Laman

Rabu, 08 Juli 2009

Pendidikan Watak


Revitalisasi Pendidikan Watak
Oleh : Ki SUGENG SUBAGYA

Ketika terjadi fenomena kemerosotan moral, maka pendidikan adalah kambing hitamnya. Sebagian orang kemudian melirik kembali pentingnya pendidikan watak. Hal ini sangat menggembirakan. Setidaknya mulai ada kesadaran bahwa pendidikan watak merupakan hal yang penting.

Pendidikan dalam rangka pembentukan watak bertugas menumbuhkan dan membina watak bangsa. Kongkretnya, pendidikan harus mampu menanamkan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang bersangkutan.

Lingkup pendidikan formal di lingkungan sekolah hanya satu dari tiga pusat pendidikan yang sama pentingnya untuk terbangunnya watak bangsa. Oleh karena itu pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat harus pula dituntut tanggungjawabnya. Tidaklah cukup pendidikan watak hanya diserahkan ke sekolah, apalagi hanya berupa matapelajaran pendidikan budi pekerti.
Pendidikan watak dalamrangka penanaman nilai-nilai luhur untuk mengembangkan dan membina watak bangsa dapat dikategorikan sebagai penanaman nilai moralitas manusiawi (Paul Suparno,2001). Thomas E. Lickona (1991) dalam bukunya Educating for Character, menekankan pentingnya diperhatikan tiga unsur dalam menanamkan nilai moral supaya sungguh terjadi, yaitu unsur pengertian, perasaan, dan tindakan moral. Dalam konteks konsepsi Ki Hadjar Dewantara, yang demikian disebut sebagai ngerti, ngrasa, dan nglakoni, atau tri-nga. Ketiga unsur itu saling berkaitan. Ketiga unsur itu perlu diperhatikan, supaya nilai yang ditanamkan tidak tinggal sebagai pengetahuan saja tetapi sungguh menjadi tindakan seseorang.

Termasuk dalam unsur ngerti, diantaranya adalah konsepsi dan kesadaran, pengertian akan nilai, kemampuan untuk mengambil gagasan orang lain, rasionalitas (alasan mengapa harus melakukan hal itu), pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai, dan pengertian mendalam tentang dirinya sendiri. Segi pengertian ini cukup jelas dapat dikembangkan seperti dalam pembelajaran di kelas, sarasehan, seminar, diskusi kelompok, workshop, diklat, pembelajaran, dll. Dengan demikian orang sungguh mengerti apa yang akan dilakukan dan sadar akan apa yang dilakukan. Pendek kata, mana mungkin orang dapat melalukan sesuatu dengan baik tanpa dalam benaknya memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang akan dilakukannya itu.

Unsur ngrasa, meliputi suara hati (kesadaran akan yang baik dan tidak baik-yang benar dan yang tidak benar), harga diri seseorang, sikap empati terhadap orang lain, perasaan mencintai kebaikan, kontrol diri, dan rendah hati (bukan rendah diri). Perasaan sangat mempengaruhi seseorang untuk mudah atau sulit bertindak baik atau jahat dan benar atau salah. Dalam pendidikan watak, peserta didik dibantu untuk menyenangi ataupun mengiyakan, atau setidaknya menyetujui nilai yang mau dilakukannya. Orang dibantu untuk menjadi lebih tertarik akan nilai tersebut. Untuk itu orang harus dibantu pula untuk dapat merasakan bahwa nilai itu sungguh baik dan perlu dilakukan.

Nglakoni yang termasuk unsur tindakan, adalah kompetensi (kemampuan untuk mengaplikasikan keputusan dan perasaan ke tindakan kongkret), kemauan, dan kebiasaan. Tanpa kemauan yang kuat, meski orang sudah tahu tentang tindakan baik yang harus dilakukan, ia tidak akan melakukannya. Hal ini juga membutuhkan pembiasaan. Apabila anak-anak sudah dibiasakan bertindak yang baik dan benar dalam hal-hal yang kecil, ia akan lebih mudah untuk melakukan tindakan yang baik dan benar dalam hal yang lebih besar.

Ketika pendidikan watak direkonstruksi untuk tercapainya hasil ngerti, ngrasa, dan nglakoni itulah maka pembenahan proses juga perlu dilakukan. Ki Hadjar Dewantara telah mewariskan hakekat proses pendidikan sebagai niteni, nirokke, dan nambahi untuk menjadi panduan kita. Oleh karena itu, dalam kerangka niteni (mengamati dengan jeli), nirokke (menirukan), dan nambahi (menambah dalam rangka inovasi), diperlukan model atau figur teladan.

