Kepahlawanan Anti Korupsi Kasimo
OLEH KI SUGENG SUBAGYA
Pemahaman tentang hak kepemilikan I.J. Kasimo
(1900-1986) dapat dijadikan rujukan pendidikan anti korupsi. Wek-ku, Wek-mu, dan Wek-e dhewe. Demikian
Harry Tjan Silalahi menggambarkan konsep
Kasimo tentang kepemilikan secara sederhana. Milikku adalah wek-ku, milikmu adalah wek-mu,
dan milik rakyat atau negara adalah wek-e dhewe.
Merestorasi konsep kepemilikan I.J Kasimo sedang dalam momentum yang
tepat. Bukan hanya karena bangsa Indonesia
sedang kesulitan menemukan figur teladan anti korupsi, lebih dari itu mencari logika
penjelas perilaku korupsi yang semakin merajalela
juga sulit didapat.
Dalam kondisi ekonomi yang semakin baik, sejalan dengan
itu perilaku koruptif semakin subur. Menurut logika awam, jika faktor ekonomi
menjadi penyebab perilaku koruptif, membaiknya kondisi ekonomi seharusnya
berbanding lurus dengan berkurangnya perilaku koruptif.
Jika perilaku koruptif disebabkan oleh
ketidaktahuan, semakin banyak penduduk berpendidikan tinggi mestinya tindak korupsi berkurang.
Ditempa Tri-pusat
Pendidikan
Memahami konsep kepemilikan I.J Kasimo dapat dirunut
dari latar belakang kehidupannya. Hidup dalam kesederhanaan mewarnai
hari-harinya, baik ketika masih kanak-kanak maupun setelah menjadi pejabat
negara. Tampaknya, kesalehan personal yang menjadi karakter I.J Kasimo
terbentuk oleh lingkungan pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakatnya. Dan
kesalehan personal itu kemudian mewujud
menjadi kesalehan sosial.
Lahir dan dibesarkan dalam lingkungan abdi dalem Keraton
Yogyakarta, tentu banyak yang mempengaruhi alam bawah sadar I.J Kasimo. Keraton
adalah sumber kearifan, martabat, peradaban, dan humaniter. Memasuki sekolah ongko loro mengantarkannya
memahami dunia luar yang lebih luas. Kemandiriannya tergembleng saat masuk
asrama sekolah guru di Muntilan dan kemudian sekolah pertanian di Bogor.
Hidup dalam lingkungan masyarakat terjajah
menggerakkan nalurinya untuk menuntut persamaan hak atas kemerdekaan. Pembelaan
terhadap kaum lemah, rakyat tertindas, dan pribumi diwujudkan dalam pengorbanan
tanpa pamrih untuk menyejahterakan mereka.
Jika kemudian pengaruh pendidikan keluarga, sekolah,
dan masyarakat itu akhirnya mewujud dalam sebuah identitas bahwa I.J Kasimo
adalah orang biasa yang mempresentasikan jiwa zamannya dengan menghadirkan nilai
budaya, intelektual, keadaban, maka kesederhanaan adalah kata tepat untuk
mengistilahkan kesalehan sosialnya. Posisinya selalu diletakkan pada upaya
mencapai kemamuran rakyat dan jauh dari kepentingan pribadi, golongan,
maupun tujuan personalnya.
Sebagai seorang menteri, I.J Kasimo menuangkan
cita-citanya dalam “Plan Kasimo”. Untuk
kemakmuran rakyat digagas kebijakan pangan dengan memanfaatkan lahan tidur,
intensifikasi pertanian, memperbanyak kebun bibit unggul, pencegahan hewan
pertanian untuk disembelih, dan pemberdayaan lahan bekas perkebunan di Sumatera
dengan memindahkan penduduk dari Jawa. Kegigihannya membela
kepentingan rakyat dengan upaya memakmurkan rakyat disempurnakan dengan
keterlibatan secara aktif dalam pemberantasan korupsi. Inilah wujud prinsip hidupnya yang sederhana,
jujur, dan tidak semata duniawi.
Memahami
Falsafah Jawa
Sebagai orang Jawa, I.J Kasimo tidak
sulit mengakses pemikiran-pemikiran seperti “sugih
tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”. Untuk menjadi kaya tanpa harta, sakti tanpa
azimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan, hanya
dapat dicapai apabila didasari oleh pengabdian tulus ikhlas tanpa pamrih. Sepi ing pamrih rame ing gawe.
Kaya tanpa harta dapat diwujudkan manakala
dapat memberi apa yang dapat diberikan tanpa berharap ia dapat memperoleh
sesuatu atas pemberiannya itu. Sedangkan sakti tanpa azimat dapat diwujudkan
ketika merasa berharga dan terhormat tanpa harus memiliki kedudukan sosial dan
kekuasaan. Ketika kekuasaan sudah tidak dalam genggaman sekalipun, orang masih
menaruh hormat oleh karena kesalehannya. Tanpa kekuasaan, kehormatannya tetap
melekat oleh karena bersikap dan
bertindak susila, jujur, konsisten dan konsukuen.
Dengan membina kepercayaan pada diri
sendiri, keteguhan iman dan kemampuan untuk setia kepada apa yang adil dan
benar, akan mengantarkan seseorang merasa mampu memperjuangkan cita-citanya
meski tanpa campur tangan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Demikianlah makna
menyerbu tanpa pasukan. Sedangkan kemampuan untuk merasa bahagia sejahtera
dalam situasi dan kondisi apapun dengan tidak membiarkan dirinya dikuasai dan
menguasai adalah makna dari menang tanpa mengalahkan.
Itulah yang mengantarkan I.J Kasimo dalam
pemahaman hidup sederhana tanpa harus melanggar hak milik orang lain atau hak
milik publik. Mengambil secukupnya hak milik pribadi untuk memenuhi kebutuhan dengan
tidak melampaui batas kemampuan fisik dan mental. Tidaklah sukar mencukupi
kebutuhan secara wajar dengan cara halal dan legal, tanpa harus mengorbankan
harga diri dan memaksakan diri.
Gelar
Pahlawan
Upaya berbagai pihak mengusulkan I.J
Kasimo sebagai Pahlawan Nasional dipastikan tidak dalamrangka
“mengultus-individu-kan” seseorang. Dan tentu tidak pula melampiaskan hasrat
untuk menghargai jasa orang yang sudah meninggal dunia semata. Sebab I.J Kasimo tidak membutuhkan itu semua. Gelar
Pahlawan Nasional itu untuk kita yang masih hidup, sebagai cermin diri atau kaca benggala dalam membangun negeri
mengisi kemerdekaan yang ketika itu I.J Kasimo turut berperan
memperjuangkannya.
I.J Kasimo sudah pahlawan melalui daya
upayanya mewariskan pendidikan anti korupsi bagi generasi penerusnya. Tinggal
kita sekarang, mau dan mampu atau tidak bersikap dan bertindak untuk meneruskan warisan yang sangat berharga
ini ?
Ki Sugeng Subagya, Pamong
Tamansiswa di Yogyakarta.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar