Laman

Selasa, 11 Oktober 2011

Pembelajaran Berkarakter

Memaknai Pembelajaran Berkarakter
Ki Sugeng Subagya
Guru-guru Pendidikan Agama Katolik yang tergabung dalam Musyawarah Guru Matapelajaran Agama Katolik (MGMP PAK) Sekolah Menengah Kota Yogyakarta  merasa terinspirasi atas sebuah contoh pembelajaran berkarakter tanpa harus memaksa diri memasukkan dalam materi pembelajaran.
Beberapa pengajar Matematika di Sulawesi Selatan merasa tidak mampu memasukkan  satu atau dua dari delapan belas nilai karakter dalam silabus dan Rancangan Program Pembelajaran (RPP). Kesulitan yang sama juga dihadapi oleh para guru matapelajaran Ekonomi di Sumatera Barat yang harus memandang nilai-nilai karakter sebagai hal positif belaka dan diadopsi oleh tema negatif dalam pembelajaran, misalnya mengenai pengangguran.    
Dari contoh-contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran masih menemui kendala. Hal itu masih diperparah oleh pihak-pihak tertentu yang memandang pengintegrasian nilai karakter dalam pembelajaran sebatas formalitas tanpa makna. Meskipun silabus dan RPP yang disusunnya  rapi-jali mencantumkan nilai-nilai karakter sebagai muatannya, namun dalam praktiknya pembelajaran tidak berbeda dengan yang selama ini berlangsung.
Jebakan 18
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan nilai-nilai karakter  menjadi 18 butir; ialah  (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial dan (18) tanggung jawab.
Nilai-nilai tersebut diharapkan menjadi kunci penuntun pembelajaran berkarakter dalamrangka pendidikan karakter. Identifikasi nilai-nilai karakter dalam 18 butir dimaksudkan dapat mempermudah para guru menyelenggarakan pembelajaran berkarakter.
Maksud baik ternyata berbeda dengan kenyataannya di lapangan. Para guru telah terjebak oleh 18 butir nilai-nilai karakter. Jika guru tidak mampu memasukkan satupun dari 18 butir nilai karakter dalam materi pembelajaran maka  belum termasuk mampu menyelenggarakan pembelajaran berkarakter. Jika guru hanya mampu memasukkan nilai-nilai; cermat, teguh pendirian, legawa,  memaafkan, santun, dsb. yang tidak termasuk 18 butir nilai karakter belum pula dianggap  berhasil menyelenggarakan pembelajaran berkarakter.
Sementara pihak khawatir, nasib pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah akhirnya tidak lebih baik dengan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Penataran P-4 di masa lalu jika orientasinya hanya formalitas dan rutinitas.
Re-orientasi
Formalitas dalam pendidikan karakter harus dicegah sedini mungkin. Bukan hanya karena hal itu tidak bermakna, pada saatnya formalitas akan menjadi rutinitas. Upaya perbaikan dari sisi manapun pendidikan akan gagal membentuk manusia berkarakter jika hanya sebatas formalitas dan rutinitas. Terlebih jika guru tidak mampu mengelola rutinitas dalam pembelajaran, maka kejenuhan dan kemandegan yang akan terjadi.
Pembelajaran berkarakter harus bermakna. Pelatihan dalamrangka re-orientasi pendidikan karakter perlu dilakukan. Sebagaimana disarankan buku A Teacher Is Many Things (Pullias, 1979)  bahwa mengajarkan satu pelajaran selama berpuluh tahun bisa menghilangkan gairah mengajar. Jika pengalaman itu membosankan guru, sudah pasti ia juga akan membosankan siswa.
Pelatihan guru ditekankan setidaknya untuk dua hal, ialah (1) mengentaskan guru agar tidak terjebak oleh “mitos” 18 butir karakter, dan (2) meningkatkan kemampuan guru agar mengintegrasikan nilai-nilai karakter tidak hanya sebatas materi pelajaran.
Guru diberi keleluasaan untuk mengembangkan sendiri nilai-nilai karakter yang akan diiintegrasikan dalam pembelajarannya. Menggali nilai-nilai karakter yang tumbuh dan berkembang di masyarakat akan menjadikan pembelajaran berkarakter lebih bermakna.
Orientasi mengintegrasikan nilai karakter sebatas pada materi pelajaran sangat menyulitkan guru. Oleh sebab itu, guru harus diberikan pelatihan mengasah kemampuan untuk menyelenggarakan pembelajaran berkarakter dari strategi yang berbeda, misalnya memilih metode pembelajaran, mengorganisasikan kelas, dan menentukan jenis tagihan dalam penilaian.  
Dari semua itu yang tidak kalah pentingnya ialah terus menerus menanamkan esensi pendidikan karakter melalui keteladanan. Kata Ki Hadjar Dewantara, ing ngarsa sung tuladha. Di depan menjadi contoh. Guru adalah model dalam pendidikan karakter. Kedewasaan bersikap dan bertindak seorang guru cara siswa belajar nilai-nilai karakter yang sesungguhnya.

Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.-

Artikel dimuat Harian PIKIRAN RAKYAT Bandung, Senin, 10 Oktober 2011 Halaman 26

1 komentar: