Kembalinya Pendidikan Berkebudayaan
Ki Sugeng Subagya
Digabungnya kembali pengelolaan pendidikan dan
kebudayaan dalam satu kementerian tentu bukan tanpa alasan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, pendidikan sangat terkait dengan kebudayaan. Pembentukan
karakter bangsa yang berbudaya bisa dicapai antara lain melalui
pendidikan.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup
agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Sedangkan perguruan atau sekolah adalah taman persemaian benih-benih kebudayaan.
Sebelum kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara meletakkan
dasar-dasar sistem pendidikan nasional dalam wujud dasar-dasar
dan azas-azas pembaharuan pengajaran. Konsep mendasar inilah yang pada kemudian hari dirumuskan secara
legal formal dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yang menyatakan
bahwa pendidikan dan pengajaran di
dalam Republik Indonesia harus berdasarkan pada kebudayaan dan kemasyarakatan
bangsa Indonesia menuju arah
kebahagiaan hidup batin serta keselamatan hidup lahir.
Dominasi
Pengajaran
Dalam perkembangan terakhir, pendidikan cenderung
mensterilkan diri dari kebudayaan. Ketika pendidikan tidak berkebudayaan maka
pengajaran menjadi sangat dominan. Pendidikan
yang didominasi pengajaran maka intelektualisme tidak dapat lagi dihindari. Akibatnya
pengetahuan yang diperoleh sebatas untuk diketahui, bukan untuk diamalkan.
Dalam praktiknya, pengajaran telah menghasilkan manusia canggung dalam hidupnya di masyarakat.
Mereka hanya bisa hidup bergantung pada orang lain. Akibatnya, hidup dan
kehidupannya tergantung pada orang lain.
Jika yang dijadikan tempat bergantung jatuh, jatuh pulalah mereka.
Melihat gerak langkah pembangunan
pendidikan kita dewasa ini, harus diakui bahwa sudah banyak kemajuan yang
dicapai. Berbagai prestasi regional dan internasional banyak didapat oleh
anak-anak bangsa Indonesia. Tetapi, jika dikaitkan dengan tujuan akhir
pendidikan dalamrangka mempertinggi derajat
kemanusiaan, kita masih harus terus bekerja keras untuk
mewujudkannya. Salah satu derajat kemanusiaan yang
tinggi itu tergambar dalam pembentukan insan mandiri.
Pendidikan nasional kita memperlihatkan kelemahannya
pada pembentukan insan mandiri. Tidak sedikit lulusan sekolah yang terpaksa menganggur. Keluar masuk kantor
menenteng map berisi lamaran kerja. Mereka
tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Jangankan lapangan pekerjaan untuk
orang lain, untuk dirinya sendiri saja tidak ada kemampuan. Mereka menggantungkan diri
kepada “pemerintah”, tidak mampu bernisiatif
dan bekerja tanpa diperintah orang lain.
Kegagalan mendidik insan mandiri
nampak jelas dari tidak dimilikinya rasa percaya diri. Bukan hanya setelah
lulus para siswa tidak percaya diri. Sejak di bangku sekolah mereka sangat
tergantung orang lain. Fenomena menyontek
sampai dengan kecurangan-kecurangan lain dalam peneyelanggaraan ujian adalah bukti tidak percaya diri. Hal
ini diperparah oleh sikap beberapa oknum pendidik yang tidak responsif
menanggulangi kecurangan, tetapi tidak sedikit diantara mereka malah terlibat
dalam praktik kecurangan itu.
Keluarga telah terimbas praktik mereduksi percaya diri
anak. Betapa sibuknya orangtua mengintervensi sekolah anak-anaknya. Antrean
panjang di loket pendaftaran siswa baru tidak hanya dijejali oleh para calon siswa, tetapi didominasi
orangtua. Belum
lagi keinginan-keinginan setengah memaksakan kehendak orangtua untuk pendidikan
anak-anaknya. Dari memilih sekolah, memasukkan sekolah sebelum usianya, memaksa
anak harus naik kelas meski kemampuannya belum cukup, dan sebagainya.
Ketika kebijakan pendidikan menyentuh upaya
mempersepsikan manajemen sekolah sama dengan manajemen perusahaan
atau korporasi, tidak bedanya dengan pendidikan yang tidak menyemai benih-benih kebudayaan
untuk masa depan bangsa. Pendidikan hanyalah “pabrik”
tenaga kerja atau buruh.
Peluang kembalinya pendidikan
berkebudayaan telah terbuka lebar. Pengelolaan pendidikan dan kebudayaan dalam
satu kementerian sudah dilakukan. Gaung pendidikan karakter dalamrangka
keseimbangan pengembangan cipta, rasa, karsa masih nyaring terdengar. Sebaiknya
kita segera bergegas memaknai pendidikan berkebudayaan itu dalam isi substansi
nyata dalam praktik pendidikan dan pengajaran.-
Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa, Alumnus Filsafat dan Sosiologi Pendidikan FIP
UNY.
Keterangan :
Artikel ini dimuat Harian Pikiran Rakyat Bandung, Selasa 24 Oktober 2011 Halaman 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar