Ki Sugeng Subagya
SETELAH pelaksanaan Pemilu, diperkirakan banyak orang terkena gangguan jiwa. Kegagalan mendapatkan suara yang signifikan sehingga tidak dapat menghantarkan para kandidat menjadi anggota legislatif adalah penyebabnya.
Gangguan jiwa seperti yang diperkirakan, dapat menimpa kepada siapapun. Secara psikologis setiap manusia memiliki potensi untuk terkena gangguan jiwa. Potensi itu teraktualisasi atau tidak sangat tergantung pada stabilitas kejiwaan seseorang. Banyak hal dapat mempengaruhi stabilitas kejiwaan. Salah satu diantaranya yang jarang dibicarakan adalah pengaruh faktor internalisasi nilai-nilai kearifan budaya.
Menang atau kalah dalam kompetisi dan pertarungan adalah hal biasa. Menerima kekalahan tentu menyakitkan. Sebaliknya, merengkuh kemenangan pasti membanggakan. Persoalannya, ketika kekalahan yang menyakitkan itu dikompensasikan kepada “ora trima” maka banyak hal kemudian dapat terjadi. Gangguan jiwa ringan, misalnya stres dan deperesi atau gangguan jiwa berat seperti gila, pada gilirannya dapat memicu orang bertindak di luar kesadarannya. Dari sekadar melamun dengan pikiran kosong, sampai “ngamuk” bahkan bunuh diri.
Kebanggaan memenangkan pertarungan, bukan berarti dapat lolos dari gangguan jiwa. Jika kebanggaan itu disikapi dengan berlebih-lebihan, bukan tidak mungkin dapat menjadikan orang lupa diri. Pendek kata, bagi yang menang ataupun yang kalah, jika menyikapi kemenangan dan kekakalahannya secara berlebih-lebihan pasti buruk akibatnya.
Sebagai kenyataan hidup, kemenangan dan kekalahan hendaknya dihadapi secara aanvarding. Hal yang demikian ini oleh Sosro Kartono dirumuskan sebagai nrimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langgeng tan ana bungah tan ana susah, dan anteng mantheng sugeng jeneng.
Nrimah mawi pasrah tidak berarti nglokro, menerima keadaan secara pasif dan menyerah karena merasa tidak berdaya, melainkan legawa menyerahkan hasil akhir pada kehendak Tuhan. Karena itu sikap yang ditunjukkan adalah menerima kebenaran dengan sabar dan toleran, dan bersedia menerima kebenaran itu jika ia dapat meyakini kebenarannya.
Menyikapi kenyataan hidup sebagaimana adanya adalah dasar bersikap kritis dan obyektif. Sikap yang demikian dibangun bebas dari pengaruh keterikatan terhadap barang atau orang, situasi dan kondisi, bebas dari keinginan memiliki (suwung pamrih tebih ajrih. Tetap tangguh, konsisten dan terpercaya (langgeng) dalam keadaan apapun (tan ana bungah tan ana susah). Tenteram damai (anteng) penuh kegembiaraan dan kegairahan hidup (mantheng) untuk kesejahteraan dan kebahagiaan didi, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia serta tertib damainya seluruh alam semesta dan isinya (sugeng jeneng).
Menerima kemenangan dan kekalahan secara legawa adalah bagian dari tanggungjawab. Tanggungjawab dibentuk melalui kedewasaan mental. Untuk mencegah, menangggung, dan mengatasi penderitaan diperlukan kedewasaan mental. Ciri orang yang bermental dewasa ialah sanggup memimpin dirinya sendiri secara bertanggungjawab dan menghadapi kenyataan hidup secara otonom. Kekagalan bukanlah kesalahan yang harus ditimpakan kepada orang lain, melainkan tanggungjawab otonom pada dirinya sendiri. Dengan demikian yang harus difahami adalah, tidak ada kegagalan yang terus menerus dan tak ada sukses terus menerus. Hal ini yang oleh Ki Ageng Suryomentaram disebut sebagai mulur mungkret tan ana bungah tan ana susah.
Ketika berjuang untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, pedoman yang perlu dihayati adalah wejangan Sosrokartono dalam Drs R.M.P. Sosrokartono Sebuah Biografi karangan Solichin Salam, Yayasan Sosrokartono, Jakarta, 1994, “sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, gglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kira-kira “kaya tanpa harta, sakti tanpa azimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan.
Kaya tanpa harta dapat diwujudkan ketika kita dapat memberi apa yang dapat kita berikan secara ikhlas tanpa parih. Sedangkan sakti tanpa azimat dapat diwujudkan ketika merasa berharga dan termormat tanpa harus memiliki kedudukan sosial dan kekuasaan. Kehormatan akan diperoleh seseorang tanpa kekuasaan apabila bersikap dan bertindak susila, jujur, konsisten dan konsukuen.
Dengan membina kepercayaan pada diri sendiri, keteguhan iman dan kemampuan untuk setia kepada apa yang adil dan benar, akan mengantarkan seseorang merasa mampu memperjuangkan cita-citanya meski tanpa bantuan orang lain. Demikianlah makna menyerbu tanpa pasukan. Sedangkan kemampuan untuk merasa bahagia sejahtera dalam situasi dan kondisi apapun dengan tidak membiarkan dirinya dikuasai dan menguasai adalah makna dari menang tanpa mengalahkan.
Akhirnya, untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan perlu dilandasi ajaran enem sa dari Ki Ageng Suryomentaram, ialah sacukupe, saperlune, sabutuhe, sakepenake, sabenere dan samesthine. Ambilah secukupnya untuk memenuhi kebutuhan kita, dengan tidak melampaui batas kemampuan fisik dan mental kita. Tidaklah sukar mencukupi kebutuhan secara wajar dengan cara halal dan legal, tanpa harus mengorbankan harga diri dan memaksakan diri. Smoga.-
Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.
Artikel ini dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Selasa 14 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar