Memaknai Pembelajaran Berkarakter
Ki Sugeng Subagya
Guru-guru Pendidikan Agama Katolik yang tergabung dalam Musyawarah
Guru Matapelajaran Agama Katolik (MGMP PAK) Sekolah Menengah Kota Yogyakarta merasa terinspirasi atas sebuah contoh
pembelajaran berkarakter tanpa harus memaksa diri memasukkan dalam materi
pembelajaran.
Beberapa pengajar Matematika di Sulawesi Selatan merasa tidak mampu
memasukkan satu atau dua dari delapan belas
nilai karakter dalam silabus dan Rancangan Program Pembelajaran (RPP). Kesulitan
yang sama juga dihadapi oleh para guru matapelajaran Ekonomi di Sumatera Barat yang
harus memandang nilai-nilai karakter sebagai hal positif belaka dan diadopsi
oleh tema negatif dalam pembelajaran, misalnya mengenai pengangguran.
Dari contoh-contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa
implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran masih menemui kendala. Hal
itu masih diperparah oleh pihak-pihak tertentu yang memandang pengintegrasian
nilai karakter dalam pembelajaran sebatas formalitas tanpa makna. Meskipun
silabus dan RPP yang disusunnya rapi-jali
mencantumkan nilai-nilai karakter sebagai muatannya, namun dalam praktiknya
pembelajaran tidak berbeda dengan yang selama ini berlangsung.
Jebakan
18
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan nilai-nilai
karakter menjadi 18 butir; ialah (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4)
disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa
ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai
prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca,
(16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial dan (18) tanggung jawab.
Nilai-nilai tersebut diharapkan menjadi kunci penuntun pembelajaran
berkarakter dalamrangka pendidikan karakter. Identifikasi nilai-nilai karakter
dalam 18 butir dimaksudkan dapat mempermudah para guru menyelenggarakan
pembelajaran berkarakter.
Maksud baik ternyata berbeda dengan kenyataannya di lapangan. Para
guru telah terjebak oleh 18 butir nilai-nilai karakter. Jika guru tidak mampu
memasukkan satupun dari 18 butir nilai karakter dalam materi pembelajaran maka belum termasuk mampu menyelenggarakan
pembelajaran berkarakter. Jika guru hanya mampu memasukkan nilai-nilai; cermat,
teguh pendirian, legawa, memaafkan, santun, dsb. yang tidak termasuk 18
butir nilai karakter belum pula dianggap berhasil menyelenggarakan pembelajaran
berkarakter.
Sementara pihak khawatir, nasib pendidikan karakter yang dicanangkan
pemerintah akhirnya tidak lebih baik dengan Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa (PSPB) dan Penataran P-4 di masa lalu jika orientasinya hanya formalitas
dan rutinitas.
Re-orientasi
Formalitas dalam pendidikan karakter harus dicegah sedini mungkin.
Bukan hanya karena hal itu tidak bermakna, pada saatnya formalitas akan menjadi
rutinitas. Upaya perbaikan dari sisi manapun pendidikan akan gagal membentuk
manusia berkarakter jika hanya sebatas formalitas dan rutinitas. Terlebih jika
guru tidak mampu mengelola rutinitas dalam pembelajaran, maka kejenuhan dan
kemandegan yang akan terjadi.
Pembelajaran berkarakter harus bermakna. Pelatihan dalamrangka
re-orientasi pendidikan karakter perlu dilakukan. Sebagaimana disarankan buku A Teacher Is Many Things (Pullias, 1979) bahwa mengajarkan satu pelajaran selama
berpuluh tahun bisa menghilangkan gairah mengajar. Jika pengalaman itu
membosankan guru, sudah pasti ia juga akan membosankan siswa.
Pelatihan guru ditekankan setidaknya untuk dua hal, ialah (1)
mengentaskan guru agar tidak terjebak oleh “mitos” 18 butir karakter, dan (2)
meningkatkan kemampuan guru agar mengintegrasikan nilai-nilai karakter tidak
hanya sebatas materi pelajaran.
Guru diberi keleluasaan untuk mengembangkan sendiri nilai-nilai karakter
yang akan diiintegrasikan dalam pembelajarannya. Menggali nilai-nilai karakter
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat akan menjadikan pembelajaran
berkarakter lebih bermakna.
Orientasi mengintegrasikan nilai karakter sebatas pada materi
pelajaran sangat menyulitkan guru. Oleh sebab itu, guru harus diberikan
pelatihan mengasah kemampuan untuk menyelenggarakan pembelajaran berkarakter
dari strategi yang berbeda, misalnya memilih metode pembelajaran,
mengorganisasikan kelas, dan menentukan jenis tagihan dalam penilaian.
Dari semua itu yang tidak kalah pentingnya ialah terus menerus
menanamkan esensi pendidikan karakter melalui keteladanan. Kata Ki Hadjar
Dewantara, ing ngarsa sung tuladha.
Di depan menjadi contoh. Guru adalah model dalam pendidikan karakter.
Kedewasaan bersikap dan bertindak seorang guru cara siswa belajar nilai-nilai
karakter yang sesungguhnya.
Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa di
Yogyakarta.-
Artikel dimuat Harian PIKIRAN RAKYAT Bandung, Senin, 10 Oktober 2011 Halaman 26
Betul sekali pak Sugeng.
BalasHapus