Laman

Sabtu, 04 April 2009


SBI Seharusnya Tidak Ekslusif
Ki Sugeng Subagya

UU No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3) berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional “. Amanat penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan daya saing dan mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan.

Respon para penyelenggara pendidikan, baik pemerintah maupun masyarakat, merealisasi SBI sangat positif. Pada tahun 2007 rintisan SBI jenjang SMP sebanyak 100 sekolah negeri dan dua sekolah swasta pada 26 provinsi dan 94 kabupaten/kota se Indonesia. Sedangkan pada tahun 2008 jumlahnya berkembang hampir dua kali lipatnya. Sementara itu, untuk SMA telah dirintis lebih dari 200 sekolah baik negeri maupun swasta pada tahun 2008. Demikian pula respon masyarakat memanfaatkan SBI juga sangat besar. Pada tahun 2009 ini diperkirakan semakin banyak sekolah mengajukan diri menyelenggarakan program SBI.

Model dan Kriteria
Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan SBI, terdapat dua model penyelenggaraan rintisan SBI, ialah (1) rintisan SBI yang dibina oleh pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, dan (2) rintisan SBI yang dibina langsung oleh pemerintah daerah tanpa pembinaan pemerintah pusat atau disebut dengan rintisan SBI mandiri.

Substansi SBI adalah sekolah yang telah memenuhi indikator kinerja kunci minimal dan kinerja kunci tambahan. Ialah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan plus ciri-ciri keinternasionalan.

Siswa SBI adalah mereka yang dianggap sebagai bibit-bibit unggul yang telah diseleksi ketat dan yang akan diperlakukan secara khusus. Jumlah siswa dalam satu rombongan belajar dibatasi antara 24-30 orang. Kegiatan belajar mengajar menggunakan bilingual. Pada tahun pertama bahasa pengantar yang digunakan 25 persen bahasa Inggris dan 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia.

Siswa diprioritaskan untuk belajar ilmu eksakta dan teknologi informasi. Oleh karena itu siswa kelas khusus ini diberi fasilitas belajar tambahan berupa komputer dengan sambungan internet. Kurikulum ‘berstandar internasional’ diformulakan sebagai SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan sedangkan X adalah penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional umpamanya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO.

Pendanaan
Menyelenggarakan SBI dengan kualifikasi seperti itu tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam taraf rintisan saja pemerintah pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun untuk setiap sekolah. Padahal pola pendanaan SBI menurut perbandingan 5:3:2. Artinya, pemerintah pusat menanggung 50%, pemerintah provinsi 30% dan pemerintah kabupaten/kota 20%. Jika 300 juta rupiah diasumsikan sebagai 50% dana rintisan SBI yang merupakan kewajiban pemerintah pusat, maka setiap sekolah sedikitnya membutuhkan dana 600 juta rupiah untuk menyelenggarakan rintisan SBI.

Dengan alasan keterbatasan dana, akhirnya pemerintah memutuskan setiap kabupaten/kota hanya menyelenggarakan satu sekolah rintisan SBI model yang dibina langsung pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupetan/kota. Jika pemerintah daerah menghendaki menyelenggarakan rintisan SBI lebih dari satu sekolah setiap kabupaten/kota maka termasuk dalam model yang tidak dibina langsung oleh pemerintah pusat atau dalam kategori mandiri.

Berapa dana yang harus dikeluarkan oleh orang tua yang ‘ngebet’ dengan rintisan SBI mandiri ? Yang jelas orang tua harus merogoh koceknya dalam-dalam. Hanya orang tua yang berkemampuan ekonomi tinggi saja yang bisa memasukkan anaknya dalam program rintisan SBI. Sayang, keadaan yang demikian dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk menangguk untung. Dengan dalih menyelenggarakan rintisan SBI dikeruknya dana masyarakat. Tak ayal SBI menjadi ekslusif.

Rintisan SBI mandiri adalah program prestisius dengan biaya tinggi. Muncullah olok-olok sementara orang, SBI adalah sekolah bertarif internasional. Akibatnya, kesempatan warga negara kurang mampu mengakses pendidikan bermutu sangat terbatas. Tanpa modal finansial cukup, mustahil dapat mengenyam pendidikan bertaraf internasional itu. Perlu pemikiran pemanfaatan anggaran pendidikan yang 20 % APBN untuk memfasilitasi mereka yang berkemampuan akademik tinggi, namun kemampuan ekonominya rendah. Dengan demikian SBI dapat diakses oleh siapapun dan tidak ekslusif. Semoga.-

Penulis adalah Pamong Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan.

Keterangan : Artikel ini dimuat Harian Umum PELITA pada hari Rabu, 28 Maret 2009.

2 komentar:

  1. Kulo nuwun pak. Kenalkan saya Idah Maulidah. Saya alumni FSP FIP IKIP Yogya tahun 1986. Kawan satu angkatan dengan Mas Imam SAmroni. Saya baca komen bpk di bolgnya mas imam, jadi saya buka blog bapak.
    SBI memang sangat eksklusif.Dengan aktifitas segudang anak dibuat terkungkung di sekolah selama hampir 8 jam. Siswa bahkan hampir tidak punya waktu berkomunikasi dengan teman tetangga bahkan dengan keluarga di rumah. Anak nampaknya di ISOLASI agar tercipta manusia gila kerja. Namun, pak yang lebih parah adalah guru SBI. Saya punya teman yang mencoba meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya, namun selalu mentok. Di kelas dia mengajar dengan bhs Indonesia kemudian diterjemahkan oleh siswanya dengan bahasa Inggris. Ironis sekali kan pa?

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas kunjungannya ke blog saya. Itulah faktanya, bahwa orientasi pendidikan untuk membangun jiwa merdeka telah terang-terangan diingkari baik dalam konsep maupun dalam proses. Hasilnya, pendidikan malah membelenggu kita semua. Sudilah kiranya kita mau kembali nilai-nilai pendidikan nasional yang memerdekakan untuk diimplementasi. Salam.

    BalasHapus