Dalam lingkungan in-formal, pendidikan keluarga membutuhkan figur teladan dari orangtua dan orang-orang dewasa lain dalam keluarga sebagai panutan. Dalam lingkungan non-formal, pendidikan dalam masyarakat membutuhkan figur teladan dari para tokoh masyarakat yang dituakan dan teman sebaya sebagai panutan. Demikian pula dalam lingkungan formal, pendidikan di sekolah membutuhkan figur teladan guru dan pendidik lainnya sebagai panutan.

Dari uraian di atas, kata kuncinya untuk merekronstruksi pendidikan watak tidak dapat lepas dari keteladanan. Demikianlah Ki Hadjar Dewantara mengatakan ing ngarsa sung tuladha, di depan menjadi (tidak sekadar memberi) contoh. Menjadi contoh menuntut konsekuensi yang lebih berat daripada sekadar memberi contoh. Untuk dapat sekadar memberi contoh seseorang tidak perlu menjadi figur teladan, sebab figur teladan dapat diwakili oleh sosok lain. Dalam hal mendidik, praktik yang demikian dapat dipandang sebagai tidak konsekuen. Orang Jawa mengatakan, gajah diblangkoni, bisa kojah ora bisa nglakoni. Barangkali artinya, ngomong doang, mana praktiknya ?

Demikianlah pendidikan watak direvitalisasi. Bukan hanya tanggung jawab sekolah untuk menanamkan nilai-nilai luhur bangsa, lebih dari itu semua pemangku kepentingan pendidikan harus mengambil perannya masing-masing.

Ki Sugeng Subagya,
Wakil Ketua Majelis Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta

Artikel ini dimuat Harian KOMPAS 16 Mei 2009

Pendidikan Nasional Indonesia


Berpaling kepada Pendidikan Nasional

Ki Sugeng Subagya

Ajakan Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutan upacara hari pendidikan nasional tahun 2009 patut diapresiasi. Hendaknya bangsa Indonesia senantiasa meneladani perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara telah meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi pendidikan nasional yang sesuai dengan watak, kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Sedikitnya ada tiga hal penting mengenai dasar-dasar pendidikan nasional, ialah (1) pendidikan jiwa merdeka, (2) pemerataan pendidikan, dan (3) cara pendidikan among.

Disadari benar, perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia tidak segera terwujud oleh karena tidak adanya “jiwa merdeka” pada setiap diri anak bangsa Indonesia. Agar jiwa merdeka itu berkembang, maka harus ditanam pula jiwa nasional. Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup akan berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan.Menanamkan jiwa merdeka dan jiwa nasional seharusnya dimulai sejak kanak-kanak. Syaratnya pendidikan harus memerdekakan dan menuntun terbentuknya semangat nasionalisme. Demikianlah, maka dengan tegas Ki Hadjar Dewantara menamakan perguruan yang didirikannya sebagai Perguruan Nasional Tamansiswa.

Pada masa penjajahan, pendidikan bagi rakyat sangat tidak cukup. Bukan hanya tidak ada kesempatan seluas-luasnya bagi bangsa Indonesia untuk mengenyam pendidikan, tetapi pengajaran yang diberikan sangat tidak sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia. Bahkan pendidikan kolonial telah meracuni jiwa anak-anak Indonesia dengan ditanamkan jiwa budak pengabdi kepentingan kolonial. Sesungguhnya, memeratakan pendidikan jauh lebih penting dari sekadar meninggikannya hanya untuk segelintir orang.

Cara pendidikan among maknanya tergambar dalam ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tutwuri handayani. Cara among merupakan bimbingan (handayani) yang bebas dari paksaan dan ancaman (tutwuri), agar “Sang Anak” menentukan sendiri jalannya yang berguna (utilitas), yang benar (logika), yang baik dan susila (etika), dan yang bagus dan indah (estetika). Cara among bukan berarti pembiarliaran ataupun pemanjaan, tetapi suatu bimbingan yang aktif-kreatif yang didasari oleh pengabdian dan cinta kasih sayang yang jauh dari pamrih.

Kemajuan Pendidikan Nasional
Harus diakui, banyak kemajuan telah dicapai dalam pembangunan pendidikan nasional. Namun untuk mewujudkan pendidikan nasional sebagaimana dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Ki Hadjar Dewantara masih memerlukan kerja keras.

Dalam hal menanamkan jiwa merdeka dan membangun nasionalisme, perlu langkah-langkah terobosan strategis. Tidak dapat dipungkiri bahwa era global dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sedikit banyak menghambat penanaman jiwa merdeka. Ketergantungan bangsa Indonesia kepada bangsa lain dalam banyak aspek kehidupan adalah indikatornya. Bahkan orientasi pendidikan nasional kita saat ini sesungguhnya telah berpaling dari dasar dan sendi-sendi pendidikan nasional. Sekolah bertaraf internasional yang dikembangkan seharusnya berpangkal dari penguatan nasionalisme, bukan mengadopsi sistem pendidikan asing untuk diterapkan dalam sistem pendidikan nasional kita.

Pemerataan pendidikan masih menyisakan persoalan tinggginya penyandang buta aksara yang mencapai angka lebih dari 10 %. Kurangnya perhatian pemerintah atas pelayanan dan fasilitasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Berkembangnya sekolah-sekolah ekslusif yang hanya mau menerima siswa dari golongan tertentu saja dan tidak terakomodasinya anak-anak cerdas dari golongan miskin pada sekolah-sekolah bermutu baik, adalah persoalan lain yang perlu segera ditangani.

Meskipun logo Departemen Pendidikan Nasional mencantumkan slogan tutwuri handayani di dalamnya, tetapi makna tutwuri handayani sebagai pendidikan cara among tidak pernah terimplementasikan. Maraknya kekerasan dalam pendidikan, penistaan terhadap guru dan siswa, kecurangan dalam pendidikan, komersialisasi sekolah, dan lain sebagainya, adalah bukti bahwa tugas pendidikan membimbing tumbuh kembangnya “Sang Anak” yang didasari oleh pengabdian dan cinta kasih sayang yang jauh dari pamrih tidak dilakukan. Jangankan anak-anak mampu belajar hidup yang sesungguhnya dari lingkungan sekolah, tetapi dari sekolah ada kalanya anak-anak justeru belajar mengingkari kehidupan bermasyarakat.

Akhirnya, adalah momentum yang tepat apabila pringatan hari pendidikan nasional 2009 ini kita berpaling kembali kepada dasar-dasar dan sendi-sendi pendidikan nasional yang sudah dipancang oleh Ki Hadjar Dewanatara. Kemajuan pendidikan nasional dalam rangka peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan adalah penting, tetapi tidak kalah pentingnya kita harus membangun pendidikan nasional bermutu yang berbasis kepribadian dan kebutuhan bangsa sendiri.-


Ki Sugeng Subagya : Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.

Artikel ini dimuat SKH Kedaulatan Rakyat 5 Mei 2009

Rabu, 15 April 2009

Pemilu

Menyikapi Hasil Pemilu Tanpa Gangguan Jiwa

Ki Sugeng Subagya

SETELAH pelaksanaan Pemilu, diperkirakan banyak orang terkena gangguan jiwa. Kegagalan mendapatkan suara yang signifikan sehingga tidak dapat menghantarkan para kandidat menjadi anggota legislatif adalah penyebabnya.

Gangguan jiwa seperti yang diperkirakan, dapat menimpa kepada siapapun. Secara psikologis setiap manusia memiliki potensi untuk terkena gangguan jiwa. Potensi itu teraktualisasi atau tidak sangat tergantung pada stabilitas kejiwaan seseorang. Banyak hal dapat mempengaruhi stabilitas kejiwaan. Salah satu diantaranya yang jarang dibicarakan adalah pengaruh faktor internalisasi nilai-nilai kearifan budaya.

Menang atau kalah dalam kompetisi dan pertarungan adalah hal biasa. Menerima kekalahan tentu menyakitkan. Sebaliknya, merengkuh kemenangan pasti membanggakan. Persoalannya, ketika kekalahan yang menyakitkan itu dikompensasikan kepada “ora trima” maka banyak hal kemudian dapat terjadi. Gangguan jiwa ringan, misalnya stres dan deperesi atau gangguan jiwa berat seperti gila, pada gilirannya dapat memicu orang bertindak di luar kesadarannya. Dari sekadar melamun dengan pikiran kosong, sampai “ngamuk” bahkan bunuh diri.

Kebanggaan memenangkan pertarungan, bukan berarti dapat lolos dari gangguan jiwa. Jika kebanggaan itu disikapi dengan berlebih-lebihan, bukan tidak mungkin dapat menjadikan orang lupa diri. Pendek kata, bagi yang menang ataupun yang kalah, jika menyikapi kemenangan dan kekakalahannya secara berlebih-lebihan pasti buruk akibatnya.

Sebagai kenyataan hidup, kemenangan dan kekalahan hendaknya dihadapi secara aanvarding. Hal yang demikian ini oleh Sosro Kartono dirumuskan sebagai nrimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langgeng tan ana bungah tan ana susah, dan anteng mantheng sugeng jeneng.

Nrimah mawi pasrah tidak berarti nglokro, menerima keadaan secara pasif dan menyerah karena merasa tidak berdaya, melainkan legawa menyerahkan hasil akhir pada kehendak Tuhan. Karena itu sikap yang ditunjukkan adalah menerima kebenaran dengan sabar dan toleran, dan bersedia menerima kebenaran itu jika ia dapat meyakini kebenarannya.

Menyikapi kenyataan hidup sebagaimana adanya adalah dasar bersikap kritis dan obyektif. Sikap yang demikian dibangun bebas dari pengaruh keterikatan terhadap barang atau orang, situasi dan kondisi, bebas dari keinginan memiliki (suwung pamrih tebih ajrih. Tetap tangguh, konsisten dan terpercaya (langgeng) dalam keadaan apapun (tan ana bungah tan ana susah). Tenteram damai (anteng) penuh kegembiaraan dan kegairahan hidup (mantheng) untuk kesejahteraan dan kebahagiaan didi, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia serta tertib damainya seluruh alam semesta dan isinya (sugeng jeneng).

Menerima kemenangan dan kekalahan secara legawa adalah bagian dari tanggungjawab. Tanggungjawab dibentuk melalui kedewasaan mental. Untuk mencegah, menangggung, dan mengatasi penderitaan diperlukan kedewasaan mental. Ciri orang yang bermental dewasa ialah sanggup memimpin dirinya sendiri secara bertanggungjawab dan menghadapi kenyataan hidup secara otonom. Kekagalan bukanlah kesalahan yang harus ditimpakan kepada orang lain, melainkan tanggungjawab otonom pada dirinya sendiri. Dengan demikian yang harus difahami adalah, tidak ada kegagalan yang terus menerus dan tak ada sukses terus menerus. Hal ini yang oleh Ki Ageng Suryomentaram disebut sebagai mulur mungkret tan ana bungah tan ana susah.

Ketika berjuang untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, pedoman yang perlu dihayati adalah wejangan Sosrokartono dalam Drs R.M.P. Sosrokartono Sebuah Biografi karangan Solichin Salam, Yayasan Sosrokartono, Jakarta, 1994, “sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, gglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kira-kira “kaya tanpa harta, sakti tanpa azimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan.

Kaya tanpa harta dapat diwujudkan ketika kita dapat memberi apa yang dapat kita berikan secara ikhlas tanpa parih. Sedangkan sakti tanpa azimat dapat diwujudkan ketika merasa berharga dan termormat tanpa harus memiliki kedudukan sosial dan kekuasaan. Kehormatan akan diperoleh seseorang tanpa kekuasaan apabila bersikap dan bertindak susila, jujur, konsisten dan konsukuen.

Dengan membina kepercayaan pada diri sendiri, keteguhan iman dan kemampuan untuk setia kepada apa yang adil dan benar, akan mengantarkan seseorang merasa mampu memperjuangkan cita-citanya meski tanpa bantuan orang lain. Demikianlah makna menyerbu tanpa pasukan. Sedangkan kemampuan untuk merasa bahagia sejahtera dalam situasi dan kondisi apapun dengan tidak membiarkan dirinya dikuasai dan menguasai adalah makna dari menang tanpa mengalahkan.

Akhirnya, untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan perlu dilandasi ajaran enem sa dari Ki Ageng Suryomentaram, ialah sacukupe, saperlune, sabutuhe, sakepenake, sabenere dan samesthine. Ambilah secukupnya untuk memenuhi kebutuhan kita, dengan tidak melampaui batas kemampuan fisik dan mental kita. Tidaklah sukar mencukupi kebutuhan secara wajar dengan cara halal dan legal, tanpa harus mengorbankan harga diri dan memaksakan diri. Smoga.-


Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.


Artikel ini dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Selasa 14 April 2009







Sabtu, 04 April 2009


SBI Seharusnya Tidak Ekslusif
Ki Sugeng Subagya

UU No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3) berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional “. Amanat penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan daya saing dan mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan.

Respon para penyelenggara pendidikan, baik pemerintah maupun masyarakat, merealisasi SBI sangat positif. Pada tahun 2007 rintisan SBI jenjang SMP sebanyak 100 sekolah negeri dan dua sekolah swasta pada 26 provinsi dan 94 kabupaten/kota se Indonesia. Sedangkan pada tahun 2008 jumlahnya berkembang hampir dua kali lipatnya. Sementara itu, untuk SMA telah dirintis lebih dari 200 sekolah baik negeri maupun swasta pada tahun 2008. Demikian pula respon masyarakat memanfaatkan SBI juga sangat besar. Pada tahun 2009 ini diperkirakan semakin banyak sekolah mengajukan diri menyelenggarakan program SBI.

Model dan Kriteria
Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan SBI, terdapat dua model penyelenggaraan rintisan SBI, ialah (1) rintisan SBI yang dibina oleh pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, dan (2) rintisan SBI yang dibina langsung oleh pemerintah daerah tanpa pembinaan pemerintah pusat atau disebut dengan rintisan SBI mandiri.

Substansi SBI adalah sekolah yang telah memenuhi indikator kinerja kunci minimal dan kinerja kunci tambahan. Ialah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan plus ciri-ciri keinternasionalan.

Siswa SBI adalah mereka yang dianggap sebagai bibit-bibit unggul yang telah diseleksi ketat dan yang akan diperlakukan secara khusus. Jumlah siswa dalam satu rombongan belajar dibatasi antara 24-30 orang. Kegiatan belajar mengajar menggunakan bilingual. Pada tahun pertama bahasa pengantar yang digunakan 25 persen bahasa Inggris dan 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia.

Siswa diprioritaskan untuk belajar ilmu eksakta dan teknologi informasi. Oleh karena itu siswa kelas khusus ini diberi fasilitas belajar tambahan berupa komputer dengan sambungan internet. Kurikulum ‘berstandar internasional’ diformulakan sebagai SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan sedangkan X adalah penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional umpamanya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO.

Pendanaan
Menyelenggarakan SBI dengan kualifikasi seperti itu tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam taraf rintisan saja pemerintah pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun untuk setiap sekolah. Padahal pola pendanaan SBI menurut perbandingan 5:3:2. Artinya, pemerintah pusat menanggung 50%, pemerintah provinsi 30% dan pemerintah kabupaten/kota 20%. Jika 300 juta rupiah diasumsikan sebagai 50% dana rintisan SBI yang merupakan kewajiban pemerintah pusat, maka setiap sekolah sedikitnya membutuhkan dana 600 juta rupiah untuk menyelenggarakan rintisan SBI.

Dengan alasan keterbatasan dana, akhirnya pemerintah memutuskan setiap kabupaten/kota hanya menyelenggarakan satu sekolah rintisan SBI model yang dibina langsung pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupetan/kota. Jika pemerintah daerah menghendaki menyelenggarakan rintisan SBI lebih dari satu sekolah setiap kabupaten/kota maka termasuk dalam model yang tidak dibina langsung oleh pemerintah pusat atau dalam kategori mandiri.

Berapa dana yang harus dikeluarkan oleh orang tua yang ‘ngebet’ dengan rintisan SBI mandiri ? Yang jelas orang tua harus merogoh koceknya dalam-dalam. Hanya orang tua yang berkemampuan ekonomi tinggi saja yang bisa memasukkan anaknya dalam program rintisan SBI. Sayang, keadaan yang demikian dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk menangguk untung. Dengan dalih menyelenggarakan rintisan SBI dikeruknya dana masyarakat. Tak ayal SBI menjadi ekslusif.

Rintisan SBI mandiri adalah program prestisius dengan biaya tinggi. Muncullah olok-olok sementara orang, SBI adalah sekolah bertarif internasional. Akibatnya, kesempatan warga negara kurang mampu mengakses pendidikan bermutu sangat terbatas. Tanpa modal finansial cukup, mustahil dapat mengenyam pendidikan bertaraf internasional itu. Perlu pemikiran pemanfaatan anggaran pendidikan yang 20 % APBN untuk memfasilitasi mereka yang berkemampuan akademik tinggi, namun kemampuan ekonominya rendah. Dengan demikian SBI dapat diakses oleh siapapun dan tidak ekslusif. Semoga.-

Penulis adalah Pamong Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan.

Keterangan : Artikel ini dimuat Harian Umum PELITA pada hari Rabu, 28 Maret 2009.

Senin, 23 Maret 2009

Supersemar

Memetik Hikmah Supersemar
Oleh : Ki SUGENG SUBAGYA

SETIAP sekitar tanggal 11 Maret, perhatian masyarakat tertuju pada pemenuhan rasa ingin tahu tentang keberadaan dokumen asli supersemar. Fakta sejarah menunjukkan, pada 11 Maret 1966 telah terjadi pergantian kekuasaan Republik Indonesia dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto. Peristiwa itu ditandai dengan terbitnya surat perintah sebelas maret (sepersemar). Hingga kini dokumen asli supersemar tidak diketahui keberadaannya. Implikasinya, keberanan isi supersemar dipertanyakan.

Ketidakjelasan atas keberadaan dokumen asli, menyebabkan banyak versi tentang supersemar. Bagi sebagian masyarakat, supersemar adalah perintah dari presiden Soekarno sebagai pemimpin tertinggi revolusi kepada Menteri Panglima Angkatan Darat, Soeharto, untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu guna stabilisasi situasi sosial politik saat itu. Hal ini didorong oleh carut-marut kondisi sosial politik pasca pemberontakan G30S/PKI.

Bagi sebagian masyarakat yang lainnya menganggap bahwa supersemar adalah rekaan belaka. Seolah-olah dengan dalih supersemar telah terjadi kudeta secara halus. Soeharto telah melakukan kudeta yang terencana sistematis kepada pemerintahan Soekarno.

Pro dan kontra tentang supersemar berlanjut. Hampir setengah abad, masyarakat digiring masuk dalam dua kelompok persepsi yang berbeda. Keadaannya seperti dihadap-hadapkan, bahkan cenderung dibiarkan saling berhadapan. Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin pada saatnya dapat menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa. Jika hal ini terjadi, bangsa ini sangat dirugikan. Yang diuntungkan justeru mereka yang tidak menginginkan bangsa ini tetap utuh bersatu.

Sesungguhnya, dalam konteks kekinian, mempersoalkan supersemar sebagai fakta sejarah dan strategi politik bagai berebut pepesan kosong. Rebut balung tanpa isi, demikianlah orang Jawa menyebutnya. Seandainya dokumen asli supersemar ditemukan dan ternyata membuktikan memang benar ada peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto secara tragis, apa yang akan dapat kita perbuat ? Seandainya pula Soeharto sebagai pengemban supersemar telah melakukan penyimpangan atas kewenangan yang diberikan oleh presiden Sukarno, mau apa kita ? Meskipun kemudian dikalukan pengadilan politik, tetapi karena hampir semua pelakunya sudah meninggal dunia, maka yang demikianpun menjadi mustahil.

Barangkali, bagi generasi sekarang, yang paling bermanfaat jika dokumen asli supersemar ditemukan tidak lebih sebatas pelurusan sejarah. Inilah yang paling penting untuk pembelajaran kita sebagai bangsa. Sebagai peristiwa sejarah, supersemar tidak terbantahkan. Jika kemudian terjadi tarik ulur beda pendapat, tentu bukan peristiwa sejarahnya yang harus dipersoalkan. Supersemar sebagai perbincangan strategi politik adalah masa lalu yang sudah menjadi catatan sejarah. Tugas para sejarawanlah sekarang ini untuk menemukan dokumen asli supersemar, bukan untuk dipersoalkan, tetapi sebagai fakta sejarah sekaligus pelurusan sejarah.

Bagi sebagian besar masyarakat awam, jika dokumen asli supersemar ditemukan, sebenarnya tidak lebih hanya akan menjawab perasaan ingin tahu. Setidaknya perasaan penasaran mereka akan terjawab. Bahkan mungkin ada yang sekadar ingin mendengar jawaban atas pertanyaan misterius dari waktu ke waktu tentang keberadaan dokumen supersemar. Yang demikian ini dapat dipastikan jauh dari implikasi politik, hukum bahkan akademis.
Masih ada hikmah yang dapat dipetik dari supersemar. Dalam kacamata pendidikan, inilah pentingnya kita belajar sejarah. Tidak mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya, apa lagi lebih dari dua kali, adalah ciri orang terdidik yang cerdas dan bijak. Meneruskan cita-cita luhur bangsa adalah kewajiban setiap warga bangsa. Tiadalah berguna selalu mengungkit luka lama, salah-salah malah menjadi pemicu pertikaian. Giringlah persepsi bangsa ini bukan dalam suasana perbedaan untuk dipertentangkan, tetapi dari persepsi yang berbeda itu dijalin kerjasama untuk mengarah pada tujuan tertinggi yang sama.

Secara teknis, harus disadari betapa pentingnya arti sebuah dokumen. Dokumen, harus dikelola dengan baik karena memiliki peranan penting bagi kehidupan. Dokumen yang dikelola dengan baik akan bermanfaat bagi generasi mendatang. Segala aktivitas yang dilakukan suatu generasi harus dipertanggungjawabkan kepada generasi berikutnya. Pertanggungjawaban itulah perlunya sebuah dokumen. Bukankah generasi berikutnya adalah penerus estafet perjuangan membangun bangsa agar menjadi lebih baik ? Semoga.-

Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan

JAIPONGAN



Jaipongan sebagai Puncak Kebudayaan Jawa Barat
Ki Sugeng Subagya


Meskipun tari jaipongan termasuk dalam kategori tari kreasi baru, tetapi karena digubah merujuk pada tari tradisi yang sudah ada sebelumnya, maka nuansanya sangat kental dengan pakem tari yang baku.


Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Gubernur Jawa Barat menyampaikan himbauan lisan agar penari jaipongan untuk tidak memakai baju lekbong (baju di atas batas ketiak ke atas) dan mengurangi unsur 3G (goyang, gitek dan geol). Alasannya sederhana, banyak orang yang terganggu melihat penari 'memamerkan' ketiak sambil bergoyang dan cenderung erotis demonstratif yang dapat memicu syahwat. Himbauan itu mendapat respon beragam. Bagi kalangan seniman dan budayawan dianggap sebagai hal yang mengada-ada.
Secara historis, jaipongan adalah sebuah genre tari yang lahir dari olah seni seorang Gugum Gumbira sekitar tahun 80-an. Apresiasi dan pemahaman Sang Maestro terhadap tari tradisi Ketuk Tilu, Kliningan, Bajidoran, Doger, dan Tayub sangat kental mewarnai jaipongan. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak tari tradisi lainnya mengukuhkan pakem jaipongan di kelak kemudian hari.


Keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan dalam arti alami dan apa adanya, adalah ciri khas jaipongan. Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (ibing pola) seperti pada seni jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (ibing saka), misalnya pada seni jaipongan di Subang dan Karawang. Ciri khas inilah yang tergambar dalam gerak tari yang dikenal sebagai three G, ialah gitek, goyang dan geol. Sebagian seniman tari berpendapat bahwa three G adalah ruh jaipongan. Sulit di bayangkan jaipongan tanpa gitek, goyang dan geol.


Sebagai bagian dari pakem sebuah tarian, karakter tari tidak mudah diubah begitu saja. Terlebih ekspresi tari itu tidak mungkin keluar karena pengekangan. Bagaimanapun karakter “gagahan” tidak mungkin diperhalus. Demikian halnya karakter “gecul” ditampilkan dengan “sereng” adalah mustahil.


Jika kemudian three G dan kostum baju lekbong dikategorikan sebagai pengumbar syahwat, tentu hal itu tidak beralasan. Taruhlah tari bedaya di Jawa Tengah dan Yogyakarta sebagai pembanding. Dengan gerakan yang cenderung lamban dan kostum menggunakan kemben, disitulah justeru karya budaya adiluhung terpancar. Meski memakai kemben, bukan berarti sang penari mengumbar syahwat. Faktanya, belum pernah terjadi penikmat tari bedaya terpicu syahwatnya.


Setiap gerak tari sejatinya merupakan perwujudan atau ungkapan filosofis keadaan masyarakat dan gagasan pencipta tarinya. Mengutip Mas Manu Muda, seniman tari Jawa Barat, bahwa setiap gerak tari jaipongan punya makna tertentu. Masyarakat Jawa Barat yang agraris kesehariannya bergelut dengan menanam dan memetik. Keseharian itulah yang digambarkan dalam gerakan tari jaipongan. Kalau iramanya lambat itu perlambang kesabaran. Sedangkan gerakan cepat bermakna wujud rasa syukur. Goyang jaipongan merupakan lambang kesuburan. Jika kemudian gerakan khas jaipongan dibatasi, sama saja membatasi bentuk sabar dan syukur yang tertuang dalam sebuah tari. Padahal budaya tersebut sudah sejak ratusan tahun melekat di masyarakat Jawa Barat.


Memang memaknai karya seni budaya tidak cukup hanya “wantah”, tetapi menggali filosofinya akan mengantarkan kita lebih bijaksana.
Perlu dicatat, kehadiran jaipongan telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat. Dengan munculnya tari jaipongan dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari jaipongan. Maka tidak mengherankan pada saatnya tari jaipongan berkembang pesat hampir keseluruh Nusantara. Hal ini mampu mengangkat pamor Jawa Barat ke pentas nasional bahkan internasional dengan ikon jaipongannya. Tidak sedikit sanggar-sanggar tari di luar Jawa Barat yang kemudian menyelenggarakan pelatihan tari jaipongan. Tidak kurang sanggar tari sekaliber Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo di Yogyakarta sekalipun, mengembangkan tari jaipongan ini.


Merujuk teori sari-sari dan puncak-puncak kebudayaan Ki Hadjar Dewantara, bahwa sari-sari dan puncak-puncak kebudayaan daerah itulah kebudayaan nasional kita. Sesungguhnya tari jaipongan adalah salah satu sari dan puncak kebudayaan Jawa Barat yang tidak kecil kontribusinya terhadap terwujudnya kebudayaan nasional Indonesia. Semoga.-


Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan tinggal di Yogyakarta.

Kamis, 12 Maret 2009

Titikbalik Keguruan dan Pengembangan Kurikulum

Titikbalik Keguruan dan Pengembangan Kurikulum
Ki Sugeng Subagya

TEORI pendidikan sistematis memasukkan guru dalam instrumental in-put. Sebagai instrumen pendidikan, urgensinya tidak lebih penting dari instrumental in-put yang lainnya, seperti kurikulum, dan alat pendidikan. Pada hal dalam penelitian Beeby (1969), kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru.

Salah satu akibat kebijakan yang menganggap guru sebagai instrumen yang tidak lebih penting dari instrumen pendidikan lainnya dapat dilihat dari rendahnya kualitas guru di Indonesia. Rendahnya kualitas guru adalah akibat tak terelakkan dari penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Ketidaksesuaian guru dalam kualifikasi akademik dan kompetensi dalam mengampu matapelajaran adalah buktinya. Menurut Ki Hadjar Dewantara guru yang demikian ini sesungguhnya tidak memiliki kemampuan (bevoegdheid) dan kewenangan (bekwaamheid)

Data Depdiknas menunjukkan lebih sepertiga dari 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar karena mismatch, ialah kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar. Lebih rinci disebutkan bahwa saat ini guru yang tidak layak mengajar mencapai 912.505 orang. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Tentu data tersebut belum termasuk guru TK dan PAUD. Angka tersebut memberikan petunjuk betapa rendahnya kualitas guru di negeri ini.

Terbitnya Undang Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen dapat dinyatakan sebagai titikbalik keguruan di Indonesia. Memasuki tahun ketiga sejak diundangkan, nampaknya implementasi undang-undang tersebut masih dalam masa transisi membenahi kualitas guru kita. Hal ini menunjukkan kronisnya masalah kualitas guru di Indonesia.

Implikasi ketentuan pasal 9, dimana guru harus memenuhi kualifikasi akademik pendidikan program sarjana (S1) atau diploma empat (D4), tidak mememandang apakah ia seorang guru TK, SD, SMP ataupun SMA/K, bagai buah simalakama.

Dalam jangka pendek, penerapan ketentuan ini dipastikan meningkatkan jumlah guru mismatch dari sisi kualifikasi akademik. Persentase guru TK, SD dan SMP yang tidak berpendidikan S1 atau D4 cukup tinggi. Rata-rata guru TK dan SD masih berpendidikan SGA, KPG, SPG, D1, dan D2. Tidak sedikit pula guru SMP dan SMA/K yang berpendidikan PGSLP, PGSLA, sarjana muda dan D3. Akibat positifnya, tidak sedikit para guru kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan sarjananya.

Berubahnya kurikulum selalu diikuti oleh munculnya matapelajaran baru dan hilangnya mata pelajaran yang sudah ada. Ketika matapelajaran baru muncul sedangkan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) belum menyiapkan guru untuk matapelajaran dimaksud, maka dengan terpaksa sekolah memanfaatkan guru yang ada, termasuk di dalamnya memberi tugas kepada guru yang matapelajarannya hilang.

Selama ini orientasi pembenahan pendidikan nasional kita mengalami ketimpangan. Guru yang seharusnya menjadi titik sentral pembenahan sistem pendidikan nasional terabaikan. Kita “keasyikan” membenahi kurikulum dengan merubah kurikulum secara periodik. Akibatnya kualitas guru jalan di tempat, sedang perubahan kurikulum malah menambah persoalan baru.

Kebijakan pendidikan nasional nampaknya perlu mengacu pada grand design pendidikan nasional yang menyeluruh dan terpadu. Setidaknya, harus ada komitmen kuat tidak merubah kurikulum secara radikal, kecuali mengembangkannya. Hal ini sekaligus menepis pameo, setiap ganti pejabat ganti pula kurikulumnya.

Upaya peningkatan kualitas guru melalui sertifikasi harus terus dilanjutkan. Bersamaan dengan itu sistem sertifikasinya diperbaiki. Proses sertifikasi guru instan seperti sekarang ini hanya boleh dilakukan pada masa transisi. Kelak harus dibuat sistem yang lebih profesional agar mampu menghasilkan guru profesional pula. Pembenahan kualitas guru harus dibarengi dengan pembenahan sistem LPTK. Sejalan dengan itu LPTK harus didorong agar mampu menghasilkan guru yang matching dengan kebutuhan pembelajaran.

Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan


(Artikel ini dimuat pada Harian Umum PELITA edisi Selasa 10 Maret 2009).