Laman

Rabu, 20 Juni 2012

Macapatan :


Cakepan Sekar Pangkur :

“Ki Hadjar Dewantara”
Cakepan sekar pangkur rinipta dening : Ki Sugeng Subagya
Kangge Mengeti “Hari Pendidikan Nasional”



Sampun mratah diuninga,
Timuripun asma Den Mas Suwardi,
Suryaningrat ramanipun, 
Darah Pakualaman,
Sulih asma gangsal windu petangipun,
Pengetan saking binabar,
Miterat petangan jawi.

Binarung piniji karsa,  
Pratandha wus dumugi titi wanci,
Pinandhita satriya gung,
Mbengkas angkara murka,
Saranane nggulawenthah tanem tuwuh,
Tinanem jiwa merdika,
Rinabuk pitutur jati.

Jatine bangsa merdika ,
Lepas pangreh durung cukup negesi,
Kuwat kwasa dadi sangu,
Mandhireng samubarang,
Tan gumantung liyan ndrayan cekel butuh,
Ngrakit saranane mobah,
Pandonga sarana mosik.

Ing ngarsa asung tuladha,
Mangun karsa yen ing madya ngepasi,
Tut wuri salajengipun,
Handayani sumagah,
Ugerane para dwija among sunu,
Uga pangemban praja,
Tan kantun satriya nagri.
  

Sinerat  ing  Museum Dewantara Kirti Griya Ngayogyakarta, 26 April 2011.

·         Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa ing Ngayogyakarta. 

Macapatan :


Cakepan Sekar Pangkur :

 Ngudi Ngelmu
Dening : Ki Sugeng Subagya

Angudiya kepinteran,
Mula angel mbaka sithik sethithik,
Jarwane kangelan iku,
Dalan gampang wekasan,
Sampun pinter datan bisa binanjut,
Ilange barengan sukma, 
Sukma ilang taksih aji,

Ngudi marang kepinteran,
Kudu sabar tawakal tekun tuwin,
Temen sumaguh mituhu,
Sangu bandha ramingsra,
Gedhe karsa pancatan wuru ngelmu,
Golek geni adedamar,
Ngangsu toya sangu warih,

Seje ngelmu seje bandha,
Ngelmu badhe rumeksa  kang ndarbeni,
Mangka lamun bandha kudu,
Ingkang gadhah rumeksa,
Bandha kirang adedana binarung,
Dana ngelmu ra kelangan,
Saya sugih mumpangati,





Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa ing Ngayogyakarta

Senin, 18 Juni 2012

Macapatan :

Cakapen Sekar Pangkur :

 Luru Kepinteran
Dening : Ki Sugeng Subagya

Angudiya kepinteran,
Mula angel mbaka sithik sethithik,
Jarwane kangelan iku,
Dalan gampang wekasan,
Sampun pinter datan bisa binanjut,
Ilange barengan sukma, 
Sukma ilang taksih aji,

Ngudi marang kepinteran,
Kudu sabar tawakal tekun tuwin,
Temen sumaguh mituhu,
Sangu bandha ramingsra,
Gedhe karsa pancatan wuru ngelmu,
Golek geni adedamar,
Ngangsu toya sangu warih,

Seje ngelmu seje bandha,
Ngelmu badhe rumeksa  kang ndarbeni,
Mangka lamun bandha kudu,
Ingkang gadhah rumeksa,
Bandha kirang adedana binarung,
Dana ngelmu ra kelangan,
Saya sugih mumpangati,



Ki Sugeng Subagya
Pamong Tamansiswa ing Ngayogyakarta

Jumat, 20 April 2012

Dilema Perguruan Swasta

DILEMA PERGURUAN SWASTA
Oleh: Ki Sugeng Subagya

SD dan SMP sebagai pelaksana program wajib belajar dilarang memungut biaya investasi dan biaya operasi dari peserta didik, orangtua atau wali peserta didik. Demikian Pasal 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 Tahun 2011. Larangan ini tak terkecuali bagi sekolah swasta.

Sejak bantuan operasional sekolah (BOS) digulirkan pada 2009, lambat laun pungutan dari orangtua murid dikurangi untuk menuju program pendidikan gratis dalam rangka wajib belajar sembilan tahun.

Pemahaman terhadap kebijakan ini menimbulkan dilema. Masyarakat menuntut layanan pendidikan berkualitas tanpa harus dibebani pembiayaan. Sementara itu, sekolah tak dapat menyelenggarakan pendidikan berkualitas karena besaran dana BOS tak cukup untuk menopang kebutuhan operasionalnya.

Bagi swasta, sekolah gratis hampir mustahil. Selain dana BOS belum memadai, mekanisme penetapan besaran dana satuan pendidikan, perhitungan unit cost, dan analisis komponen pembiayaannya belum tepat.

Pembiayaan pendidikan di swasta, juga sekolah pada umumnya, mencakup: (1) biaya operasi; (2) biaya investasi; dan (3) biaya personal. Biaya operasi pendidikan mencakup gaji/tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan. Bagi sekolah swasta, sumber biaya untuk gaji/tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan selama ini mengandalkan pungutan dari orangtua murid.

Peruntukan BOS

Program sekolah gratis dengan pemberian BOS dimaksudkan agar orangtua murid tidak lagi dibebani biaya operasi. Dalam hal ini terbangun kesan, pemerintah melalui BOS mampu membiayai semua kebutuhan operasional sekolah.

Padahal, dengan besaran dana BOS tahun 2012 Rp 580.000 per siswa per tahun untuk SD dan Rp 710.000 per siswa per tahun untuk SMP, hanya dapat menopang biaya operasi dengan standar minimal berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP). Artinya, besaran dana itu tak cukup untuk membiayai program sekolah yang melampaui standar minimal SNP. Dalam konteks ini, larangan memungut biaya pendidikan sama halnya mempertaruhkan kualitas pendidikan.

Ketentuan pemanfaatan dana BOS untuk gaji/honorarium serta tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan tak boleh lebih dari 20 persen dari jumlah dana yang diterima sekolah mustahil dapat diterapkan di swasta. Jika dana BOS satu-satunya sumber pembiayaan, gaji/honorarium serta tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan jauh dari layak. Jangan heran jika kemudian ada pendidik/tenaga kependidikan menerima honorarium kurang dari Rp 100.000 per bulan.

Jika subkomponen gaji/honorarium serta tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan dikeluarkan dari biaya operasi, membebaskan orangtua murid sekolah swasta dari pungutan masih dimungkinkan. Persoalannya, apakah pemerintah sudah mampu menyediakan anggaran untuk membayar gaji/honorarium serta tunjangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan swasta yang lebih dari 700.000 orang? Ini belum termasuk guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap.

Dalam konteks satuan pendidikan, mekanisme penetapan besaran BOS berdasarkan variabel jumlah siswa kurang tepat. Sekolah yang siswanya lebih banyak menerima dana banyak, sedangkan sekolah yang siswanya sedikit memperoleh dana sedikit. Padahal, pembiayaan satuan pendidikan lebih banyak dipengaruhi oleh basis rombongan belajar. Artinya, dalam satu rombongan belajar biaya operasionalnya relatif sama, baik dengan jumlah murid banyak maupun sedikit.

Pengaturan vs pelarangan

Tampaknya, saat ini yang diperlukan bukan pelarangan memungut biaya dari orangtua murid, melainkan mekanisme dan peruntukannya yang perlu diatur. Pelarangan dapat dilakukan apabila pemerintah mampu mencukupi semua biaya pendidikan yang dibutuhkan satuan pendidikan, baik sekolah negeri maupun swasta, dengan semua komponen pembiayaannya.

Pengaturan pungutan memberi peluang kepada masyarakat berperan dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pemanfaatan dana masyarakat secara optimal. Bukankah dalam hal ini pemerintah telah menetapkan manajemen berbasis sekolah dengan mengedepankan perencanaan pengembangan satuan pendidikan.

Tak kalah penting, dalam hal pengaturan itu harus diberikan jaminan terhadap warga yang kurang beruntung secara ekonomi harus dapat mengakses pendidikan yang berkualitas. Sistem subsidi silang adalah alternatif yang dapat dipilih untuk memberi jaminan kepada mereka.

