Laman

Selasa, 27 Januari 2009

Salahkaprah Pembelajaran TK


Salahkaprah Pembelajaran Taman Kanak-kanak

Oleh : Ki Sugeng Subagya

Meskipun menurut ketentuan otoritas pendidikan pada bulan Januari-Februari belum waktunya penerimaan peserta didik baru (PPDB), namun ada bebarapa sekolah terutama TK dan SD sudah menerima pendaftaran murid baru. Ironisnya, PPDB tersebut memberlakukan seleksi berdasar kemampuan intelektual calon siswa.

Menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, sungguh tidak proporsional jika sejumlah SD melakukan uji baca, tulis dan berhitung bagi calon siswanya. Jika hal itu yang terjadi maka sekolah tersebut dapat dikategorikan sebagai menghambat layanan wajib belajar.

Ketentuannya, kemampuan membaca, menulis dan berhitung tidak dipergunakan sebagai alat seleksi masuk sekolah dasar (SD). Prinsipnya, calon siswa SD yang berusia 7 tahun harus diterima, sedangkan bagi yang berusia 6 tahun dapat diterima di kelas I SD, selama daya tampungnya memungkinkan. Oleh sebab itu tamat Taman Kanak Kanak (TK) bukan merupakan prasyarat masuk SD.

Praktiknya ada sebagian besar SD yang mensyaratkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung serta tamat TK sebagai pertimbangan dapat diterima tidaknya calon siswa, disamping usia. Mengutip Ki Hadjar Dewantara, kita sebagai bangsa memang cakap membuat aturan, namun ternyata tidak cakap mematuhinya.

TK merupakan pendidikan pra-sekolah. Dengan demikian bukan jenjang yang tepat untuk belajar membaca, menulis dan berhitung. Apabila dipaksakan, maka telah terjadi pemaksaan atas beban belajar di luar batas kemampuan rata-rata anak berdasar usianya. Jika hal ini yang terjadi maka sesungguhnya rusaknya pendidikan anak-anak bukan disebabkan oleh pihak lain, melainkan oleh guru sendiri.

Rusaknya pendidikan anak-anak yang dilakukan oleh guru bukan tanpa sebab. Faktor orangtua sangat berperan. Kebanyakan orangtua sangat bangga jika anaknya yang berusia pra-sekolah sudah mampu membaca, menulis dan berhitung. Sementara itu, ada guru SD yang malas memberikan pelajaran membaca, menulis dan berhitung permulaan oleh karena kebijakan sekolah dan/atau keterbatasan kemampuan. Maunya mereka “terima jadi”, biarkan anak-anak belajar membaca, menulis dan berhitung kepada guru TK, sekalipun hal itu belum waktunya. Nah, bagai “tumbu oleh tutup”.

Persepsi masyarakat, TK bermutu adalah yang memberikan pelajaran membaca, menulis dan berhitung. SD bermutu adalah yang mengajarkan pengetahuan intelektual pada kelas rendah, sehingga anak-anak nampak lebih pintar. Sekolah-sekolah inilah yang kemudian dikategorikan sebagai favorit.

Secara empiris terbukti, TK yang tidak mengajarkan membaca menulis dan berhitung sangat sulit mendapat siswa. Demikian juga SD yang baru mengajarkan membaca, menulis dan berhitung permulaan di kelas I, cenderung kekurangan siswa. Sebaliknya, TK dan SD yang melakukan “salah kaprah” atas pembelajaran membaca menulis dan berhitung permulaan diserbu dan menolak calon siswa. Lebih parah lagi, penyelenggara TK dan SD yang seharusnya meluruskan paradigma keliru tersebut, malah turut serta mengeksploitasi kesalahkaprahan.

Dalam teori pendidikan klasik, mendidik anak-anak pra-sekolah dan kelas-kelas rendah belum untuk memberi pengetahuan intelektual. Pendidikan lebih ditekankan pada usaha menyempurnakan rasa. Oleh karena itu yang harus dikembangkan adalah kecerdasan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan pengendalian emosinya. Dengan demikian maka pendidikan pra-sekolah sesungguhnya ditekankan tentang bagaimana menumbuhkan perasaan senang berimajinasi, menggunggah dan menggali hal-hal kecil di sekitarnya. Jika anak sudah senang terhadap hal-hal tersebut maka dengan sendirinya minat dan potensi akademiknya akan tumbuh tepat pada waktunya, ialah ketika tantangan dan tuntutan hidupnya semakin besar. Seharusnya pelajaran panca indera dan permainanlah yang menjadi muatan utama pendidikan pra-sekolah. Sebab pelajaran panca indera dan permainan dimaksudkan sebagai pekerjaan lahir untuk mendidik batin. Di dalam hidupnya anak-anak, permainan adalah hal yang sangat penting. Bermain adalah pekerjaan utama anak-anak. Oleh sebab itu anak-anak akan mengisi seluruh waktunya untuk bermain.

Dalam kegiatan belajar anak-anak, seharusnya guru bagai tukang kebun yang bertugas menyirami, memberikan pupuk, menyiangi dan menjaga tanaman dari gangguan hama dan penyakit. Biarkan mereka tumbuh dengan sendirinya, terkecuali arah tumbuhnya “mbedhal” dari jalur yang benar maka guru hendaknya bertindak. Inilah makna sasanti pendidikan nasional kita “tutwuri handayani”.

Akibat rusaknya pendidikan anak-anak dewasa ini sudah dapat dirasakan. Dari tidak senangnya anak-anak belajar sehingga tidak “kerasan” berada di sekolah, sampai dengan adanya anggapan oleh sebagian anak-anak bahwa sekolah adalah penjara.

Ketimpangan tumbuhnya jiwa raga anak sangat terasa ketika kedewasaan berpikir rasional lebih cepat dibanding perkembangan kecakapan spiritual, sosial dan emosional. Tumpulnya empati dan simpati anak didik merupakan akibat “tumbuh terlalu cepat”. Segala sesuatu oleh anak dipikirkan dalam pendekatan benar dan salah dengan mengesampingkan pendekatan baik dan buruk.
Untuk itu, kesalahkaprahan dalam pendidikan anak yang nampak benar ini harus segera disadari untuk diakhiri. Kembalikan anak-anak ke alamnya, ialah alam bermain dan alam panca indera.

4 komentar:

  1. salam kenal pak...
    saya guru tk juga yang berlokasi di pedesaan dan sepertinya saya juga korban salah kaprah thanks bwt artikelx cool gitu loh

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas kunjungannya di blog saya. Sebaiknya kita kembalikan nilai-nilai pendidikan nasional sebagaimana "kithah"nya. Bebaskan pendidikan anak dari perintah dan paksaan. Semoga.-

    BalasHapus
  3. Bagaimana pak dgn isi buku dr pelajaran SD itu sendiri di tuntut untuk segera memahami isi bacaan yg di maksud,sehingga sebagai guru TK sendiri kebingungan di satu sisi tidak boleh di tekankan dlm hal membca sedang SD yg mewajibkan siswanya langsung bisa baca

    BalasHapus
  4. Saya sangat menghargai para penulis buku yang SD kelas rendah yang mau merubah orientasi belajar membaca menulis permulaan dari mengenal dan merangkai huruf, bukan dari bacaan lecture. Faktanya para guru SD kita sangat bergantung pada buku teks. Saya lebih berapresiasif kepada guru yang mau melaksanakan pembelajaran tematik permulaan bukan dari bacaan, tetapi mulai dari gambar, simbol, model, dan peraga lainnya. Tumbuhkan anak-anak karya inovatif dan kreatifitasnya, bukan sekadar menghapal huruf dan angka. Terimakasih.

    BalasHapus