Uang untuk
Pendidikan
Ki
Sugeng Subagya
Setidaknya
ada dua hal sukses dalam penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada
2012. Sukses itu berupa perbaikan mekanisme penyaluran dan peningkatan unit cost. Perbaikan mekanisme penyaluran
ditandai dengan 100% dana telah masuk rekening pada minggu kedua Januari 2012. Tahun
sebelumnya, banyak sekolah yang baru menerima dana bos tahap I pada catur wulan
kedua. Ini sangat luar biasa.
Peningkatan unit cost dinaikkannya besaran dana BOS dari 70% menjadi
100% biaya operasi peserta didik. Dengan dipenuhi 100% unit cost maka berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 60 Tahun 2011 tentang pungutan pada pendidikan dasar, SD dan SMP dilarang menarik pungutan biaya
operasi dan investasi bagi sekolah negeri. Sedangkan untuk sekolah swasta masih
diperbolehkan menarik pungutan biaya investasi. Aturan ini juga berlaku untuk
sekolah berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).
Sukses
penyaluran dana BOS tidak serta-merta membebaskan atau setidaknya mengurangi
beban masyarakat dalam menanggung biaya pendidikan. Dalam banyak kasus,
orangtua murid masih harus merogoh saku untuk mengiur berbagai pungutan bagi
anaknya yang belajar di SD dan SMP. Tidak memandang apakah pungutan termasuk
dalam kategori biaya investasi atau operasi.
Pungutan itu
dirasa memberatkan, sebab orangtua masih harus menanggung biaya personal
pendidikan yang tidak ditanggung pemerintah maupun penyelenggara pendidikan
lainnya berdasar undang-undang wajib belajar sembilan tahun. Padahal
berdasarkan penelitian Wiko Saputra, dkk. (2011) 70%-80% biaya pendidikan peserta didik adalah biaya
personal, misalnya transportasi dan uang saku. Dengan demikian hanya 20%-30% yang
merupakan biaya operasi dan biaya inventasi.
Berdasarkan
evaluasi pendidikan akhir 2011, survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan terhadap 675 SD di 33 Provinsi
menempatkan pungutan seragam
sekolah pada posisi paling banyak dilakukan (46,%). Di urutan kedua pungutan buku
dan/atau lembar kerja siswa (LKS) (14,2%). Kemudian berturut-turut pungutan pembangunan atau uang gedung (4,3%),
administrasi pendaftaran (2,5%), SPP (1,9%), ekstrakurikuler (1,3%),
laboratorium (0,3%), dan masa orientasi siswa baru (0,3%).
Sekolah
berdalih pungutan tersebut tetap dikenakan oleh karena besaran dana BOS yang
ditetapkan pemerintah belum mampu menopang semua biaya operasi dan inventasi
sekolah untuk mencapai standar nasional pendidikan (SNP). Jika sekolah dituntut
memiliki kinerja yang lebih tinggi dari SNP maka tidak tepat pemerintah
melarang sekolah melakukan pungutan-pungutan tersebut. Angka nominal Rp 580.000
per siswa per tahun untuk SD dan Rp 710.000 untuk SMP hanya dapat mencukupi
biaya operasi sekolah berdasar SNP.
Berbasis Perencanaan
Penganggaran
berbasis perencanaan berdasarkan penelitian Ghozali Abbas (2011)
mengidentifikasi biaya operasi atas biaya operasi personalia dan biaya operasi
nonpersonalia. Termasuk dalam biaya operasi personalia adalah gaji dan
tunjangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan.
Sedangkan termasuk
dalam biaya operasi nonpersonalia adalah alat tulis, bahan dan alat habis
pakai, daya dan jasa, pemeliharaan dan perbaikan, transportasi, konsumsi,
asuransi, pembinaan siswa dan ekstra kurikuler, pelaporan, dan uji kompetensi
bagi SMK.
Dalih menarik
pungutan bagi sekolah penerima BOS untuk mencukupi biaya operasi agar sekolah
mampu melampaui SNP bisa diterima apabila sekolah memiliki program-program
peningkatan kualitas pendidikan yang dirumuskan dengan visioner dan realistis
dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS), Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) dan
Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS). Penyusunan RPS, RKS, dan RKAS
melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan di sekolah itu. Tetapi, jika sekolah tidak memiliki program
peningkatan kualitas dan iuran dari orangtua murid ditentukan “asal tarik”, maka
sangat logis jika kemudian dipersoalkan.
Terlebih bagi
sekolah yang juga masih menerima bantuan operasional sekolah daerah (BOSDA)
baik dari pemerintah provinsi dan/atau kabupaten/kota, mempertanyakan
pemanfaatan dana BOS menjadi sangat relevan.
Secara empirik,
selama empat tahun saya mendampingi sekolah menyusun RPS, RKS, dan RKAS,
hal-hal yang bersifat elementer dalam penganggaran, pembiayaan dan pendanaan
pendidikan pada satuan pendidikan masih sering dipahami secara rancu.
Penggunaan
istilah penganggaran, pembiayaan, dan pendanaan pendidikan masih sering
dipertukarkan. Walaupun ketiganya berhubungan erat, namun masing-masing
memiliki makna yang berbeda-beda. Hal inilah yang menurut hemat saya dapat
mengacaukan pemanfaatan dana BOS sehingga berakibat tidak efektif dan efisien.
Penganggaran
atau budgeting menyangkut penyusunan
dokumen keuangan yang merinci perimbangan antara estimasi dana yang masuk
dengan rencana penggunaan dana tersebut dalam membiayai proses pendidikan.
Pendanaan atau funding/financing
lebih berhubungan dengan persoalan bagaimana, siapa, dan berapa dana pendidikan
dibebankan. Secara tegas dapat dinyatakan, siapa menanggung berapa. Sedangkan
pembiayaan atau costing adalah
estimasi dan perencanaan kebutuhan biaya yang diperlukan untuk mendukung proses
pendidikan.
Pemahaman
terhadap hal-hal elementer dalam perencanaan pendidikan sangat diperlukan untuk
menghindari pemborosan sekaligus mencegah penyalahgunaan. Dalam hal pemanfaatan
dana BOS kiranya perlu sekolah didampingi oleh konsultan pendamping. Mengingat
jumlah sekolah yang sangat besar, jika dalam satu kecamatan terdapat satu
konsultan pendamping atau satu kabupaten/kota disediakan 10 orang konsultan
pendamping kiranya cukup membantu penjaminan efektifitas dan efisiensi pemanfaatan dana BOS.
Ki Sugeng Subagya,
Pamong
Tamansiswa Yogyakarta dan mantan konsultan peningkatan mutu SMP Dinas Dikpora
DIY.
Catatan :
Artikel ini dimuat Harian SOLOPOS, Kamis 1 Maret 2012 halaman 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar