Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe
Ki Sugeng Subagya
Ekacakra menjadi negeri aman dan tenteram atas pengorbanan Werkudara yang telah berhasil membunuh Bakasura. Bakasura adalah raksasa yang selalu meminta persembahan segerobak makanan enak dan “manusia” untuk menjadi santapannya. Ketika wilayah Ekacakra mendapat giliran menyediakan persembahan, rakyat ketakutan luar biasa.
Atas seijin Dewi Kunti, Werkudara yang sedang “ngulandara” menyediakan diri sebagai persembahan. Pada hari yang telah ditentukan, Werkudara membawa segerobak makanan kehadapan Bakasura. Di depan gapura tempat tinggal Bakasura makanan yang dibawa dimakan sampai habis. Bakasura yang merasa terhina, marah lalu menerjang Werkudara. Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah berlangsung lama, Bakasura mati.
Berita kematian Bakasura menggoncang Ekacakra. Rakyat ingin tahu siapa gerangan yang berhasil membunuh Bakasura. Berduyun-duyun mereka ke suatu tempat untuk memperoleh jawaban. Tetapi, sampai kapanpun jawaban itu tidak akan pernah mereka dapat. Seketika setelah Bakasura tewas, Werkudara dan Dewi Kunti pergi melanjutkan pengembaraannya. Pengorbanan Werkudara tidak dalamrangka pamrih, kecuali didorong kemauan tulus ikhlas untuk melindungi rakyat banyak yang sedang menderita.
Demikianlah keluhuran budi ksatriyatama. Jasa dan pengabdian yang diperbuat bukan untuk kemashuran, melainkan dipenuhi untuk memenuhi dharma. Pujian dan penghargaan tidak diperlukan jika pengorbanannya dilandasi oleh keikhlasan.
Bantuan Bencana Merapi
Sejak Gunung Merapi dinaikkan ke level AWAS, barak pengungsian mulai dipenuhi pengungsi. Bantuan dari berbagai pihak mulai mengalir. Terlebih setelah erupsi terjadi, bantuan semakin banyak. Bersamaan dengan itu spanduk dan bendera bertebaran di sekitar barak pengungsian. Sejumlah bendera dan spanduk yang dipasang berukuran besar dan dalam jumlah banyak.
Selain organisasi masyarakat, spanduk-spanduk yang terpasang bertuliskan nama partai politik, provider telepon seluler, merk sepeda motor, serta berbagai produk makanan dan minuman. Beberapa spanduk terpasang di badan-badan jalan bahkan sebagian tidak disertai pembangunan posko maupun aktivitas memadai dari pihak pemasangnya.
Dalam kacamata manajemen pemasaran memang tidak salah mamasang bendera dan spanduk dalamrangka promosi produk. Namun ketika bendera dan spanduk promosi itu di pasang pada tempat pengungsian, dimana sebagian besar diantara penghuninya diliputi perasaan was-was dan ketakutan, maka bisa dianggap tidak etis. Setidaknya para pemasang bendera dan spanduk itu tidak peka terhadap kesulitan yang dihadapi para pengungsi.
Pemasangan bendera dan spanduk yang dikaitkan dengan pemberian bantuan kepada pengungsi seolah-olah parpol, ormas dan perusahaan itu membantu dengan berharap pamrih. Meskipun bantuan yang diberikan pantas diapresiasi, tetapi jangan niat mulia itu dikotori oleh hal-hal yang berbau politik. Bukan tidak mungkin pemasangan bendera dan spanduk yang berlebihan malah menimbulkan persepsi negatif di mata masyarakat.
Memaknai Pamrih
Sesungguhnya masyarakat Indonesia memiliki falsafah budaya yang tinggi untuk dijadikan pedoman dalam hal berbuat untuk kepentingan orang banyak. Ialah sepi ing pamrih rame ing gawe.
Dalam masyarakat Jawa, pamrih dimaknai sebagai kepentingan diri yang dilekatkan dalam ego pribadi. Pamrih memiliki tiga dimensi, ialah (1) keinginan untuk menang sendiri atau golek menange dhewe, (2) menganggap dirinya paling benar atau nggugu benere dhewe, dan (3) tamak memenuhi ketuhannya sendiri atau mburu butuhe dhewe. Jika ketiga dimensi pamrih ini masih melekat, maka yang mewujud adalah ego pribadi. Karenanya, membantu dan menolong orang lain sekalipun kepentingan diri tetap muncul dalam wujud tampilannya. Jika sepi ing pamrih ingin diimplementasikan dalam kehidupan, maka ego yang melekat harus dilepaskan terlebih dahulu.
Rame ing gawe dalam implementasi seharusnya dilakukan sebagai kewajiban yang didorong oleh tanggungjawab. Tanpa melakukan kewajiban itu serasa ada sesuatu yang kurang pada diri. Pada saatnya, jika kewajiban yang didorong tanggungjawab dilakukan selalu berulang dalam pembiasaan maka akan menjadi kebutuhan.
Sepi ing pamrih rame ing gawe adalah formula filosofis menuju kesejahteraan bersama. Formula filosofis itu akan menemukan esensi yang lebih dalam sebagai sepi pamrih tebih ajrih manakala landasan keikhlasan dibarengi oleh pemahaman atas konsekuensi yang harus ditanggungnya.
Marilah kita lakukan instropeksi. Tanpa bendera, spanduk dan umbul-umbul sekalipun kebaikan yang dilakukan pasti dicatat sebagai kebaikan oleh karena Tuhan Maha Tahu
Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan.
Artikel Dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 7 November 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar