“Ngenthung”; Berjuang dalam Diam
Oleh : Ki Sugeng Subagya
Memasuki bulan Agustus tahun 2010 terasa sangat istimewa. Nuansa patriotik sangat terasa begitu masuk kampung dan dusun-dusun. Disana-sini banyak orang bekerja bakti membersihkan lingkungan, memasang berbagai atribut memperindah wajah lingkungan. Berbagai kegiatan pertandingan dan perlombaan menambah riuhnya suasana. Semua terlibat. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak tidak ada yang ketinggalan. Pendek kata semua warga terlibat menyemarakkan peringatan Hari Ulang Tahun ke-65 Republik Indonesia.
Bertepatan dengan itu, memasuki minggu kedua bulan Agustus 2010, umat muslim di seluruh dunia memulai ibadah wajib menunaikan puasa Ramadhan. Kegiatan masyarakat menjelang datangnya bulan Ramadhan tidak kalah gempitanya. Tidak kurang kegiatan-kegiatan berdasar syariah, tradisi, kelaziman, kebiasaan, seolah menjadi satu prosesi menyambut datangnya tamu agung, puasa ramadhan.
Dengan menyandingkan dua kegiatan, ialah hiruk pikuk memperingati proklamasi kemerdekaan dan menyambut datangnya puasa ramadhan, ada satu benang merah hikmah. Ialah, keduanya bermakna perjuangan. Disatu pihak bermakna nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman kuku-kuku penjajahan. Sedang di pihak lain perjuangan melawan hawa nafsu yang dapat membatalkan puasa.
Memaknai hikmah berjuang melawan penjajahan dan melawan hawa nafsu, terdapat ajaran Ki Hadjar Dewantara yang pantas direkonstruksi kembali. Ialah “ngenthung”.
Ngenthung kedengaranya asing di telinga, namun begitulah enaknya bikin suatu topik tulisan, yang asing buat pembacanya tetapi memiliki makna mendalam setelah diurai. Ngenthung itu salah satu kata kerja dalam bahasa Jawa. Berasal dari kata dasar enthung, atau kepompong, yang mendapat awalan “nga” atau “hang”. Kalau digabungkan menjadi “hang-enthung”, atau ngenthung. Dengan demikian “ngenthung” dapat diartikan sebagai bertindak atau berlaku seperti enthung atau kepompong. Demikianlah “ngenthung”, yang bermakna berjuang meskipun tampak dalam keadaan diam.
Sebagai Alat Perjuangan
Ki Hadjar Dewantara mekakukan “ngenthung” sebagai alat perjuangan melawan penjajahan. Tepatnya sebagai strategi perjuangan. Strategi ini diterapkan Ki Hadjar Dewantara pada saat menghadapi tekanan penjajahan Jepang.
Pemerintah kolonial Jepang sangat khawatir berkembangnya sekolah-sekolah partikelir (swasta) yang sangat pesat. Sekolah-sekolah ini diperuntukkan mencerdaskan rakyat pribumi dengan muatan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Bukan tidak mungkin jika rakyat memiliki pengetahuan cukup karena mengenyam pendidikan yang memadai, pada saatnya akan tumbuh kehendak untuk melawan pemerintah kolonial. Ujung-ujungnya, mereka akan berjuang untuk meraih kemerdekaan.
Upaya pemerintah kolonial Jepang menghentikan “pemintaran” rakyat dilakukan dengan kebijakan yang tidak tanggung-tanggung. Ditutuplah semua sekolah yang didirikan dan diusahakan oleh pribumi. Hanya sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial yang diijinkan beroperasi. Hal ini jelas tidak memadai untuk kepentingan rakyat yang sedang berjuang menggapai kemerdekaan bangsanya. Demikianlah memang tujuan ditutupnya sekolah-sekolah pribumi agar rakyat tetap dalam keadaan bodoh, miskin, dan terbelakang sehingga mudah diatur oleh penjajah.
Tidak kurang, saat itu sekolah-sekolah Tamansiswa juga harus ditutup. Atas kehendak kuat memerdekakan bangsanya, celah sekecil apapun dimanfaatkan Ki Hadjar Dewantara. Ketika sekolah-sekolah ditutup dan ada kemungkinan diijinkan menyelenggarakan kursus pertanian, maka diselenggarakan kursus pertanian oleh Ki Hadjar Dewantara dengan nama “Taman Tani”. Meskipun bentuknya kursus, muatan-muatan pendidikan dan pengetahuan umum diberikan pula secara diam-diam. Dengan “Taman Tani”, di permukaan yang tampak adalah diam tanpa gerakan, tetapi di dalamnya sesungguhnya itu adalah konsolidasi perjuangan menggapai kemerdekaan.
Falsafah “ngenthung” sebagai strategi perjuangan Ki Hadjar Dewantara dilandasi oleh Neng, Ning, Nung, Nang. Ialah, Meneng-Wening-Hanung-Menang atau Wenang. Meneng atau diam, ialah tercapainya ketenteraman lahir yang dapat dirasakan oleh suasana fisik antara lain tidak gaduh, tidak emosi, tidak membentak, tidak judes, tidak ngambek, tidak mencoret-coret tulisan di tembok, tidak melampiaskan dendam. Apabila suasana Neng ini bisa dicapai, maka orang sekeliling akan simpati dengan kita. Sebaliknya dengan bersikap gaduh misalnya membentak, teriak, emosi, ketus, demonstrasi hingga jalanan macet, maka orang tidak akan simpati kepada kita. Menghadapi persoalan dengan mengedepankan Neng berarti dalam keadaan tenang, wajar selanjutnya tidak pula menyulut emosi pihak lain yang tidak perlu.
Wening atau jernih, ialah tercapainya ketenteraman batin yang dirasakan oleh rasa kalbu dan nurani yang jernih. Untuk mencapai rasa wening di hati orang sering beriktifar “astagfirullah” atau “puji Tuhan”. Kemudian berupayalah berpikir yang rasional tidak emosional, cara menyampaikan masalah dengan bahasa yang logik dan runtut sehingga akan menarik simpati orang lain. Suasana wening ini juga lebih kondusif memberi ide-ide penyelesaian masalah sesuai dengan nurani kemanusiaan dalam ajaran agama.
Hanung atau agung, ialah kebesaran jiwa dan luasnya wawasan, namun dapat pula dengan konotasi kebesaran/kekuatan raga (fisik). Kebesaran jiwa tercermin dengan sikap ikhlas menerima kritik orang lain, tidak berpandangan sempit, tidak fanatik, tidak apatis, tidak apriori, tidak mengadu domba, tidak temperamental. Sikap hanung juga berkonotasi bersikap optimis tidak pesimis, yaitu selalu memandang hari depan dengan penuh harapan dan jiwa besar. Sikap hanung mementingkan tujuan hari depan dengan lebih visioner daripada mengungkit aib masa lalu yang tidak perlu.
Menang, ialah kemenangan moral dan atau kemenangan fisik. Kemenangan yang dicapai setelah Neng, Ning, dan Nung tidak menyakitkan hati pihak seberang. Menang dengan tidak mengalahkan, “menang tanpo ngasorake” ialah kemenangan yang tidak dengan menghinakan pihak lain atau setidaknya pihak lain merasa kalah atau dikalahkan. Dalam bahasa manajemen, inilah yang disebut sebagai win-win-solution. Menang dapat berarti mampu menghadapi kesulitan, ujian, penindasan, penyelewengan, penghinaan, kebodohan, kemiskinan, godaan, kemusrikan, kemungkaran, kebatilan, kezaliman ataupun mengungguli taktik lawan. Dalam kontosai yang seperti ini, lalu Nang diberi makda Wenang, ialah kuasa yang tidak untuk menguasai.
Belajar dari Metamorfosis
Enthung atau kepompong dapat dikatakan jelmaan dari ulat. Ulat, pada umumnya memiliki bentuk yang tidak menarik, jelek, bahkan tidak sedikit yang menakutkan. Jangankan memegang atau menyentuhnya, banyak orang yang baru melihat saja sudah merasa gatal-gatal di sekujur tubuh.
Bukan saja rupanya yang buruk, ulat ternyata juga mempunyai perangai tidak terpuji. Salah satunya ialah rakus. Apapun dilahapnya sampai habis tidak tersisa. Oleh sebab itu kaum tani mengkategorikan ulat sebagai hama yang harus dibasmi.
Melalui proses metamorphosis, kepompong “ngenthung” untuk menjadi makhluk yang lebih baik. Selama 41 hari prihatin dengan laku puasa memohon ridha Illahi sekaligus melakukan pertobatan atas kelakuannya ketika menjadi ulat. Tingkah polah kepompong dalam laku prihatin dengan menutup diri dalam balutan daun-daun kering ala kadarnya dan hanya bisa menggerakan kepalanya.
Menjalankan ibadah puasa ramadhan dapat dianalogikan dengan “ngenthung”. Dengan mendekatkan diri semata-mata meminta ridha Illahi, niscaya kaum muslimin dan muslimah mampu menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Jika selama sebulan penuh manusia mampu menemukan jati dirinya dalam hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Penciptanya, manusia akan mengalami masa metamorfosis dalam kehidupan jiwa yang lebih menyejukkan. Jika sebelum puasa ramadhan sikap dan perilakunya seperti ulat, maka selepas puasa serta merta akan menyerupai kupu-kupu. Jika semula menakutkan, kemudian menjadi menarik hati. Jika semula apapun dimakannya dengan rakusnya, maka selepas puasa hanya makan makanan yang halal. Kebaikan hatinya diwujudkan dalam hal dimana dia berada selalu memberikan bantuan kepada yang mendekatinya. Dimana dia berada selalu menebar pesona kebaikan dan keindahan.
Atas ijin Illahi, ulat yang menakutkan bisa menjadi kupu-kupu yang menarik hati jika lulus dalam pertapaan “ngenthung”-nya. Dari ulat menjadi kupu-kupu, memerlukan suatu proses yang disebut ‘Metamorfosis”. Apa itu metamorfosis ?. Metamorfosis melibatkan perubahan radikal dari hewan muda menjadi hewan dewasa. Hewan muda, dikenal sebagai larva, hidup dalam cara yang berbeda dengan hewan dewasa.
Ada dua peristiwa metamorphosis, ialah (1) metamorfosis tak sempurna, seperti yang kita lihat pada transformasi kecobong menjadi katak, melibatkan sejumlah perubahan bertahap tetapi tidak sempurna. (2) metamorfosis sempurna, seperti pada perubahan ulat menjadi kupu-kupu, berlangsung dalam kepongpong dan menyusun ulang bagian tubuh secara total. Kupu-kupu memulai hidup sebagai telur.
Ulat merayap keluar dari telur, makan dengan lahap, dan menyelongsong (melepaskan kulit) sewaktu bertambah besar. Setelah sekitar empat minggu, ulat melekatkan dirinya sendiri dengan benang sutra ke cabang pohon. Ulat menggeliat keluar dari kulitnya, menampakkan kepongpong lunak yang kemudian mengeras. Beberapa minggu kemudian kepongpong pecah dan kupu-kupu dewasa keluar.
Hikmah
Untuk berhasil atau sukses, tidak jarang orang harus mekakukan perjuangan dengan tantangan yang luar biasa beratnya. Adakalanya tantangan itu berupa hambatan dimana tidak ada celah lagi bagi orang untuk mengaktualisasi kekuatannya. Dalam tataran itulah, upaya terakhir harus ditempuh, ialah berjuang dalam diam sebagaimana “ngenthung” yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara.
Disamping itu, saatnya kita melakukan evaluasi diri. Apakah banyak orang mau bergaul dengan kita? Ataukah sebaliknya banyak orang merasa "alergi" dengan kita? Apakah kita pribadi yang dibenci ataukah kita pribadi yang dicintai? Apakah hidup kita hanya menjadi sandungan, atau hidup kita menjadi berkat? Apakah kita seekor ulat ataukah kita sudah berubah menjadi seekor kupu-kupu?
Jika ingin menjadi pribadi yang menarik, disukai banyak orang, sekaligus menjadi berkat bagi banyak orang, maka tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali berubah. Kabar baiknya, setiap ulat yang menjijikan memiliki kesempatan untuk menjadi kupu-kupu yang indah jika mau berubah.
Akhirnnya, Dirgahayu Republik Indonesia. Selamat Memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Republik Indonesia. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramdhan 1431 H., bagi yang menjalankannya.
Ki Sugeng Subagya
Pamong Ibu Pawiyatan Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar