Laman

Sabtu, 26 Desember 2009

Pendidikan Ketamansiswaan

KI HADJAR DEWANTARA :
Bangsawan yang Merakyat

Ki Sugeng Subagya


Hidup ini adalah pilihan. Demikianlah para bijak mengatakan. Ada kalanya pilihan hidup itu sulit. Terlebih jika pertimbangannya untuk menghidari resiko, maka pilihan akan menjadi amat sangat sulit sekali. Pilihan hidup yang sangat sulit, dapat digambarkan bagai makan buah simalakama. Jika dimakan bapak mati, jika tidak dimakan ibu yang mati.

Bagaimanakah menyikapi pilihan hidup yang demikian itu ? Pasti, sebagai makhluk yang pinurba winisesa Illahi, apapun resikonya harus memilih. Oleh karena itu setiap pilihan hidup sesungguhnya adalah tanggungjawab. Komitmen atas konsekuensi dengan didasari konsistensi pilihan hidup itulah tanggungjawab.


Ki Hadjar Dewantara sejak muda belia sudah melakukan pilihan hidup dengan tanggungjawab dan konsekuensinya. Sikap dan tindakan yang demikianlah yang patut diteladani.


Kita semua tahu, bahwa Suwardi Suryaningrat, adalah putera bangsawan. Dengan demikian ia adalah bangsawan pula. Gelar bangsawan Raden Mas (RM) melekat di depan namanya. Sebagai bangsawan, tentu hidup dan kehidupannya dijamin lebih baik daripada rakyat pada umumnya. Oleh karena itu, tanpa harus bersusah payah segala fasilitas hidup dan kehidupan tersedia. Ternyata bukan itu pilihan hidup Suwardi Suryaningrat.


Menurut ceritera Nyi Hadjar Dewantara yang dicatat oleh Ki Moch Tauchid, dalam karangan berjudul ‘Beberapa Catatan Mengenai Ki Hadjar Dewantara’; Suwardi Suryaningrat sejak kecil suka bergaul dan bermain-main dengan anak-anak rakyat biasa di kampungnya. Hal ini berbeda dengan anak bangsawan umumnya pada saat itu, yang terkadang merasa jijik bergaul dengan anak-anak rakyat biasa. Anak bangsawan yang merasa derajat keturunannya lebih tinggi, merasa tidak level bergaul dengan anak-anak rakyat biasa.


Ceritera di atas adalah contoh pilihan hidup yang diambil Ki Hadjar Dewantara. Tentu, hal itu ada resikonya. Setidaknya, sikap yang demikian dapat melunturkan kebangsawanannya. Tetapi, sikap pembawaan yang demikian inilah kelak kemudian hari berkembang sebagai jiwa dan sikap kerakyatannya. Jiwa dan sikap kerakyatan itulah yang mendorong perjuangannya untuk membela rakyat kecil yang sengsara. Gelar kebangsawanan tiadalah penting bagi Ki Hadjar Dewantara. Berjuang untuk membela dan mensejahterakan rakyat jauh lebih penting daripada gelar kebangsawanan.


Kesaksian atas pilihan hidup Suwardi Suryaningrat muda, dikenang oleh teman-temannya. “nDoro Suwardi selalu berpihak pada wong cilik”. Kata mereka. Selanjutnya, sejak menjalani hukuman pembuangan di negeri Belanda selama 6 tahun, gelar kebangsawanannya tidak lagi di pasang di depan namanya. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Gelar bangsawan itu dirasakan menjadi penghalang hubungan dengan rakyat, ialah anak-anak bangsa yang tertindas. Gelar bangsawan dilepaskannya bersamaan dengan tanggungjawab konsekuensinya melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan.


Kelak setelah menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada dalam bidang kebudayaan, Ki Hadjar Dewantara berpesan untuk tidak menyebut gelar doktornya di depan namanya. Tiadalah pernah Ki Hadjar Dewantara menuliskan gelar doktornya di depan namanya.


Memperingati Tahun Baru Indonesia


Suatu ketika, saat memperingati hari kebangkitan nasional, Ki Hadjar Dewantara menceriterakan kenakalannya di waktu muda. Tentu bukan kenakalan remaja seperti yang diasumsikan sekarang sebagai tawuran, dugem, mabuk, drugs, pergaulan bebas dan lain-lain.


Pada tengah malam terjadi kegaduhan di asrama mahasiswa Sekolah Dokter Jawa dimana Suwardi Suryaningrat menimba ilmu saat itu. Orang dikejutkan dengan berondongan bunyi petasan. Saat itu, malam tanggal 1 Muharam dalam penanggalan Hijriyah atau 1 Sura dalam penanggalan Jawa. Malam tahun baru. Rupanya Suwardi Suryaningrat dan kawan-kawannya ingin “tahun baruan” ala Indonesia. Jika 1 Januari adalah tahun baru Masehi yang dirayakan seluruh dunia, maka 1 Huharam atau 1 Sura adalah tahun barunya rakyat Indonesia.


Letusan petasan malam tahun baru 1 Muharam atau 1 Sura itu sesungguhnya adalah letusan semangat kebangsaan. Suwardi Suryaningrat dan kawan-kawan para pemuda Indonesia ingin mengingatkan agar orang tahu bahwa bangsa Indonesia mempunyai tahun baru yang harus diperingati. Diperingati, tegas Ki Hadjar Dewantara, bukan dirayakan. Peringatan lebih bermakna instrospeksi, sedangkan perayaan lebih mengarah kepada pesta pora atau hura-hura. Jika dunia merayakan tahun baru 1 Januari, mengapa bangsa Indoensia tidak memperingati tahun baru pada 1 Muharam atau 1 Sura ?


Meskipun sekadar membunyikan petasan untuk memperingati tahun barunya sendiri, “kenakalan” Suwardi Suryaningrat ini ternyata membuahkan hukuman. Karena ulahnya itu, Suwardi Suryaningrat dikurung tidak boleh keluar asrama untuk beberapa hari. Hukuman itu harus diterima, itulah konsekuensi tanggungjawab atas pilihan hidup yang dilakukan. Menjalani hukuman tidak dalamrangka agar jera, tetapi sebagai konsekuensi tanggungjawab atas perbuatannya.


Tetapi ingatlah, dengan peristiwa “tahun baruan” ala mahasiswa Sekolah Dokter Jawa itu, tujuan utamanya bukan hura-hura, melainkan mengobarkan semangat kebangsaan. Akibatnya, orang-orang pergerakan, terutama di Jawa, memperingati tahun barunya pada tanggal 1 Muharam atau 1 Sura dengan acara tanggap warsa untuk mengobarkan rasa kebangsaan.


Ada hikmah dapat dipetik dari sepenggal kisah ini. Setiap perbuatan itu ada akibatnya masing-masing. Perbuatan itu adalah pilihan hidup. Sebagai pilihan hidup tentu harus diperhitungkan masak-masak, termasuk resiko yang harus ditanggung ketika perbuatan itu dilakukan. Lebih baik menanggung resiko sesaat tetapi tujuan jangka panjangnya tercapai, daripada menghindari resiko tetapi menggagalkan tujuan jangka panjangnya. Belajar yang giat penuh semangat bagai berdarah-darah adalah resiko yang harus diambil agar kelak tercapai tujuan hidupnya merupakan sikap dan tindakan meneladani Ki Hadjar Dewantara bagi generasi muda sekarang.



Artikel ini dimuat Majalah SISWA, Maret 2009

Pendidikan Ketamansiswaan

KI HADJAR DEWANTARA :
Sedikit Mengecewakan Ketika Lahirnya, Kelak Membanggakan Indonesia

Ki Sugeng Subagya


Hampir semua orang tahu, dan duniapun mengakuinya bahwa Ki Hadjar Dewantara atau nama lahirnya Raden Mas Suwardi Surjaningrat adalah pendiri Perguruan Tamansiswa dan Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Beliau dikenal dan diakui dunia oleh karena kompetensinya, keahliannya, budi baiknya, prestasinya, sumbangsihnya terhadap bangsa, negara dan masyarakat. Ada pepatah mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang. Jika ketika hidupnya manusia pernah, atau bahkan selalu berbuat kebaikan dengan sangat sedikit tercela, niscaya di kemudian hari kebaikan itu akan selalu dikenang, sedangkan kelemahannya akan terlupakan.


Demikianlah orang besar dikenang. Mengenang seseorang terutama dipelajari dari sejarah. Sejarah ditulis terutama oleh karya-karya jurnalistik. Karya-karya jurnalistiklah sesungguhnya yang mengabadikan prestasi yang pernah diukir seseorang.


Seorang tokoh besar sekaliber Ki Hadjar Dewantara tidak akan mampu diungkap seluruh sepak terjang kebesarannya jika hanya belajar sejarah secara parsial, sepotong-sepotong. Terlebih, ketika catatan jurnalistik tentang kebesarannya yang terbatas adalah satu-satunya sumber belajar, niscaya sosok utuh kebesaran seorang tokoh bernama Ki Hadjar Dewantara tidak akan lengkap.


Atas dasar pertimbangan itu, penulis mencoba menyingkap sisi-sisi lain hidup dan kehidupan Ki Hadjar Dewantara melalui berbagai sumber, baik dokumenter maupun saksi hidup yang masih dapat dirujuk. Hasil penelusuran ini akan disajikan kepada sidang pembaca dalam bentuk karya jurnalistik, yang jika Allah mengijinkan tersaji bersamaan dengan terbitnya majalah SISWA kesayangan kita ini.


Terlahir sebagai Raden Mas (RM) Suwardi, Ki Hadjar Dewantara adalah bangsawan. Ibunya Raden Ayu Sandiah dan ayahnya Kanjeng Pangeran Ariya (KPA) Surjaningrat. Keduanya adalah bangsawan Pura Pakualaman Yogyakarta. Secara garis keturunan, KPA Surjaningrat adalah putera Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ariya (KGPAA) Paku Alam III. Dengan demikian RM Suwardi adalah cucu KGPAA Paku Alam III.


Lahirnya Suwardi bertepatan dengan hari Kamis, pasaran Legi, tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Dalam penanggalan Jawa, hari dan pasaran disebut sebagai neptu, dengan demikian neptu, nepton atau sering disebut juga weton Ki Hadjar Dewantara adalah Kamis Legi. Barangkali, yang istimewa dari hari lahirnya Suwardi ialah bertepatan dengan tanggal 2 Ramadhan 1309 Hijriyah, dimana umat Islam sedang mulai menunaikan ibadah puasa wajib. Konon bulan puasa adalah saat yang paling tepat untuk pendidikan dan penggemblengan iman. Meskipun terkesan diothak-athik gathuk, lahirnya Suwardi pada bulan Ramadhan memberi hikmah pendidikan dan peningkatan iman dan takwa. Dengan demikian, kelak diharapkan, Suwardi kecil menjadi pionir penggembleng jiwa menuju manusia beriman dan bertaqwa melalui pendidikan.


Sebagaimana ayah pada umumnya, KPA Surjaningrat sesungguhnya sangat mendambakan puteranya lahir laki-laki. Dambaan itu menjadi kenyataan. Lahirlah bayi laki-laki yang didamba itu. Bukan kepalang girangnya Sang Pangeran. Namun setelah mengetahui keadaan fisik jabang bayi, KPA Surjaningrat agak kecewa. Sebagai bayi laki-laki yang didamba, Suwardi ketika lahir dengan berat badan hanya kurang dari 3 kilogram. Perutnya buncit, dan suara tangisnya yang terlalu lembut untuk bayi laki-laki.


Untuk mengobati kekecewaannya, KPA Surjaningrat yang humoris ini lantas memberikan paraban (nama olok-olok) kepada sang anak, Jemblung (buncit). Paraban Suwardi menjadi komplet setelah sahabat KPA Surjaningrat, yakni Kyai Soleman, pengasuh pondok pesantren di Prambanan, memberi tambahan nama Trunagati.

Rupanya mata hati Kyai Soleman lebih waskita membaca aura bocah ini. Menurut dia, tangis Suwardi yang lembut justru nanti akan didengar orang di seluruh negeri. Sementara perut buncitnya memberi firasat kelak ia akan menyerap dan mencerna ilmu yang banyak. Bahkan setelah dewasa ia akan menjadi orang penting. (Truna= pemuda; wigati= penting). Yang jelas, oleh kalangan terdekatnya Suwardi kecil kerap dipanggil dengan julukan Jemblung Jaya Trunagati alias Denmas Jemblung.


Barangkali keprihatinan yang dialami di masa kecil saat ayahnya dilanda kesulitan hidup, justru membuat Suwardi tumbuh dengan watak dan kepribadian seperti yang dikenal orang di kemudian hari. Bagaimana persisnya kepribadian Suwardi, rekan setianya dalam perjuangan kemerdekaan yakni Ernest Francois Eugene Douwes Dekker melukiskannya sebagai berikut, "... di dalam tubuhnya yang lemah itu bersemayamlah daya kemauan keras yang selalu dimenangkannya setiap kali ia memperjuangkan sesuatu...." (Harumi Wanasita Setyabudhy, 70 Jaar Konsekwen, Uitgave, N.V. Nix & Co, Bandung, 1949).


Hikmah


Dari sepenggal kisah ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa Tuhan memberikan sesuatu kepada umatnya selalu yang terbaik. Meskipun dalam cara pandang manusia, pemberian Tuhan dianggap lemah, jelek, tidak berguna, memalukan, bahkan aib, namun dibalik itu semua ada potensi yang dapat dikembangkan. Ini adalah fakta. Banyak peristiwa telah membuktikan, terlahir sebagai tuna netra, namun kelak mampu memiliki prestasi jauh lebih hebat daripada orang normal.
Artikel ini dimuat Majalah SISWA, Januari 2009

Pendidikan Ketamansiswaan

KI HADJAR DEWANTARA :
Kecil Badannya, Tetapi Besar Nyalinya

Oleh : Ki Sugeng Subagya


Dalam meniti hidup dan kehidupan, diperlukan keberanian. Keberanian adalah modal untuk dapat melakukan sesuatu hal. Misalnya berani menghadapi resiko, berani bertanggungjawab, berani hidup sederhana, berani mengalah, berani berkata jujur, dan sebagainya. Pendek kata setiap perbuatan harus didasari keberanian. Tanpa keberanian mustahil perbuatan dapat dilakukan. Dalam hal negatif sekalipun, keberanian tetap dibutuhkan. Seorang pencuri mustahil dapat melakukan aksinya tanpa ia memiliki keberanian.


Dalam usia muda, seringkali keberanian itu teraktualisasi lebih menonjol. Disamping karena usia muda merupakan usia yang ditandai dengan sikap-sikap dan perbuatan heroik, tetapi juga pertimbangan baik-buruk dan benar-salah ada kalanya terkalahkan oleh semangat heroiknya itu. Bahkan bukan tidak mungkin, pada usia muda keberanian tanpa didasari perhitungan matang. Pokoknya berani, dan yang penting berani. Apakah dengan keberaniannya itu kemudian merugikan orang lain, menyusahkan orang lain, membuat orang lain menderita, bahkan tidak mustahil dapat merugikan dirinya sendiri atau dirinya sendiri menjadi korban, itu tidak penting. Pukul dulu urusan belakang.


Belakangan ini keberanian yang teraktualisasi tanpa pertimbangan dan perhitungan matang itu sering terjadi. Kasus-kasus tawuran pelajar, tawuran antar kampung, tawuran antar kelompok masyarakat, demonstrasi yang anarkis, dan lain-lain adalah contohnya. Dalam lingkup yang lebih kecil, perkelahian berebut “pacar” atas dasar kecemburuan dan kecurigaan yang tidak beralasan sehingga menyebabkan korban terluka atau bahkan meninggal dunia atau cacat sepanjang hidup, hampir setiap saat terjadi.


Mestinya, potensi keberanian yang kita miliki harus diaktualisasikan dalam hal-hal yang positif. Ki Hadjar Dewantara sejak masih kanak-kanak memberi teladan hal itu.


Menurut rekan-rekan sejawatnya, Ki Hadjar Dewantara itu kras maar nooit grof, keras namun tidak pernah kasar. Tentu keras dalam sikap dan pendirian butuh keberanian, sedang tidak kasar itulah sikap dan perbuatan yang dilandasi oleh pertimbangan yang matang.
Ketika masih sekolah di ELS tidak dapat dihindari Suwardi harus berkelahi dengan sinyo-sinyo Belanda. Bukan karena rebutan pacar, tetapi karena membela teman-temannya yang ditindas atau dilecehkan oleh mereka. Seorang anak pribumi berani berkelahi dengan anak-anak Belanda di kandangnya (karena ELS adalah sekolah untuk anak-anak orang Eropa dan bangsawan pribumi) memerlukan keberanian tersendiri.


Bersama dengan Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Suwardi mendirikan Partai Hindia atau Indische Partij. Berbeda dengan organisasi sosial politik sebelumnya yang masih berkutat pada perjuangan kelompok, Indische Partij bertujuan menyatukan rakyat untuk mencapai "Hindia bebas dari Nederland" alias merdeka. Inilah bukti keberanian Suwardi yang lain, menyatakan Indonesia merdeka dalam keadaan negeri dalam pengaruh kuat kekuasaan penjajah tidak semua orang berani melakukannya.


Tak pelak, pemerintah kolonial Belanda miris. Tak lama kemudian Indische Partij dibreidel. Suwardi pantang menyerah. Kritik pedas kepada penjajah kembali dilancarkan lewat artikelnya dalam de Express November 1923, berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya saya orang Belanda). Dengan sindiran tajam tulisan itu menyatakan rasa malunya merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut uang dari rakyat Hindia yang terjajah.


Suwardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regeringsreglement - UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang melarang organisasi politik di Hindia-Belanda. Akibat tulisan tersebut Ki Hadjar Dewantara harus dibuang ke Belanda Oktober 1914. Alhasil, pemuda yang baru saja mempersunting R.A. Sutartinah ini harus berbulan madu di pengasingan.


Setelah kemerdekaan, keberanian Ki Hadjar Dewantara tidak pernah surut. Ini terkuak dalam peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas) tanggal 19 September 1945. Saat itu pemerintah R.I. menghadapi tantangan, apakah Presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan. Sidang kabinet di Pejambon sempat ribut. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat. Yang lain menolaknya dengan pertimbangan keselamatan. Akhirnya setelah melalui perundingan alot, semua sepakat untuk hadir. Yang kemudian menjadi pertanyaan, siapa menteri yang harus membuka jalan terlebih dulu memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan Presiden, mengingat ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah Republik Indonesia menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional.


Pada saat kritis inilah sebagai Menteri Pengajaran Ki Hadjar Dewantara unjuk keberanian. Bersama Menteri Luar Negeri Mr. Achmad Subarjo, Menteri Sosial Mr. Iwa Kusumasumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi tameng. Padahal usia bapak enam anak itu bisa dibilang tak lagi muda. Ketika diingatkan oleh Sekretaris Negara, Abdul Gafur Pringgodigdo, "... Ki Hadjar 'kan sudah tua." Apa jawab Ki Hadjar Dewantara, "... Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa," jawab Ki Hadjar Dewantara enteng.


Pada lain kesempatan, meski baru saja keluar dari tahanan, beliau sudah berani perang mulut dengan tentara Belanda. Pagi itu satu peleton tentara Belanda dengan sikap garang melakukan sweeping asrama Pamong Tamansiswa di Yogyakarta. Sebelum rombongan tentara itu berlalu, Ibu Dalimo, salah seorang istri pamong, tergopoh-gopoh mendatangi Ki Hadjar Dewantara. Ia melaporkan, seorang serdadu Belanda merampas kalung emasnya. Secara tak terduga, Ki Hadjar Dewantara menghardik komandan tentara tersebut dan melarang mereka meninggalkan tempat. Perang mulut sengit dalam bahasa Belanda-pun tidak terhindarkan. Nyi Hajar Dewantara yang semula berdiri di belakang, tiba-tiba maju ke depan mendampingi suami tercinta. Akhirnya, kalung emas pun berhasil kembali ke pemiliknya.


Tentu, mereka yang tidak mengenal pribadi Ki Hadjar Dewantara secara utuh akan terkaget-kaget menyaksikan adegan ini. Betapa tidak? Sosok pria kurus kecil berhati lembut yang tidak pernah memaksakan kehendaknya terhadap orang lain, ternyata bisa marah meledak-ledak.
Dari sepenggal kisah ini ada yang dapat dipetik hikmahnya. Keberanian itu adalah modal utama kita bersikap dan berbuat. Hendaknya keberanian itu didasari oleh pertimbangan yang matang. Keberanian bukan untuk memamerkan diri sebagai ”sok jagoan”, tetapi keberanian untuk menunjukkan kejujuran, ketulusan, keteguhan hati membela yang benar dan menegakkan harga diri berdasar prinsip-prinsip kemanusiaan yang berpihak kepada yang lemah.



Artikel ini dimuat Majalah SISWA Pebruari 2009.

Kamis, 03 Desember 2009

Akreditasi Sekolah

Implikasi Akreditasi Sekolah
Ki Sugeng Subagya

SENIN, 30/11/2009 Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di Bangsal Kepatihan menyerahkan sertifikat akreditasi sekolah. Pada tahun 2009 ini di DIY telah diakreditasi 600 sekolah dari TK-RA, SD-MI, SMP-Mts, SMA-MA sampai SMK-MAK. Apa implikasinya setelah sekolah di akreditasi ? Demikian pertanyaan banyak pihak setelah akreditasi sekolah berakhir. Akreditasi sekolah tidak lebih sekadar memotret keadaan sekolah tanpa tindak lanjut.

Perkembangan Akreditasi Sekolah
Sejarah akreditasi sekolah di Indonesia mencatat tiga fase perkembangan. Fase pertama saat Direktorat Sekolah Swasta melakukan akreditasi terhadap sekolah-sekolah swasta. Fase kedua terjadi ketika Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS) melakukan akreditasi terhadap semua sekolah, baik negeri maupun swasta berdasar 9 (sembilan) komponen penyelenggaraan sekolah. Sedangkan fase ketiga ditandai dengan pelaksanaan akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) dengan instrumen yang disusun berdasarkan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Fase terakhir sistem akreditasi sekolah merupakan penyempurnaan dan sekaligus jawaban terhadap kritik berbagai pihak atas kelemahan sistem akreditasi sebelumnya. Selama ini sistem akreditasi yang pernah berlaku dianggap sebagai mengabaikan keadilan.

Pada fase pertama, akreditasi sekolah yang hanya diperuntukkan bagi sekolah swasta sangat diskriminatif. Terlebih dengan kriteria pemeringkatan sebagai Terdaftar, Diakui dan Disamakan, sekolah swasta dianggap selalu under position. Disamakan sebagi peringkat terbaik hasil akreditasi dipertanyakan pula. Disamakan dengan siapa ? Apakah disamakan dengan sekolah negeri ? Jika demikian, maka sebaik apapun sekolah swasta tidak akan lebih baik dari sekolah negeri. Padahal faktanya, sekolah terbaik di Indonesia adalah sekelompok sekolah swasta, meskipun yang “terjelek” juga sekelompok sekolah swasta.

Sistem akreditasi sekolah fase kedua dianggap tidak adil lebih ditujukan kepada sifat instrumennya yang kategorik dan sangat diskrit. Respon instrumen hanya ada dua kemungkinan jawaban, ialah antara “ya” atau “tidak”. Jika “ya” maka diberi skor 1, sedangkan jika “tidak” diberi skor “0”. Sifatnya yang sangat diskrit cenderung mengabaikan sisi rentang kualitatif, kuantitatif dan kefungsian. Taruhlah contoh, sebuah sekolah memiliki bola kaki sebuah. Karena instrumennya berbunyi “Sekolah memiliki sarana olah raga” maka harus diberi skor 1. Pada hal sengguhnya bola kaki yang hanya sebuah tidak dapat menggambarkan kualitas dan kefungsiannya dalam pembelajaran Olahraga. Skor yang sama diberikan kepada sekolah yang sarana olah raganya lengkap dengan Hall dan pusat pelatihan atlet, misalnya. Di sinilah letak ketidakadilan itu.

Memasuki fase ketiga sistem akreditasi sekolah, seluruh kekurangan yang terjadi sebelumnya diperbaiki. Hal ini terkait dengan mulai tumbuhnya kesadaran, bahwa akreditasi bukan hanya sekadar kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pembelajaran di sekolah. Lebih dari itu akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan untuk akuntabilitas publik.

Implikasi Setelah Akreditasi
Jika akreditasi sekolah sekadar memotret keadaan sekolah tanpa implikasi lanjutan untuk meningkatkan mutu pendidikan, maka sumber daya besar yang dikeluarkan untuk proses akreditasi tak sebanding dengan hasil yang didapat.

Dalamrangka optimalisasi, setidaknya akreditasi sekolah bertujuan untuk 3 (tiga) hal, ialah; (1) Memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah atau program yang dilaksanakannya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan. (2) Memberikan pengakuan peringkat kelayakan. (3) Memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait.

Rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan itulah sesungguhnya implikasi yang paling nyata untuk memicu dan memacu para stake-holder pendidikan. Sebagai illustrasi, temuan hasil akreditasi SMA secara nasional tahun 2008 adalah sebagai berikut :
1. 271 SMA (30,25%) atau lebih dari seperempat jumlah sekolah tidak mempunyai kualifikasi tenaga laboratorium yang sesuai dengan standar.
2. 238 SMA (26,56%) atau lebih dari seperempat jumlah sekolah tidak mempunyai laboratorium biologi.
3. 326 SMA (36,38%) atau lebih dari seperempat jumlah sekolah tidak mempunyai laboratorium fisika.
4. 334 SMA (37,28%) atau lebih dari seperempat jumlah sekolah tidak mempunyai laboratorium kimia.
5. 447 SMA (49,89%), atau hampir setengah jumlah sekolah tidak mempunyai laboratorium bahasa.

Berdasarkan temuan itu, Asesor berkewajiban merumuskan rekomendasi tindak lanjut. Merupakan kewajiban bagi penyelenggara pendidikan, baik pemerintah maupun swasta untuk menindaklanjuti rekomendasi yang dirumuskan Asesor. Penyelenggara pendidikan wajib memenuhi kualifikasi akademik dan penugasan tenaga laboratorium. Di samping itu juga wajib membangun laboratorium fisika, kimia, biologi dan bahasa.

Manfaat Hasil Akreditasi
Apapun hasilnya, akreditasi sekolah dapat dipetik manfaatnya. Setidaknya dapat dijadikan acuan dalam upaya peningkatan mutu sekolah/madrasah dan rencana pengembangan sekolah/madrasah.

Dalam hal untuk memacu kinerja sekolah, hasil akreditasi dapat dijadikan umpan balik dalam usaha pemberdayaan dan pengembangan kinerja warga sekolah/madrasah dalam rangka menerapkan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, dan program sekolah/madrasah. Disampng itu hasil akreditasi sekolah diharapkan mampu memotivasi sekolah/madrasah terus meningkatkan mutu pendidikan secara bertahap, terencana, dan kompetitif baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional bahkan regional dan internasional.
Dalam aspek teknis, hasil akreditasi dapat dijadikan bahan informasi bagi sekolah/madrasah sebagai masyarakat belajar untuk meningkatkan dukungan dari pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta dalam hal profesionalisme, moral, tenaga, dan dana.

Ki Sugeng Subagya

Pamong Tamansiswa, Pelatih Asesor BAP Daerah Istimewa Yogyakarta.


Artikel ini dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Rabu 2 Desember 2009

Selasa, 24 November 2009

Ujian Nasional

Ada teror di sekolah !!
Ki Sugeng Subagya

MENYUSUL indikasi kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) selama ini, pemerintah memperketat pengamanan. Tidak tanggung-tanggung, tim pemantau independen dan aparat kepolisian dilibatkan. Jika selama ini aparat kepolisian cenderung terlibat dalam pengamanan sistem tertutup, pada tahun 2008 sangat terbuka dengan seragam dinas dan bahkan ada beberapa yang bersenjata laras panjang.

Keterlibatan aparat kepolisian dalam pengamanan Unas terkesan berlebihan. Betapa tidak, satu sekolah sedikitnya mendapat pengamanan dua orang. Sebagian berseragam dan sebagian lainnya tidak. Tidak jarang di banyak sekolah dijaga oleh lebih dari dua orang yang berseragam dan bersenjata. Terlebih sekolah yang menjadi sentra kelompok kerja, pengamanan aparat lebih banyak lagi. Bahkan melibatkan intel dan pasukan elit Detasemen Khusus 88 Anti Teror. Sekolah sebagai tempat penyelenggaraan Unas seperti gelanggang perang.

Banyaknya aparat kepolisian yang mengamankan Unas sistem terbuka, seolah-olah lembaga pendidikan yang bernama sekolah dan komponen-komponen yang ada di dalamnya dipandang memiliki potensi melakukan tindak kriminal. Lebih dari itu, sekolah seakan-akan sudah kehilangan kepercayaan masyarakat sebagai lembaga yang sangat menjunjung tinggi etika dan moralitas. Sekolah dibayangi oleh label baru, ialah bukan lagi tempat transfer nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, tetapi tempat terjadinya tindak kriminal. Guru diragukan kejujuran dan akhlak mulianya. Sosok guru tidak lebih seorang yang berpotensi melakukan kejahatan yang harus ditindak secara represif atas nama hukum.

Asumsi ini semakin kentara ketika kita mengikuti berita media massa penangkapan para guru dan kepala sekolah di Deli Serdang yang diduga melakukan tindak kecurangan. Suasana mencekam terjadi ketika pasukan Densus 88 anti teror Polda Sumut menggerebek suatu ruangan yang disinyalir sebagai tempat mengganti jawaban pada LJK. Ternyata, di mata aparat, guru dan kepala sekolah tidak lebih teroris yang harus diberantas. Hal ini dipertegas oleh Mendiknas Bambang Sudibyo, yang menyatakan bahwa para guru dan kepala sekolah yang terbukti terlibat kecurangan dalam Unas akan dipidanakan.

Korban Teror
Jika selama ini, sebagian para guru dan kepala sekolah, bahkan orangtua siswa dan siswa berpendapat bahwa mereka adalah “korban teror” dari teroris yang bernama Unas. Maka dalam kasus ini justeru para guru dan kepala sekolah yang dianggap sebagai teroris.

Unas dalam formatnya seperti sekarang ini, ada sisi positifnya. Diantaranya dapat memotivasi siswa, orang tua siswa, guru dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meningkatkan prestasi belajar siswa secara maksimal. Tetapi, di sisi yang lainnya dampak negatifnya tidak kurang pula. Banyak kalangan berpendapat bahwa Unas dapat meningkatkan kecemasan yang mengarah depresi bagi siswa, orangtua siswa dan guru. Bahkan Unas sebagai penentu kelulusan disinyalir telah memicu penurunan moralitas guru dan siswa. Tidak jarang, demi predikat lulus cara apapun ditempuh.

Guru dan siswa berbuat curang didorong oleh sebuah sistem. Mereka tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Sesungguhnya mereka adalah bagian dari pihak-pihak yang menjadi korban sistem.

Pelanggaran atas aturan main dan kecurangan di dunia pendidikan, termasuk Unas, memang perbuatan yang tidak dapat ditolerir. Oleh karenanya harus ditindak. Tetapi dengan cara memidanakan para pelaku kecurangan dan pelanggaran Unas bukan langkah bijak. Bukankah pelanggaran dan kecurangan itu lebih kuat nuansa pelanggaran moral dan etika daripada kriminal ?

Memperbaiki Sistem
Persoalannya, apakah dengan menerjunkan aparat kepolisian secara besar-besaran dan memidanakan para pelaku kecurangan dan pelanggaran Unas masalahnya selesai ? Faktanya kecurangan dan pelanggaran tetap terjadi. Dampak ikutan yang tidak terprediksi malah terjadi. Kehadiran aparat yang berlebihan di sekolah sedikit banyak menjadi beban psikologis bagi siswa. Setidaknya beban psikis itu tampak dipermukaan ditunjukkan dengan gugup, tidak tenang dan bahkan menangis tanpa alasan.

Pemidanaan terhadap pelaku kecurangan dan pelanggaran hanya akan menyelesaikan persoalan sesaat. Ada hal lain yang lebih penting, ialah memperbaiki sistem Unas yang mengarah kepada peningkatan mutu pendidikan nasional secara komprehensif. Mengukur mutu pendidikan yang hanya dari aspek akademik dan mengabaikan aspek sikap, perilaku dan budi pekerti jauh dari rumusan tujuan pendidikan nasional.

Pendapat para pemerhati pendidikan yang menganjurkan sistem Unas diperbaiki hendaknya mendapat perhatian pemerintah. Ketika pendekatan input, proses dan out put diterapkan, sesungguhnya tidak pada tempatnya menuntut peningkatan mutu out put terlalu tinggi tanpa didahului oleh peningkatan mutu input dan mutu proses.

Dimuat “Harian Jogja” Rabu, 21 Mei 2008 Halaman 4.

Pendidikan Nasional

Mengembalikan Arah Pendidikan Nasional
Oleh : Ki Sugeng Subagya

Ki Hadjar Dewantara, yang hari lahirnya 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional, meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional tidak sekadar nama, tetapi ia adalah makna. Dengan tiada menolak apa yang asing yang berguna untuk memperkaya jiwa bangsanya, ditumpukan pendidikan pada usaha membangun jati diri bangsa.

Menentang kolonialisme dan feodalisme dengan perjuangan politik hanya akan mampu mengantarkan ke depan pintu gerbang merdeka. Menanamkan jiwa merdeka melalui pendidikan nasional, disamping akan mampu mengantar ke depan pintu gerbang merdeka, sekaligus memberi modal mengisi kemerdekaan

Proses terbentuknya jiwa merdeka akan berlangsung terus. Tetapi tampaknya, melihat fakta yang terjadi saat ini cita-cita mewujudkan jiwa merdeka “simpangannya” semakin jauh dari peta pendidikan nasional yang sudah digambarkan.

Ketika pendidikan hanya sebatas pengajaran, maka intelektualisme tidak dapat lagi dihindari. Akibatnya pengetahuan yang diperoleh sebatas untuk diketahui, bukan untuk diamalkan. Jikapun diimplementasikan maka akan mengutamakan kenikmatan hidup pribadi dengan mengabaikan kepentingan hidup bersama. Segala hal dipandang dari sisi benar salah dan mengabaikan baik buruk. Apalagi penghargaan terhadap nilai-nilai keindahan, jauh dari garapan pengajaran.

Ketika kelulusan dan kenaikan kelas diukur dari capaian angka-angka kognitif semata dan mengabaikan sikap, perilaku, budi pekerti apalagi kecakapan motorik siswa, maka arah menuju intelektualisme semakin kentara. Pengajaran yang seharusnya hanya menjadi bagian dari pendidikan malah mengambil peran lebih kuat.

Taman Kanak-kanak dituntut mengajarkan membaca, menulis dan berhitung. Sekolah Dasar dituntut mengajarkan kajian matematis dan bahasa asing. Sekolah Menengah mengutamakan mata pelajaran bidang akademis dan mengesampingkan pembentukan watak dan penanaman nilai. Perguruan Tinggi hanya mengkaji teori tanpa implementasi. Menunjukkan kuatnya dominasi pengajaran daripada pendidikan.

Jika kemudian tamatan sekolah tidak mampu berkarya di masyarakat, merupakan konsekuensi logis dari berkuasanya pengajaran terhadap pendidikan. Seharusnya pendidikan nasional bertugas membimbing insan yang memiliki kepandaian dan kecakapan yang berguna bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.
Pengajaran telah menghasilkan manusia canggung dalam hidupnya di masyarakat. Mereka hanya bisa hidup “cemanthel” pada orang lain. Akibatnya, hidup dan kehidupannya tergantung pada orang lain. Jika yang dijadikan tempat “cemanthel” jatuh, jatuh pulalah mereka. Benarlah olok-olok Ki Hadjar Dewantara, cicak yang tidak sekolah tahu dimana ia dapat mencari makan, tetapi manusia yang pernah sekolah tidak tahu dimana ia harus mencari makan.
Slogan “tutwuri handayani” dimiliki Departemen Pendidikan Nasional tidak bebas makna.


Tutwuri berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak kepada yang dipimpinnya. Handayani berarti mempengaruhi dengan daya kekuatan, jika perlu dengan paksaan. Hal itu dilakukan apabila kebebasan yang diberikan dipergunakan menyeleweng yang membahayakan bagi dirinya dan orang lain.
Itulah yang disebut Tamansiswa sebagai sistem among. Para pemimpin, termasuk guru, adalah pamong. Pamong, bertugas “ngemong”, ialah memberi kebebasan bergerak menurut kemauan tetapi harus bertindak apabila kebebasan itu berakibat membahayakan keselamatan yang “diemong”.

Kalau dicermati, kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan akhir-akhir ini kental nuansa otoritas. Seolah-olah pemerintahlah yang paling tahu dan mampu menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Salah satu akibatnya semua hal tentang pendidikan serba diatur tanpa memberikan peluang otonomi. Penyelenggaraan pendidikan mengarah pada konformitas. Konformitas itulah yang berbahaya, sebab dapat mematikan identitas diri. .
Pola konformitas tidak mendukung terciptanya pribadi-pribadi yang mandiri. Para siswa dianggap sebagai orang yang terus menerus diperintah. Padahal, tuntutan di masa sekarang memerlukan pribadi-pribadi yang lebih independen, tidak selalu bergantung pada perintah. Itulah akibat jika tutwuri handayani ditinggalkan.

Setelah kemerdekaan politik hampir 63 tahun dilalui, ternyata jiwa merdeka bangsa ini belum tumbuh sempurna. Hal itu setidaknya disebabkan oleh dua hal. Ialah, (1) pendidikan dan pengajaran kita belum memadai untuk terwujudnya cita-cita luhur bangsa Indonesia. Meskipun sebagian kecil warga negara sudah dapat mengenyam pendidikan yang tinggi, tetapi tidak sedikit pula yang masih buta huruf, tidak terlayani pendidikan dan kehidupannya masih tergantung pada orang lain. (2), Isi dan cara-cara pendidikan dewasa ini belum memerdekakan. Kuatnya sistem birokrasi pendidikan tidak jauh dari otoritarisasi pendidikan yang feodalistik menyebabkan hilangnya identitas diri dan menghambat tumbuhnya inovasi kreasi.
Untuk mengatasi hal itu peta pendidikan nasional yang pernah dibuat perlu direntang kembali. Dengan tetap berupaya memperluas dan memeratakan pendidikan untuk seluruh rakyat, maka mengubah dan memperbaharui sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan cita-cita manusia berjiwa merdeka harus dilakukan.
Artikel ini pernah dimuat harian SOLOPOS

Kebangsaan

Meneguhkan kembali kemandirian bangsa
Oleh : Ki Sugeng Subagya

... mardika iku jarwanya; nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa; amandhiri priyangga, wit saka iku den emut, wenang lan wajib ywa pisah.


Penggalan pupuh cakepan tembang “asmaradana” karya Ki Hadjar Dewantara di atas memiliki makna yang sangat dalam. Setidaknya, dengan jelas tergambar hakekat kemerdekaan yang tidak hanya lepas dari kekuasaan orang lain tetapi juga harus mandiri.

Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dibacakan oleh Soekarno/Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Sejak itu bangsa Indoenesia telah lepas dari cengkeraman kuku penjajahan. Kini, setelah 63 tahun kemudian, hakekat kemerdekaan belum terasa.

Merdeka secara politik, ternyata tidak diikuti oleh kemerdekaan ekonomi, sosial, budaya bahkan ideologi. Ada kecenderungan, bangsa Indonesia semakin terperosok dalam kubangan neo-kolonialisme. Perkembangan globalisasi yang mengarah pada kerakusan kapitalisme dan pasar bebas telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa mandiri yang buntutnya menyengsarakan rakyat.

Etos kerja petani Indonesia yang terbiasa pergi ke sawah ladang sebelum subuh dan pulang ke rumah menjelang maghrib telah membudaya. Tetapi kerja keras mereka itu tidak serta merta mengangkat kesejahteraan hidupnya. Keadannya tetap miskin.

Pelaksanaan program atas nama pembangunan untuk kehidupan yang lebih baik, selalu menimbulkan luka menganga bagi wong cilik yang konon akan disejahterakan. Rakyat miskin, pegawai rendahan, petani gurem, nelayan, pedagang kecil, buruh, dan kaum papa yang mestinya mendapat perlindungan justeru harus memikul beban yang semakin berat.

Kekayaan sumber daya alam yang besar hampir tidak berarti bagi kemakmuran rakyat. Orang lain telah menikmatinya sebagai kompensasi atas “kepintarannya” mengolah sumber daya alam milik bangsa ini. Rakyat yang sesungguhnya pemilik sah, dijadikan penonton bahkan korban pengelolaan sumber daya alam yang salah urus. Nasibnya bagai ayam mati kelaparan di lumbung padi.

Kegetiran semakin terasa, pengemban kekuasaan memimpin bangsa ini tidak amanah. Rakyat dan bangsa dituntun mendekati jurang kehancuran. Praktik korupsi pada semua lini baik yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif semakin menambah luka rakyat. Rakyat bagai ditindas oleh bangsanya sendiri.

Ternyata, bagi bangsa Indonesia, proklamasi kemerdekaan saja belum cukup. Oleh karena itu diperlukan proklamasi baru, ialah proklamasi kemandirian.

Tanpa kemandirian tidak akan ada kemerdekaan hakiki. Kemerdekaan yuridis formal secara politis sesungguhnya hanyalah pintu gerbang menuju kemerdekaan hakiki. Apakah gunanya kemerdekaan yuridis formal jika jiwa bangsa Indonesia masih jemajah ? Demikianlah Ki Mohammad Said Reksohadiprodjo pernah mengatakan kepada penulis.

Jemajah disebabkan oleh tipisnya rasa tanggungjawab secara nasional. Rasa tanggung jawab atas nasib bangsa secara keseluruhan terkalahkan oleh kepentingan pribadi, keluarga, golongan dan kelompoknya. Masa bodoh untuk bangsa dan negara ! Semangat kompetisi untuk meraih kekuasaan, kekayaan, dan kesempatan untuk kepentingan diri dengan menghalalkan segala cara membuka peluang masuknya penjajahan baru dalam segala bentuknya. Demikian halnya penerapan aji mumpung dengan mengorbankan harga diri, menunjukkan bentuk ketidakberdayaan atas tekanan pihak lain.

Teks proklamasi bangsa mandiri, sebagaimana teks proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, hendaknya dirumuskan dengan kalimat yang tidak panjang. Ialah singkat, padat, cermat dan keramat. Cukup dengan dua kalimat. “Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemandirian Indonesia. Hal-hal mengenai transformasi sikap mental dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.

Makna proklamsi kemandirian sesungguhnya adalah transformsi. Ialah transformasi sikap mental jemajah ke sikap mental tanggungjawab nasional. Tanggungjawab nasional harus dibangun melalui kemampuan berpikir dan bertindak pula secara efektif, efisien, pragmatis dan bijaksana.

Untuk dapat berpikir dan bertindak efektif, efisien dan pragmatis diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta organisasi dan mekanisasi.

Untuk dapat berpikir dan bertindak bijaksana diperlukan jiwa yang dewasa. Ciri-ciri pokok jiwa dewasa adalah realistis, konsisten, kritis dan obyektif. Merasa sejahtera dan bahagia dalam keadaan apapun dengan tetap bekerja keras membangun masyarakat merupakan ciri yang lainnya. Dengan demikian keselarasan antara kedaulatan diri dan rasa harga diri akan terpelihara dengan baik.

Untuk merdeka, bangsa ini harus mandiri. Untuk mandiri, anak-anak bangsa ini harus makarya. Dengan makarya, orang akan memiliki kedaulatan diri. Jangan berharap dapat merdeka tanpa memiliki kedaulatan diri.

Sebaiknya momentum peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2008 ini dijadikan pula sebagai momentum untuk proklamasi bangsa mandiri. Setidaknya diproklamasikan sendiri dalam diri setiap anak bangsa Indonesia. Semoga.-

Artikel ini pernah dimuat harian SOLOPOS.