Mengapa KR Panjang Umur?
Ki
Sugeng Subagya
KEDAULATAN RAKYAT (KR) tergolong koran panjang umur. Kini usianya 66
tahun. Terbit pertama kali tanggal 27 September 1945. Perintisnya H. Samawi
(1913 – 1984) dan Madikin Wonohito (1912 – 1984). Mereka dikenal dengan sebutan
Pak Sam dan Pak Won. Dengan fondasi kuat yang beliau pancang menjadikan KR panjang umur.
Pak Sam dan Pak Won memegang kendali KR dengan prinsip “ngeli nanging ora keli”, menghanyut
tetapi tidak turut hanyut. Jika kemudian KR identik dengan koran moderat merupakan
konsekuensi logis atas perwujudan prinsip tersebut.
Meskipun moderat KR tetap kritis. Kekritisannya didadasri oleh
“triko”. Korektif, koordinatif, dan kooperatif terhadap kebijakan pemerintah. Keberpihakannya kepada kepentingan publik
dirumuskannya dalam semboyan ”suara hati nurani rakyat”. Inilah salah satu cara
KR menyelamatkan diri dari badai politik.
Koran anak kandung revolusi ini tak mungkin melawan cita-cita
revolusi. Sementara
koran lain terpotong umurnya oleh
brangus, KR tetap dapat jalan terus.
Meng-internasional
Sebagai media lokal yang menasional, KR adalah community paper yang berbasis intellectual
community. Memang KR terbit di Yogyakarta, dengan demikian komunitas
pembaca KR berangkat dari lokalitas Yogyakarta dan sekitarnya. Namun, pengaruh
KR dalam memberikan pencerahan tidak sesempit lokalitasnya. Pembaca KR yang
pernah menghuni lokalitas Yogyakarta tersebar seantero dunia. KR dengan semua rubrikasinya tetap mewarnai
sepak terjang mereka. Dalam perkembangannya KR mampu menginternasional melalui
konsep intellectual community.
Awak redaksi dan manajemen KR dipegang oleh orang-orang dengan latar
belakang intelektualitas memadai. Disamping itu, dukungan kalangan cendekia
yang ketersediaannya tidak terbatas mewarnai
tulisan-tulisan KR sehingga menjadi rujukan banyak pihak. Tidak hanya dalam
kapasitas sebagai narasumber, tidak sedikit diantara mereka “medhar gagasan” secara langsung menulis
dalam rubrik opini maupun analisis. Menariknya,
KR tidak hanya dibesarkan oleh para penulisnya, tetapi KR sekaligus membesarkan
para penulisnya.
KR adalah bagian sejarah Yogyakarta, tetapi KR juga merupakan salah satu pilar penyangga konstruksi
Yogyakarta itu sendiri. Kraton Yogyakarta, Universitas
Gadjah Mada, Muhammadiyah dan Tamansiswa yang eksis di Yogyakarta memberikan
kontribusi yang besar terhadap perkembangan KR. Namun demikian, KR juga
memberikan urunan yang sangat berarti terhadap lembaga-lembaga “tua” ini untuk
tetap bertahan mengemban visi dan misinya. Prinsip saling memberi dan menerima
manfaat inilah dengan sangat cerdas dirumuskan dalam slogan migunani tumraping liyan.
Falsafah Mendidik
Pak Sam dan Pak Won pernah mengajar
maka ia adalah guru. Tetapi, untuk mendidik, tidak perlu seseorang menjadi
guru. Demikian falsafah mendidik beliau. Mendidik tidak harus formal di depan
kelas dengan murid tertentu. Jurnalis itu juga mendidik meskipun tidak
mengajar. Koran adalah media pendidikan tidak terbatas.
Pak Won memberikan ilustrasi
mengenai jurnalis yang mendidik. Ki Hadjar Dewantara mulai mendidik tidak hanya
ketika Perguruan Tamansiswa berdiri. Sejak lama sebelum Tamansiswa lahir Ki
Hadjar sudah menulis di Koran, sejak itulah beliau mendidik. Dari koran,
pembaca dimengertikan berbagai hal tentang ekonomi, sosial, politik, hukum,
ideologi, budaya, bahkan falsafah hidup. (Pusara, No.5 Mei 1984 halaman
201-202).
Mendidik itu mencerahkan, maka koran
tidak pada tempatnya memprovokasi terjadinya keributan, kerusuhan, pertikaian,
ketidaktenteraman, dan fitnah. Jika ketegangan sudah terlanjur terjadi, maka
koran harus bertindak bijak bagai air, menyejukkan suasana. Dalam suasana yang
sejuk inilah, masyarakat adalah taman pendidikannya para jurnalis.
Dirgahayu KR !!
Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.
Dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Selasa 4 Oktober 2011 Halaman 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar