Laman

Sabtu, 07 Februari 2009

Problematika Pendidikan Budi Pekerti


Problematika Pendidikan Budi Pekerti
Oleh : Ki Sugeng Subagya

Peraturan daerah Kota Yogyakarta tentang sistem penyelenggaraan pendidikan, mencamtumkan pendidikan budi pekerti sebagai muatan lokal isi pendidikan. Sebagai langkah awal antisipatif pemberlakuan Perda tersebut, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta menyelenggarakan Diklat Pendidikan Budi Pekerti untuk Guru. Dari kegiatan diklat, ternyata muncul berbagai problematika pendidikan budi pekerti yang perlu mendapat perhatian.


Ketika anak-anak dianggap sudah tidak lagi santun. Hidup dan kehidupan masyarakat diwarnai dengan fitnah, ketidakjujuran bahkan kekerasan. Hal ini mengindikasikan penghayatan terhadap nilai-nilai moral sebagai penuntun sikap dan perilaku mulai luntur. Pendidikan yang dilaksanakan selama ini disadari belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan anak didik menuju manusia yang utuh. Nampaknya sekolah kurang mampu membantu siswa untuk bersikap dan berperilaku yang lebih manusiawi. Pendidikan belum memberikan kontribusi terhadap terbentuknya rasa tanggungjawab, pengamalan sopan santun, dan menghargai orang lain sebagai sesama manusia dan makhluk Tuhan.

Sekolah cenderung memberi penekanan pada pendidikan kognitif yang mengarah kepada kepandaian akal, bukan kecerdasan budi. Beberapa sekolah malah hanya mengarahkan siswanya semata-mata untuk mengejar Nilai Ujian Akhir yang tinggi. Ada sekolah pada semester terakhir hanya mengajarkan matapelajaran yang akan di-Unas-kan saja. Dalam konteks ini, telah terjadi pendangkalan makna pendidikan yang semakin parah, ialah keberhasilan pendidikan di sekolah hanya diukur dengan perolehan Nilai Ujian Akhir.

Diakui atau tidak, pendidikan kita telah gagal membentuk akhlak mulia. Pendidikan moral hanya dalam ucapan dan konsep, tetapi tidak dalam realita. Akibatnya orang yang mengaku terdidik, bermoral hanya dalam perkataan, tetapi tidak dalam perbuatannya. Perilakunya justeru kurang atau bahkan tidak bermoral.

Dahulu, para guru kita mampu mengintegrasikan dengan baik pendidikan budi pekerti itu dalam kegiatan pembelajaran. Oleh sebab itu muatan pendidikan moral dalam dongeng, menulis halus, bahasa daerah, kesenian daerah, menyanyi, “nembang”, menari, drama, dan lain sebagainya, masih sangat membekas dalam sanubari anak didik.

Persoalannya, ketika kita memberlakukan kurikulum dengan padat muatan dan pesan, sedang kemampuan para guru cenderung lebih dominan menguasai bahan ajar akademik, nampaknya upaya mengintegralkan pendidikan budi pekerti dalam materi pembelajaran akan sangat sulit dan kecil kemungkinannya berhasil.

Melihat struktur program kurikulum yang sudah tidak mungkin diberi muatan pendidikan budi pekerti, hemat penulis sedikitnya ada dua alternatif solusi yang bisa ditawarkan, ialah melalui pendekatan idealistik dan melalui pendekatan praktis.

Inti dari pendekatan idealistik ialah keteladanan. Melalui keteladanan yang diberikan oleh para pendidik, siswa dengan sendirinya belajar budi pekerti. Sebab hakekat “ing ngarsa sung tuladha” sebagai konsep trilogi kepemimpinan pendidikan adalah menjadi teladan bukan sekadar memberi contoh.

Pendekatan praktis dalam pendidikan budi pekerti dapat ditempuh dengan menjadikan pendidikan budi pekerti sebagai matapelajaran tersendiri yang dicantumkan dalam struktur program kurikulum. Konsep pendekatan praktis didasari oleh landasan berpikir bahwa tidak mungkin seorang anak akan mau dan mampu melakukan sesuatu jika tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal yang akan dilakukan itu.

Pengetahuan tentang kejujuran, swa-disiplin, menghargai orang lain, kasih sayang, ramah tamah, penghormatan, cinta tanah air, dan lain-lain, sudah agak jauh dari benak anak didik. Agar anak memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai luhur tersebut maka harus diajarkan dalam bentuk ilmu pengetahuan.

Namun memilih pendekatan praktis sebagai cara menanamkan kembali nilai-nilai budi pekerti luhur bukan tanpa resiko. Pengalaman guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP) dapat dijadikan referensi. Ketika didapati “anak nakal” di sekolah, maka guru BP-lah yang dianggap paling bertanggungjawab. Bukan tidak mungkin apabila Budi Pekerti dijadikan matapelajaran, jika terjadi kemerosotan moral anak didik, maka guru budi pekerti-lah yang dianggap paling bertanggungjawab.

Seharusnya, mengembalikan keluarga sebagai pusat pendidikan budi pekerti utama merupakan alternatif yang paling tepat dipilih. Untuk itu menjadikan orangtua sebagai pendidik budi pekerti adalah hal yang tidak boleh ditawar. Kembalikan fungsi pendidikan keluarga sebagaimana seharusnya, ialah tempat interaksi pengembangan kecerdasan budi, mengasah akhlak dan membangun peradaban. Dari keluargalah sesungguhnya pendidikan budi pekerti harus disemaikan.

Ki Sugeng Subagya
Ketua Tim Pengembang Pendidikan Budi Pekerti Majelis Ibu Pawiyatan Tamansiswa.

3 komentar:

  1. TERIMA KASIH TULISANNYA, MEMBUKA MATA HATI PEMBACA UNTUK PEDULI DENGAN MASALAH-MASALAH YANG TERJADI PADA GENERASI MUDA. TERUS BERKARYA.

    BalasHapus
  2. TERIMA KASIH ATAS DUKUNGANNYA, SEMOGA BANGSA INI TIDAK LAGI KEHILANGAN JATI DIRINYA UNTUK KESEKIAN KALINYA.......

    BalasHapus
  3. bagaimana secara konkrit penerapan budi pekerti supaya jagan hanya teori saja pusing juga yan sebagai pendidik kalau tidak didukung lingkungan and keluarga

    BalasHapus