Ki Sugeng Subagya Sekretaris Badan Musyawarah Perguruan Swasta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


Artikel dimuat harian KOMPAS Kamis, 19 April 2012 halaman 6

Kamis, 01 Maret 2012

Bos dan Perencanaan Pendidikan


Uang untuk Pendidikan
Ki Sugeng Subagya
Setidaknya ada dua hal sukses dalam penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada 2012. Sukses itu berupa perbaikan mekanisme penyaluran dan peningkatan unit cost. Perbaikan mekanisme penyaluran ditandai dengan 100% dana telah masuk rekening pada minggu kedua Januari 2012. Tahun sebelumnya, banyak sekolah yang baru menerima dana bos tahap I pada catur wulan kedua. Ini sangat luar biasa.
Peningkatan unit cost  dinaikkannya besaran dana BOS dari 70% menjadi 100% biaya operasi peserta didik. Dengan dipenuhi 100% unit cost maka berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 60 Tahun 2011 tentang  pungutan pada pendidikan dasar,  SD dan SMP dilarang menarik pungutan biaya operasi dan investasi bagi sekolah negeri. Sedangkan untuk sekolah swasta masih diperbolehkan menarik pungutan biaya investasi. Aturan ini juga berlaku untuk sekolah berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).
Sukses penyaluran dana BOS tidak serta-merta membebaskan atau setidaknya mengurangi beban masyarakat dalam menanggung biaya pendidikan. Dalam banyak kasus, orangtua murid masih harus merogoh saku untuk mengiur berbagai pungutan bagi anaknya yang belajar di SD dan SMP. Tidak memandang apakah pungutan termasuk dalam kategori biaya investasi atau operasi.
Pungutan itu dirasa memberatkan, sebab orangtua masih harus menanggung biaya personal pendidikan yang tidak ditanggung pemerintah maupun penyelenggara pendidikan lainnya berdasar undang-undang wajib belajar sembilan tahun. Padahal berdasarkan penelitian Wiko Saputra, dkk. (2011) 70%-80%  biaya pendidikan peserta didik adalah biaya personal, misalnya transportasi dan uang saku. Dengan demikian hanya 20%-30% yang merupakan biaya operasi dan biaya inventasi.
Berdasarkan evaluasi pendidikan akhir 2011, survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap 675 SD di 33 Provinsi  menempatkan  pungutan seragam sekolah pada posisi paling banyak dilakukan (46,%). Di urutan kedua pungutan buku dan/atau lembar kerja siswa (LKS) (14,2%). Kemudian berturut-turut  pungutan pembangunan atau uang gedung (4,3%), administrasi pendaftaran (2,5%), SPP (1,9%), ekstrakurikuler (1,3%), laboratorium (0,3%), dan masa orientasi siswa baru (0,3%).
Sekolah berdalih pungutan tersebut tetap dikenakan oleh karena besaran dana BOS yang ditetapkan pemerintah belum mampu menopang semua biaya operasi dan inventasi sekolah untuk mencapai standar nasional pendidikan (SNP). Jika sekolah dituntut memiliki kinerja yang lebih tinggi dari SNP maka tidak tepat pemerintah melarang sekolah melakukan pungutan-pungutan tersebut. Angka nominal Rp 580.000 per siswa per tahun untuk SD dan Rp 710.000 untuk SMP hanya dapat mencukupi biaya operasi sekolah berdasar SNP.
Berbasis Perencanaan
Penganggaran berbasis perencanaan berdasarkan penelitian Ghozali Abbas (2011) mengidentifikasi biaya operasi atas biaya operasi personalia dan biaya operasi nonpersonalia. Termasuk dalam biaya operasi personalia adalah gaji dan tunjangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan.
Sedangkan termasuk dalam biaya operasi nonpersonalia adalah alat tulis, bahan dan alat habis pakai, daya dan jasa, pemeliharaan dan perbaikan, transportasi, konsumsi, asuransi, pembinaan siswa dan ekstra kurikuler, pelaporan, dan uji kompetensi bagi SMK.
Dalih menarik pungutan bagi sekolah penerima BOS untuk mencukupi biaya operasi agar sekolah mampu melampaui SNP bisa diterima apabila sekolah memiliki program-program peningkatan kualitas pendidikan yang dirumuskan dengan visioner dan realistis dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS), Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) dan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS). Penyusunan RPS, RKS, dan RKAS melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan di sekolah itu.  Tetapi, jika sekolah tidak memiliki program peningkatan kualitas dan iuran dari orangtua murid ditentukan “asal tarik”, maka sangat logis jika kemudian dipersoalkan.
Terlebih bagi sekolah yang juga masih menerima bantuan operasional sekolah daerah (BOSDA) baik dari pemerintah provinsi dan/atau kabupaten/kota, mempertanyakan pemanfaatan dana BOS menjadi sangat relevan.
Secara empirik, selama empat tahun saya mendampingi sekolah menyusun RPS, RKS, dan RKAS, hal-hal yang bersifat elementer dalam penganggaran, pembiayaan dan pendanaan pendidikan pada satuan pendidikan masih sering dipahami secara rancu.
Penggunaan istilah penganggaran, pembiayaan, dan pendanaan pendidikan masih sering dipertukarkan. Walaupun ketiganya berhubungan erat, namun masing-masing memiliki makna yang berbeda-beda. Hal inilah yang menurut hemat saya dapat mengacaukan pemanfaatan dana BOS sehingga berakibat tidak efektif dan efisien.   
Penganggaran atau budgeting menyangkut penyusunan dokumen keuangan yang merinci perimbangan antara estimasi dana yang masuk dengan rencana penggunaan dana tersebut dalam membiayai proses pendidikan. Pendanaan atau funding/financing lebih berhubungan dengan persoalan bagaimana, siapa, dan berapa dana pendidikan dibebankan. Secara tegas dapat dinyatakan, siapa menanggung berapa. Sedangkan pembiayaan atau costing adalah estimasi dan perencanaan kebutuhan biaya yang diperlukan untuk mendukung proses pendidikan.
Pemahaman terhadap hal-hal elementer dalam perencanaan pendidikan sangat diperlukan untuk menghindari pemborosan sekaligus mencegah penyalahgunaan. Dalam hal pemanfaatan dana BOS kiranya perlu sekolah didampingi oleh konsultan pendamping. Mengingat jumlah sekolah yang sangat besar, jika dalam satu kecamatan terdapat satu konsultan pendamping atau satu kabupaten/kota disediakan 10 orang konsultan pendamping kiranya cukup membantu penjaminan efektifitas  dan efisiensi pemanfaatan dana BOS.

Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa Yogyakarta dan mantan konsultan peningkatan mutu SMP Dinas Dikpora DIY.

Catatan :
Artikel ini dimuat Harian SOLOPOS, Kamis 1 Maret 2012 halaman 4.

Kamis, 19 Januari 2012

Watak Pemimpin


Trisulawedha

Trisulawedha kalebet peranganing jangka Jayabaya. Piwucal ingkang kamot ing trisulawedha inggih punika watak budi luhur  ingkang baku, inggih punika  jejeg, bener lan jujur .

Mekaten jangkeping seratan jangka Jayabaya pupuh 164; Putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu. Hiya yayi Bethara Mukti, hiya Krisna, hiya Herumukti. Mumpuni sakabehing laku. Nugel tanah Jawa kapingpindho. Ngerahake jin setan, kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo, kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti Trisulawedha. Landhepe triniji suci. Bener, jejeg, jujur. Kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.

Dados, menawi ginerba,  gesang ing masarakat mekaten kedah linambaran watak jejeg, bener, lan jujur. Jejeg anggenipun cepengan dhateng tuntunan agami suci, bener anggenipun tumindak adhedhasar ukum negari, saha jujur sadhengah tumindak ing sesrawungan bebrayan.

Menawi watak trisulawedha dipun tindakaken dening para pangarsaning negari lan andhahanipun, katentremaning negari enggal badhe dados kasunyatan. Tumindak ingkang jejeg, bener, lan jujur, dados piranti ndhuwa tumindak culika kados dene korupsi, kolusi lan nepotisme ingkang nembe mratah kados  ing wekdal punika.

Wedharing falsafah trisulawedha saged dipun maknani dados peranganing watak wantu saha tindak tanduk bebrayan mranata bangsa lan negari.  

Ngudi kemajenganing bangsa lan negari kanti ngadani pembangunan ingkang linambaran wawasan budaya tumuju tumataning kawontenan inkang asipat global. Tegesipun, sanadyan ing samangke Indonesia dados bangsa ingkang majeng,  pinunjul yen tinandhingaken lumawan bangsa sanes, namung kapribaden ingkang alandhesan budaya lokal mboten badhe luntur. Bangsa Indonesia ingkang majeng mboten kedah kecalan jatidhirinipun.

Pulitik praktis, mboten langkung namung saweneh sarana tumapaking dhemokrasi, sanes ancasing panggesangan bangsa lan negari. Pramila ingkang dipun udi mboten jejering panguwaos, ananging panguwaos kedah dipun dadosaken sarana murih sedaya kawula  pinanggih gesang ingkang ayem tentrem-tata kerta raharja. Raos ewuhaya ing pambudi dados pamepering tumindak ingkang rinaos badhe damel cintrakaning asanes.

Menawi trisulawedha dipun maknani senjata, inggih senjata pamungkas. Pramila, menawi sedaya warganing masyarakat nindakaken trisula wedha badhe pinanggih kawontenan masyarakat ingkang saya dangu saya tentrem jalaran kukum badhe dados pangayoman yekti, durjana lan durangkara binesta, budaya dados sandhanganing agesang.

Trisulawedha ingkang dipun rasuk dening panguwaos binathara-gung, badhe paring pangayoman tumrap kawula dasih ingkang ringkih, ananging kosokwangsulipun ugi badhe damel kapokipun tetiyang ingkang tumindak nistha jalaran saking paringipun pidana ingkang murwat kaliyan kalepataning tumindak. Sedaya pamawas saged dipun nalar. Sak sintena ingkang ngaturaken panyaruwe dipun tampi, dipun limbang, saha dipun dadosaken kupiya kangge mbecikaken kawontenan. 

Ing jagading pamulangan lan pawiyatan, trisulawedha saged dipun wastani dados ruh pendidikan nasional. Pancen leres, kapinteran ing babagan kawruh akademis punika saestu wigati. Nanging kapinteran kalawau mboten wonten ginanipun yen ingkang pinter mboten gadhah watak jejeg, jujur, lan bener. Saged ugi  tiyang pinter lajeng minteri tiyang sanes satemah damel kapitunan.

Sedyaning pamulangan murih ginayuh watak jejeg, bener, lan jujur kedah lumampah kanthi suasana ingkang jejeg, bener, lan jujur ugi. Tangeh lamun, sapu ingkang reged badhe saged damel resik. Pramila, pendidikan watak inkang ngemot trisulawedha dadosa punjering kawijaksanan ngrembakakaken pendidikan karakter ingkang nembe pikantuk kawigatosan Kementerian Pendidikan Nasional.

Ki Sugeng Subagya, Pamong Ibu Pawiyatan Tamansiswa.

Rabu, 18 Januari 2012

Guru Riwayatmu Kini


Standar Minimal Pendapatan Guru Swasta
Ki Sugeng Subagya

Guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) merasakan kenaikan peningkatan pendapatan yang signifikan.  Terlebih bagi yang sudah lolos sertifikasi dan memperoleh tunjangan, bisa dikatakan sudah sejahtera.

Guru swasta keadaannya masih belum berubah.  Pendapatannya masih jauh dari kriteria layak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Meskipun ada beberapa guru swasta yang sudah turut lolos sertifikasi dan memperoleh tunjangan, namun kesenjangan pendapatan antara guru PNS dengan guru swasta masih sangat lebar.

Guru swasta yang lolos sertifikasi dan inpassing-nya sudah turun, maka tunjangan yang didapat setara dengan pangkat dan golongan/ruangnya. Namun hal ini bukan berarti pendapatan guru swasta  sebesar yang diterima oleh guru PNS. Secara nominal, tunjangan sertifikasi yang diterima memang sama, namun besarnya gaji sangat tergantung kepada kemampuan penyelenggara satuan pendidikan (yayasan) yang bersangkutan.

Bagi guru swasta yang belum sertifikasi dan guru honorer keadaannya lebih memprihatinkan.  Pendapatan rata-rata guru swasta, baik yang mengabdi di sekolah negeri maupun di sekolah swasta berkisar antara 100 ribu rupiah sampai dengan 500 ribu rupiah perbulan. Pendapatan yang sangat jauh dari kriteria layak bagi seorang profesional dengan pendidikan sarjana (S-1 atau D-4).

Di DKI Jakarta, Upah Minimum Provinsi (UMP) bagi buruh ditetapkan sebesar Rp 1.290.000 perbulan. Guru swasta dengan masa kerja 2 tahun, rata-rata memperoleh penghasilan antara 750 ribu sampai dengan 1,5 juta rupiah.  Bandingkan dengan guru PNS di DKI Jakarta dengan masa kerja 2 tahun memperoleh pendapatan sebesar Rp 6.414.500,-. Dengan rincian, gaji  Rp. 2.286.300,-,  tunjangan kinerja daerah (TKD) sebesar Rp. 2.900.000,- dan tunjangan profesi  sebesar Rp. 1.228.200,-.

Sebenarnya guru swasta tidak menuntut  pendapatan yang sama dengan guru PNS. Harapan mereka hanyalah perbaikan kesejahteraan, setidaknya pendapatan perbulannya tidak lebih kecil dari UMP yang ditetapkan Gubernur masing-masing Provinsi.

Syukur bila konsep upah minimum pendidikan (UMP) yang digagas oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dengan batas bawah Rp. 2.500.000,- perbulan dapat direalisasi, tentu para guru swasta sangat berterima kasih dan akan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya.
Tuntutan upah minimum pendidikan bukan hanya didasari oleh tidak layaknya pendapatan yang diterima oleh guru swasta. Secara faktual tugas dan beban kerja guru, baik itu guru PNS maupun guru swasta, baik yang bertugas di sekolah negeri maupun di sekolah swasta, ternyata  tidak berbeda. Bahkan dalam banyak kasus tugas guru swasta dapat dikatakan lebih berat dari guru PNS yang mengajar di sekolah negeri. Rata-rata siswa sekolah swasta berasal dari calon siswa yang telah disaring pada sekolah negeri dengan berbagai keterbatasannya. Beban kerja mendidik para siswa dengan berbagai keterbatasan tentu lebih berat daripada mendidik siswa berkemampuan diatas rata-rata.
Tidak semua penyelenggara pendidikan swasta memiliki dana yang cukup untuk memenuhi    upah minimum pendidikan. Hampir semua sekolah swasta pendapatannya berdasarkan iuran orangtua murid. Pendapatan sekolah swasta dipergunakan mencukupi pembiayaan pendidikan, baik biaya operasi maupun biaya inventasi. Pendapatan sekolah swasta tidak akan mampu menopang upah minimum pendidikan.
Oleh  sebab itu, pemerintah harus segera melakukan langkah kebijakan yang memihak kepada guru swasta. Ada beberapa cara meningkatkan kesejahteraan guru swasta. Pertama; mengangkat guru swasta sebagai guru PNS secara bertahap bagi yang memenuhi ketentuan yang berlaku. Kedua, menerapkan upah minimum pendidikan sebagaimana yang digagas PGRI, dengan ketentuan apabila yayasan penyelenggara pendidikan tidak mampu, maka pemerintah wajib menanggung kekurangannya. Ketiga, memberlakukan subsidi kolektif bagi guru swasta setara dengan ketentuan PGPS sebagai penguatan atas program inpassing yang sudah berjalan, dengan ketentuan apabila yayasan penyelenggara pendidikan tidak mampu, maka pemerintah wajib menanggung kekurangannya.
Cara-cara ini tidak berlaku bagi guru swasta yang bernaung pada yayasan penyelenggara sekolah swasta yang tidak hendak mengikuti kebijakan ini karena merasa mampu dapat memberikan kesejahteraan yang lebih baik dari yang ditetapkan pemerintah.
Melalui perbaikan kesejahteraan, para guru swasta tidak lagi merasa diperlakukan tidak adil. Pada gilirannya martabatnya sebagai guru profesional akan terangkat. Dengan demikian upaya memacu kualitas pendidikan melalui kinerja guru segera dapat tercapai. Semoga.-

Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa dan Sekretaris Badan Musyawarah Perguruan Swasta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.