berpendidikan D-I, D-II, PGSLP, PGSLA, sarjana muda dan D-III.

Terlebih jika ketidaksesuaian mengampu matapelajaran dijadikan indikator mismatch. Banyak guru yang mengampu matapelajaran tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Guru matematika dengan latar belakang pendidikan fisika, atau guru sosiologi berasal dari latar belakang pendidikan geografi masih banyak ditemukan di sekolah. Guru bimbingan dan konseling yang tidak berpendidikan bimbingan dan konseling hampir dapat ditemui di setiap sekolah.

Seringnya kurikulum dirubah diperkirakan menjadi salah satu sebab guru mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan. Perubahan kurikulum selalu diikuti oleh hilangnya matapelajaran tertentu dan munculnya matapelajaran baru. Ketika matapelajaran baru muncul dan LPTK belum menyiapkan guru untuk matapelajaran dimaksud, maka dengan terpaksa sekolah memanfaatkan guru yang ada, termasuk di dalamnya untuk maksud memberi tugas kepada guru yang matapelajarannya hilang.

PLPG

Mengingat guru yang tidak memenuhi kualifikasi dan kompetensi jumlahnya sangat besar, perlu diupayakan terobosan. Sertifikasi guru dalam jabatan merupakan salah satu bentuk terobosan dimaksud. Pendidikan dan Latihan Profesional Guru (PLPG) yang merupakan bagian proses sertifikasi guru ternyata berdampak positif meningkatkan kualitas dan kompetensi guru.

PLPG meruapakan jawaban atas berbagai kritik tajam sertifikasi guru yang selama ini ditimpakan. Sertifikasi yang semula dapat meloloskan guru profesional hanya dengan penilaian portofolio tanpa memperhatikan secara seksama kualifikasi akademik dan latar belakang matapelajaran, akhirnya dapat ditemukan formula yang lebih baik. Setinggi apapun skor penilaian portofolionya, jika aspek-aspek kualifikasi kompetensi akademik, pedagogik, kepribadian, dan sosial, tidak memenuhi standar yang ditetapkan maka tidak dapat dinyatakan lulus.

PLPG adalah gerbang selanjutnya yang harus dilewati bagi yang dinyatakan tidak lulus penilaian portofolio. Pengamatan penulis, peserta PLPG pada awal kegiatan diklat tidak sedikit yang menunjukkan sikap apatis, jengkel, geram, bahkan marah. Penyebabnya mereka harus ikut PLPG karena tidak lulus penilaian portofolio. Namun setelah dijalani, tidak sedikit diantara mereka seperti terbelalak mata. Ternyata kinerja mereka selama ini masih benar-benar sangat jauh dari sosok ideal guru dan/atau konselor profesional. Dalam PLPG itulah mereka mendapat pencerahan atas pembaharuan teori, konsep, dan praktik melaksanakan tugas profesional.

Tidak kurang diantara peserta PLPG menyarankan tidak perlu sertifikasi guru dengan penilaian portofolio. Semua proses sertifikasi guru dalam jabatan sebaiknya melalui PLPG. Dalam PLPG benar-benar penguasaan teori dan konsep serta keterampilan pembelajaran dan konseling terbarukan. Melalui proses penilaian yang obyektif dan transparan dapat diukur kompetensi seorang guru. Jika kemudian ternyata banyak yang tidak lulus, itulah bukti bahwa pelaksanaan PLPG bukan sekadar formalitas.

PLPG sebagai salah satu cara menetapkan profesionalitas guru oleh LPTK setidaknya telah mampu membangkitkan motivasi guru untuk melaksanakan tugas lebih baik. Dapat dikatakan sertifikasi guru melalui PLPG telah mampu mengantarkan pertobatan para guru mismach. Mereka telah kembali ke jalan yang benar, atau setidaknya mereka telah mengetahui jalan yang benar itu.

Patut disayangkan jika kemudian LPTK harus “mogok” melaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan karena terdapat perbedaan persepsi administratif dengan Depdiknas. Semua pihak terkait, perlu membuka diri untuk berdialog mencari solusi bijak.

Ki Sugeng Subagya

Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan, Peserta PLPG Rayon 11 UNY Gelombang XIV.


Dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, 28 Januari 2010.

Senin, 25 Januari 2010

Adiluhung


Pindha Ngasta Curiga Ligan
dening : Ki Sugeng Subagya

NGASTA curiga utawa keris ligan yen disrapat wantah bisa diarani lumrah. Keris ligan iku keris sing ora mapan ana warangkane, mula ora bisa dienggo pinangka jangkeping ngadi busana. Lumrahe, wong ngasta keris ligan iku lagi ana ing suasana peperangan, utawa lagi kebranang atine, klebu wong sing bunek pikire arep nglalu umpamane. Kosokbaline, keris sing mapan ana warangka diagem ing suasana mirunggan, kahanan kang tentrem malah kepara diagem nglairake rasa sengsem ing kaendahan saha luhuring budaya.

Surasa wantah sing cethek kaya mengkono iku ora luput, jalaran tata lair pancen kaya mengkono kahanane. Nanging tumrap bebrayan, utamane kanggo wong sing nggegulang rasa lan pangrasa, keris ligan bisa disurasa luwih jero. Keris ligan mono tumrap sing ngasta ngemu pitutur pengati-ati. Ngasta keris ligan tanpa pengati-ati kurang bejane bisa tatu dening keris sing diasta mau, kepara malah bisa uga gawe cintrakaning, kulawarga, brayat, tangga teparo, sedulur, rowang lan wong liyan drayan.

Ing jaman samengko, nalika bebrayan binuka awit dumadining reformasi, sikep lan tindak tanduk pindha ngasta keris ligan. Sarwa-sarwi kudu “transparan”, sabarang kalir sing kudu binuka ora kena ditutup-tutupi. Apa maneh yen gegayutan karo butuhe wong akeh, kupiya slinthutan kurang bejane dadi buron polisi, kejaksaan utawa KPK.


Panyurasa keris ligan tumrap bebrayan sing ngemot piwulang pengati-ati becik dadi lambarane tumindak. Akeh tuladha sing wis dumadi. Menteri dibui, gubernur dikunjara, bupati/walikota dadi pesakitan, anggota legislatif mlebu tahanan, pejabat negara kepeksa gelangan kecrek lan ora sithik wong sing maune diaji-aji pungkasane ora kajen.

Ki Sugeng Subagya Pamong Tamansiswa

Senin, 18 Januari 2010

ETIKA BERLALU LINTAS


Etika berlalu lintas masyarakat kita memprihatinkan. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari dua hal, ialah "pengabaian" terhadap keselamatan berkendara, dan (2) sopan santun berkendara yang jauh dari ideal. Sebagian besar hal itu dilakukan oleh remaja dan pemuda. Sebagian diantara mereka adalah anak-anak usia sekolah menengah. Oleh karena itu digagas Kurikulum Etika Berlalulintas untuk pembelajaran di Sekolah. Senin, 18 Januari 2010, penulis menjadi salah satu narasumber seminar "Penyusunan Naskah Akademik Model Kurikulum Etika Berlalulintas" di Taman Pintar Kota Yogyakarta. Tampil pula sebagai narasumber, KAPOLTABES Yogyakarta, Prof. Djemari Mardapi (Ketua BSNP), dll.

Senin, 04 Januari 2010

Khitan


Hari Senin Pahing, 4 Januari 2010, telah kutunaikan satu tugasku sebagai orangtua, mengkhitankan anakku : Pranatama Kesdihandaru di Juru Khitan Pak Darmo Kota Gede Yogyakarta. Mohon doa restu, semoga menjadi anak sholeh yang berbakti kepada Allah Swt. dan kedua orangtuanya. Kelek menjadi insan berguna bagi nusa, bangsa, negara dan masyarakat pada umumnya. Amin.

Rabu, 30 Desember 2009

Minggu, 27 Desember 2009

Pendidikan Ketamansiswaan

Sistem Among dan Sistem Pendidikan Nasional
Oleh : Ki Sugeng Subagya


Ki Hadjar Dewantara, peletak dasar-dasar sistem pendidikan nasional, mendirikan perguruan Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Perguruan Tamansiswa adalah perguruan nasional yang dibangun dalam kerangka mewujudkan sebuah sistem pendidikan nasional.

Sistem pendidikan nasional itulah yang disebut sebagai Sistem Among. Bagaimana implementasi Sistem Among dalam sistem pendidikan nasional kita dewasa ini ? Itulah salah satu masalah mendasar pendidikan nasional kita dewasa ini.

Konsepsi Sistem Among
Sistem Among adalah sistem yang menjadi dasar dan identitas pendidikan di Tamansiswa. Kehadirannya dimaksudkan sebagai perlawanan atas sistem pendidikan Barat yang dibawa oleh pemerintah kolonial yang tidak sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Pendidikan Barat didasari oleh regering, tucht and orde, atau perintah, hukuman dan ketertiban atau paksaan. Dalam praktinya, pendidikan yang demikian akan merusak kehidupan batin anak-anak. Budi pekertinya rusak karena hidup di bawah paksaan dan hukuman, yang seringkali tidak setimpal dengan kesalahan yang dilakukan. Jika kelak dewasa, anak-anak yang telah rusak batinnya tidak dapat bekerja tanpa diperintah dan dipaksa. Demikian penegasan Ki Hadjar Dewantara.

Sistem Among tidak memakai syarat paksaan. Tegasnya, bukan pendidikan dengan cara regering, tucht and orde yang menjadi dasarnya, melainkan orde and vrede, ialah tertib dan damai atau tata tentrem. Memaksa dalam pendidikan harus ditinggalkan, meskipun sekadar memimpin sejauh mungkin dihindari. Mencampuri kehidupan anak diperbolehkan ketika anak ternyata sudah berada di jalan yang salah. Dengan demikian kelangsungan kehidupan batin anak selalu terjaga. Meskipun demikian, kemerdekaan atas pilihan jalan yang ditempuh anak tidak dibiarkan sedemikian rupa sehingga nampak sebagai “nguja” atau membiar-liarkan. Pendidik tidak boleh “meleng” melakukan pengawasan.

Sebagai illustrasi dapat dikemukakan sebagai berikut. Ketika anak belajar memanjat pohon, tidak pada tempatnya dicegah. Kekhawatiran yang terungkap sebagai nanti jatuh, nanti sakit, nanti celaka, dan sebagainya, sesungguhnya adalah bentuk pelarangan dan paksaan. Cara yang demikian menyebabkan anak akan selalu merasa bersalah ketika akan belajar memanjat pohon. Akibatnya, sampai kapanpun anak tidak akan dapat memanjat. Biarkan anak-anak belajar memanjat sesuai dengan kehendaknya. Hanya ketika memanjat sudah sampai pada dahan atau ranting yang nyata-nyata membahayakan, baru peran pendidik dibutuhkan untuk memberikan alasan logis mengapa tidak boleh memanjat dahan atau ranting yang kecil.

Implementasi Dalam Pembelajaran
Dalam pembelajaran, Sistem Among dapat diimplementasikan sesuai dengan perkembangan alam dan zaman. Sesungguhnya pemberlakukan KTSP, dimana setiap satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulumnya sendiri dan setiap guru dapat mengembangkan silabus dan rencana pembelajarannya merupakan peluang untuk terimplementasikannya Sistem Among dalam pembelajaran.

Beberapa hal dapat dilakukan untuk itu. Misalnya, memberikan pelayanan pada kecenderungan anak agar tumbuh secara maksimal tanpa adanya perasaan takut dan tertekan. Mengutamakan personal aproach atau pendekatan individual dalam pembelajaran dengan memperhatikan kodratnya anak. Membuka peluang tumbuhnya inisiatif serta kemampuan anak untuk berbuat sesuatu. Apabila hendak “menghukum anak”, hendaknya dipikir masak-masak. Apakah hal itu akan menguntungkan anak atau sebaliknya ? Apakah dengan hukuman tidak berdampak menjauhkan hubungan antara guru dengan murid ? Apabila terpaksa harus menghukum, maka hendaknya tetap didasarkan pada rasa cinta dan dengan iktikad demi keselamatan anak itu sendiri. Hukuman bukan didasari oleh dendam atau untuk membuat jera (ngapokke), tetapi hukuman harus difahami untuk menunjukkan buahnya perbuatan. Hukuman adalah sebuah pembelajaran untuk konsekuen dan bertanggungjawab.

Untuk mengimplementasikan Sistem Among dalam pembelajaran, hendaknya diperhatikan substansinya. Hemat penulis, sedikitnya ada lima substansi dalam Sistem Among, ialah (1) sistem among adalah perwujudan dari sikap laku yang dijiwai oleh azas kekeluargaan, kemerdekaan dan pengabdian dengan mengingat kodrat iradatnya anak didik. (2) Sistem among membangkitkan jiwa merdeka dan rasa tanggungjawab dengan menjalin hubungan batin antara pendidik dan peserta didik atas dasar saling menghargai. (3) Sistem among menumbuhkan dan membuka kesempatan bagi peserta didik dan pendidik untuk berkreasi dan berprestasi dalamrangka memayu hayuning salira, memayu hayuning bangsa dan memayu hayuning manungsa. (4) Sistem among menciptakan suasana gembira dalam belajar dan bekerja, sehingga pembelajaran menjadi menarik bagi peserta didik dan pendidik. (5) Sistem among merupakan kebulatan sikap dan perilaku yang tercermin dari tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing ngarsa sung tuladha.

Dengan demikian, Sistem Among berpijak pada dua dasar, ialah kemerdekaan dan kodrat alam. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak sehingga dapat hidup merdeka, mandiri dan makarya. Sedangkan kodrat alam sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya menurut hukum evolusi.

Kini, ada hal yang sungguh memprihatinkan. Pendidikan nasional kita telah mulai berpaling dari Sistem Among. Perintah dan paksaan sebagai cara pendidikan yang ditentang oleh Sistem Among, di banyak satuan pendidikan malah ditumbuh suburkan. Ketimpangan sasaran pendidikan yang cenderung intelektualistis yang ditolak oleh Sistem Among, kini kokoh dengan angkuhnya membinasakan aspek pengembangan rasa dan karsa peserta didik. Kemandirian untuk berkarya bagi peserta didik telah terabaikan oleh selembar ijazah formal. Akibatnya, tamat sekolah, peserta didik tak mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya, apalagi orang lain, kecuali “klonthang-klanthung” menenteng map mencari pekerjaan untuk menjadi buruh pada orang lain.

Senyampang masih ada kesempatan, kembalikan roh sistem pendidikan nasional kita kepada dasar-dasarnya dengan sungguh-sungguh mengimplementasi Sistem Among. Dengan demikian pendidikan nasional kita pada saatnya benar-benar berakar kuat dari konsepsi yang digali dari kekayaan bangsa sendiri.

Kritik Presiden
Pada waktu membuka temu nasional atau ”National Summit” 2009 di Jakarta akhir Oktober lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan agar metode pembelajaran diubah untuk mendorong siswa berinovasi dan mengembangkan kreatifitas. Metodologi pembelajaran siswa di Indonesia rupanya menjadi perhatian kepala negara. Presiden mengkritik metode pendidikan nasional yang tidak mendorong siswa mengembangkan inovasi dan kreatifitas sehingga sulit memunculkan para wirausaha maju.

"Saya ingatkan Mendiknas, coba sejak TK, SD, SMP, SMA itu metodologinya jangan guru aktif siswa pasif, dan hanya sekadar mengejar ujian, rapor. Kalau itu yang dipilih maka anak-anak bersekolah tidak berkembang kreativitasnya, inovasi dan jiwa wirausahanya," Jiwa wirausaha penting harus dipupuk sejak kecil sehingga pendidikan nasional tidak hanya melahirkan para pencari kerja tetapi pencipta lapangan kerja.


Hemat saya, untuk merespon kritik presiden itu, yang paling tepat adalah kita kembali kepada Sistem Among. Tugas kita, wong Tamansiswa, adalah menggali konsepsi dan kemudian mengimplementasikannya dalam pembelajaran sebagai sebuah sistem pendidikan nasional yang “namansiswani”. Semoga.


Dimuat Majalah SISWA, Desember 2009

Pendidikan Ketamansiswaan

GIGIH MENGAKTUALISASI KONSEPSI KI HADJAR DEWANTARA :
Ki Sarmidi Mangoensarkoro


Oleh : Ki SUGENG SUBAGYA

Gagasan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa mengusulkan Gelar Pahlawan Nasional bagi Ki Sarmidi Mangoensarkoro mendapat dukungan banyak pihak Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah menerbitkan rekomendasi atas usulan tersebut. Tentu usulan ini tidak dalam rangka memujadewakan seorang Sarmidi, tetapi lebih dari itu sebagai penghargaan atas pengabdian yang sepi pamrih rame ing gawe untuk tepa palupi bagi generasi penerusnya.

Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada seseorang warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Tindak kepahlawanan adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat.

Berjuang Sejak Belia
Sarmidi adalah anak Mangoensarkoro. Lahir di Surakarta tanggal 23 Mei 1904, wafat pada tanggal 8 Juni 1957 di Jakarta, dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Wijaya Brata Yogyakarta.

Meskipun anak seorang “ronggo” kepala desa, yang notabene dekat dengan kekuasaan, sikap dan kepribadiannya tetap nampak sederhana. Sikap memihak kepada rakyat dan kebangsaan ditempa terus menerus dalam kancah pergerakan dan perjuangan sejak muda belia. Usia kurang dari 20 tahun, sudah malang melintang dalam dunia pergerakan. Tak ayal, pada usia 22 tahun pada tahun 1926 ketika masih belajar di Sekolah Guru, sudah memimpin Jong Java Yogyakarta sebagai ketua. Setahun kemudian mendirikan “Pemuda Indonesia” Cabang Yogyakarta dan sekaligus menjadi anggota pengurus besar “Pemuda Indonesia”.

Dalam Kongres Pemuda II yang kemudian menghasilkan “Soempah Pemoeda”, Sarmidi menyampaikan pidato tentang Pendidikan Nasional. Terdapat tiga gagasan inti dalam pidatonya tersebut, ialah (1) anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, (2) harus ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, dan (3) anak juga harus dididik secara demokratis.

Dalam dunia pendidikan, kiprah Sarmidi dimulai dari menjadi Pengurus Besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Salah satu gagasannya yang kental dengan semangat kebangsaan ialah memelopori gerakan kepanduan yang bebas dari pengaruh penjajahan.

Sebelum Indoensia merdeka, kancah perjuangan pendidikannya diaktualisasikan melalui Perguruan Tamansiswa. Pada tahun 1932, selama 8 tahun, menjadi Ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, merangkap sebagai Pemimpin Umum Tamansiswa Jawa Barat. Salah satu andil besar yang sangat monumental bagi Tamansiswa adalah karyanya merumuskan “Panca Dharma” Tamansiswa dalam sebuah tim kecil. Saking besarnya peran Ki Sarmidi Mangoensarkoro, tim kecil ini diberi nama “Panitia Mangoensarkoro”. Panca Dharma Tamansiswa itulah yang sampai kini menjadi salah satu filosofi dasar Tamansiswa, di samping Azas Tamansiswa 1922.

Pada tahun 1949, Ki Sarmidi Mangoensarkono ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sebagai Menteri Pendidikan, Ki Sarmidi Mangoensarkoro membidani lahirnya Undang Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Seluruh Indonesia. Itulah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang pertama pasca proklamasi kemerdekaan.

Menurut catatan Departemen Pendidikan Nasional, jika hingga tahun 2009, Republik Indonesia telah mengalami 39 periode pergantian Menteri Pendidikan Nasional, maka 3 periode diantaranya dijabat oleh Ki Sarmidi Mangoensarkoro. Ialah periode ke 9, 11, dan 12 antara tahun 1949-1950. Dapat dibayangkan, betapa tidak nyamannya menjabat Menteri saat keadaan politik yang tidak stabil. Hanya mereka yang memiliki jiwa dan semangat pengabdian luar biasa kepada bangsa dan negaranya yang mampu melakukannya.

Dalam bidang politik, sosok Sarmidi sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan. Hal itu tampak dalam sikap M Natsir, tokoh Masyumi yang berseberangan dengannya. “... manakala Ki Sarmidi Mangunsarkoro, salah seorang pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), meninggal. Natsir melayat dan menangis. Tentu saja ini mengagetkan semua orang. Soalnya, PNI pernah berseberangan dengan Masyumi. Peristiwa penting ini diabadikan Abadi, majalah Masyumi. Majalah itu menulis berita utama dengan judul: ”Air Mata Natsir Mengalir di Rumah Mangunsarkoro”. (Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008).

Suri Tauladan
Sesungguhnya, sepenggal tulisan ini dipastikan tidak akan dapat menggambarkan sosok kepahlawanan Ki Sarmidi Mangoensarkoro secara utuh. Namun demikian keteladanan Ki Sarmidi Mangoensarkoro sebagai pejuang pengabdi masyarkat, bangsa, dan negara Indonesia tidak dapat disanggah. Ia adalah pejuang yang mengarungi berbagai lapangan kehidupan, baik politik, ekonomi, kebudayaan, kemasyarakatan, dan pendidikan. Seluruh hidupnya, sejak muda belia sampai wafatnya, diabdikan untuk keluhuran bangsanya.

Satu hal perlu dicatat bahwa, sikap konsisten dan konsekuennya terhadap pilihan hidup yang diyakininya, tidak mengendorkan kedekatannya dengan kepentingan rakyat. Demikianlah maka, jabatan dan kekuasaan difahaminya sebatas sarana untuk mengabdi, dan bukan tujuan pengabdiannya. “Dalam negara Pancasila, maka pendidikan harus berdasar Pancasila. Atas dasar falsafah Pancasila, maka di semua sekolah wajib memberikan pendidikan agama yang di dasarkan pada imbangan pertumbuhan anak”. Itulah sebagian pemikirannya yang tampaknya takkan lapuk karena zaman, selama Pancasila masih menjadi ideologi bangsa Indonesia.



Artikel dimuat Majalah SISWA, Nopember 2009