Ketoprak Mataram
“Kari Separo”
Ki Sugeng
Subagya
Ranggawarsita meramal, suatu
saat “wong Jawa kari separo”. Makna
ramalan itu tentu bukan dalam pengertian kuantitatif. Orang Jawa tinggal
sebagian bukan berarti yang sebagian lainnya telah lenyap oleh karena bencana
alam, wabah penyakit, atau karena
peperangan. Makna ramalan ini lebih kearah kultural. Budaya Jawa akan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh “budaya asing”.
Karakteristik budaya Jawa
itu terbuka. Seni budaya Jawa sebagai bagian budaya Jawa juga terbuka. Ketoprak
Mataram termasuk di dalamnya. Mempertahankan ketoprak Mataram dalam bentuk
aslinya hampir mustahil. Jika kemudian lahir ketoprak garapan, ketoprak
ringkes, ketoprak plesetan, ketoprak humor, dan ketoprak campursari, merupakan konsekuensi
logis dari pengaruh “budaya asing”. Inilah makna separo dari wong Jawa
dalam konteks ketoprak mataram. Ketoprak mataram menurut pakem yang kental muatan pendidikan karakter mulai terkoyak.
Ciri khas ketoprak mataram
yang paling menonjol jika dikaitkan dengan pembentukan karakter diantaranya terdapat
dalam dialog. Ragam bahasa Jawa dalam dialog ketoprak Mataram menunjukkan watak,
kedudukan, keturunan, latar belakang dan status sosial tokoh-tokoh yang tampil
dalam setiap adegan. Dalam tradisi Jawa, tingkat-tingkat pemakaian bahasa
tersebut berkait erat dengan unggah-ungguh,
etika, tata krama, dan suba sita.
Artikulasi
dialog dalam berbahasa Jawa juga punya arti penting dalam penyajian ketoprak
sebagai tontonan, karena pertunjukan ketoprak tanpa didukung artikulasi yang
baik akan mengurangi nilai artistik dan estetika, serta menghambat penyampaian
makna dialog. Dalam hal ini dialog ketoprak mataram
menyerupai dialog keseharian dalam masyarakat yang berbeda dengan dialog ketoprak
Surakarta dan Jawa Timur yang lebih “mayang wong”.
Berjuang sendiri
Ketoprak mataram merupakan
salah satu pilar penyangga budaya dalamrangka pembentukan karakter bangsa.
Ketika ketoprak mataram hampir mati suri, maka diperlukan sinergitas semua
pihak untuk kembali membangkitkannya.
Zaman keemasan ketoprak
mataram sudah berlalu. Hal ini ditandai dengan banyaknya kelompok-kelompok
ketoprak mataram yang tidak lagi terdengar kiprahnya. Sebagian diantaranya
memang masih “ada”, namun tidak lebih dari “papan nama”. Tidak hanya yang profesional,
yang amatir sekalipun turut gulung tikar.
Salah satu kelompok ketoprak
mataram yang saat ini masih bertahan ialah Keluarga Kesenian Jawa RRI
Yogyakarta. Dalam kondisi yang sangat berat, kelompok ini masih mampu menjadi
benteng terakhir penyangga, pelestari, dan pengembang ketoprak mataram. Terlebih
ketika personilnya yang rata-rata Pegawai Negeri Sipil (PNS) mulai memasuki
masa pensiun, sedangkan regenerasinya “zero”, keadaannya semakin
memprihatinkan. Ketika jumlah personil sangat terbatas, sangat masuk akal jika penonton enggan menyaksikan pentas. Siaran rutin ketoprak radio pada Rabu malam
Kamis juga tak lagi menarik untuk didengarkan.
Keadaan yang memprihatinkan
itu berlangsung lebih kurang satu dasa warsa terakhir. Keprihatinan itu tidak
hanya dirasakan oleh pemerhati budaya dan personil yang masih aktif, tetapi
juga para purna tugas dan para seniman ketoprak di luar Keluarga Kesenian Jawa
RRI Yogyakarta.
Manajemen RRI Yogyakarta
bukan berarti tidak berbuat. Upaya darurat dengan melibatkan “bintang tamu”
sedikit menolong kembalinya penonton menyaksikan pentas yang diselenggarakan
setiap Rabu minggu pertama setiap bulan di Auditorium RRI Yogyakarta. Terlebih
ketika “empu ketoprak sepuh” yang pernah menjadi bintang pentas pada zamannya
turun gunung, auditorium RRI kembali banyak terisi penonton. Pandhemen setia
Pak Widayat, Bu Marsidah, Pak Wahono, dan lain-lain kembali hadir menonton
pergelaran “ngiras-ngirus” nostalgia.
Kecenderungan meningkatnya
jumlah penonton pentas ketoprak mataram Keluarga Kesenian Jawa RRI Yogyakarta
di Auditorium Demangan patut disambut gembira. Namun, sampai kapan hal itu akan
bertahan bahkan meningkat, jika tidak
dilakukan regenerasi. Menyangkut regenerasi, RRI Yogyakarta tidak akan mampu
berjuang sendiri. Daya dukung dan sumber daya yang terbatas, RRI Yogyakarta
memerlukan urunan berbagai pihak. Peran LPP RRI sebagai induk RRI, Dinas
Kebudayaan Provinsi DIY atas nama pemerintah dan Dewan Kebudayaan Provinsi DIY
sebagai salah satu pemangku kepentingan seni budaya diharapkan lebih nyata.
Harapan juga ditumpukan atas “cawe-cawe” Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan
dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Saatnya, mengembalikan
ketoprak mataram yang “kari separo” itu jika tak hendak suatu saat ketoprak
mataram tinggal tertulis dalam prasasti monumen.
Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.-
Keterangan :
Artikel ini dimuat SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu 18 September 2011 Halaman 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar