Sugeng Subagya, lahir dari keluarga kecil di desa yang masuk wilayah kecamatan lereng Merapi, Cangkringan, pada tanggal 27 Desember 1962. Dibesarkan dalam rengkuhan pendidikan kaum tani miskin dan genggaman masyarakat tradisional yang masih sangat kuat memegang adat istiadat, kesenian, kekeluargaan, gotong royong dan kasak-kusuk. Lepas menuju gelanggang modernisasi masyarakat pada saat yang tidak tepat, hati dan kaki masih berada di desa, tetapi kemauan atas tuntutan harus menginjak jagad hingar-bingar globalisasi. Bingung !!
Jadilah ia pekerja keras yang menghadapi segala sesuatu dengan senang hati, tanpa beban. Dikaruniai sedikit saja kesabaran, karenanya gampang patah arang. Ketika terjatuh dan kemudian bangkit, ketika tertidur dan kemudian bangun, ketika pingsan dan kemudian tersadar, ketika gagal dan kemudian ....... putus asa. Hanya isteri, anak-anak, dan ibunya yang mendorongnya untuk kembali bergerak. Menunda pekerjaan adalah kebiasaan buruknya yang ia sadari namun sulit untuk ditinggalkan. Entah mengapa !!.
Warisan ibunya, Sutinem, “kau sekolahlah karena ibumu tidak mampu mewariskan yang lain kecuali itu”. Terima kasih ibu !!
Perkawinannya dengan putri Klaten kelahiran Gorontalo, Dra. Dewi Ratna Praptiwi, yang ternyata isteri yang sangat ikhlas, lahirlah tiga putra-putri, Iptania Jayendra Dewi, puteri sulung yang lugu dan pendiam namun “gampang patah”, Herninanjati Paramawardhani, putri kedua yang hiperaktif dan “pinter ngemong” tetapi “sedikit pemberontak”, Pranatama Kesdihandaru, putra ketiga yang agak cerdas dan “gathekan” tetapi “tipikal antasena”. Terima kasih isteriku. Untuk anak-anakku, sekolahlah kamu karena Bapak tak mampu mewariskan yang lain kecuali itu.
Pendidikannya diselesaikan dari tingkat Sekolah Dasar di Cangkringan, Sekolah Menengah Pertama di Ngemplak, Sekolah Pendidikan Guru di Bogem Kalasan dan IKIP YOGYAKARTA di Yogyakarta. Magister Manajemen diselesaikannya di STIE Mitra Indonesia Yogyakarta.
Guru adalah pekerjaannya, sedangkan jabatan yang pernah dipegang adalah Kepala SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan Tamansiswa Kota Yogyakarta dari tahun 1996 sampai pertengahan Juli 2004. Jabatan lainnya dalam berbagai organisasi masih dan telah dipegangnya, baik dalam lingkup sosial, pendidikan maupun bisnis. Di luar tugas pokoknya masih sempat menangani sebuah lembaga konsultasi kewirausahaan dan inovasi bisnis “Jangkauan Kedepan” disingkat “Jangkepan” di Yogyakarta. Menjadi konsultan pendidikan adalah sampingan lainnya yang membawanya belajar dan terus belajar.
Tamansiswa ternyata melengkapi hidupnya lebih dari sekedar tempat untuk mencari nafkahnya. Ia banyak belajar mengarungi hidup dan kehidupan dari “thethek bengek” yang disebut “ketamansiswaan” itu. Prinsip berkaryanya : “sing setuju ayo melu, sing ora setuju aja ngganggu” diambilnya dari kata indah Ki Hadjar Dewantara yang penuh makna filosofi, dalam koridor “ukuran kaping sekawan”-nya Ki Ageng Suryomentaram. “Ngudi urip kepenak bareng”, kata Ki Nayono, orang yang diidolakan sekaligus diseganinya. Terima kasih Tamansiswa, engkau selalu dilingkungi merah dan putih.
Guru adalah pekerjaannya, sedangkan jabatan yang pernah dipegang adalah Kepala SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan Tamansiswa Kota Yogyakarta dari tahun 1996 sampai pertengahan Juli 2004. Jabatan lainnya dalam berbagai organisasi masih dan telah dipegangnya, baik dalam lingkup sosial, pendidikan maupun bisnis. Di luar tugas pokoknya masih sempat menangani sebuah lembaga konsultasi kewirausahaan dan inovasi bisnis “Jangkauan Kedepan” disingkat “Jangkepan” di Yogyakarta. Menjadi konsultan pendidikan adalah sampingan lainnya yang membawanya belajar dan terus belajar.
Tamansiswa ternyata melengkapi hidupnya lebih dari sekedar tempat untuk mencari nafkahnya. Ia banyak belajar mengarungi hidup dan kehidupan dari “thethek bengek” yang disebut “ketamansiswaan” itu. Prinsip berkaryanya : “sing setuju ayo melu, sing ora setuju aja ngganggu” diambilnya dari kata indah Ki Hadjar Dewantara yang penuh makna filosofi, dalam koridor “ukuran kaping sekawan”-nya Ki Ageng Suryomentaram. “Ngudi urip kepenak bareng”, kata Ki Nayono, orang yang diidolakan sekaligus diseganinya. Terima kasih Tamansiswa, engkau selalu dilingkungi merah dan putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar