Merdeka, Mandiri, dan "Makarya"
Oleh Ki Sugeng Subagya
Ada persoalan mendasar memaknai kemerdekaan politik tanpa dilandasi oleh kepemilikan "jiwa merdeka" pada setiap anak bangsa. Untuk itu, perlu dilakukan pengembangan jiwa merdeka melalui pendidikan kemandirian.
Ki Hadjar Dewantara memberikan panduan bangsa merdeka melalui tembang "Wasita Rini". Penggalan pupuh ketiga tembang itu berbunyi "mardika iku jarwanya, nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa, amandhiri priyangga". Maknanya kurang lebih, bahwa merdeka itu artinya tidak hanya lepas dari perintah orang lain. Akan tetapi, harus kuat dan mampu mengatur diri sendiri atau mandiri.
Satu dasawarsa kemudian, Pemimpin Besar Revolusi Dr. Ir. Soekarno mengumandangkan "Trisakti". Bangsa Indonesia harus (1) berdaulat secara politik, (2) berdikari secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara kebudayaan.
Kini, faktanya bangsa Indonesia semakin jauh dari cita-cita bangsa mandiri. Ketergantungan, lebih dari sekadar bantuan, dalam menyelesaikan berbagai persoalan, berakibat bangsa ini terjerat ketidakmandirian.
Insan mandiri
Ki Sarino Mangunpranoto, merumuskan jiwa mandiri sebagai pribadi ksatria yang tidak mengharap bantuan orang lain dengan ikatan apa pun. Ia mampu bekerja tanpa perintah orang lain. Ia mampu mengatur diri sendiri dan berkuasa atas dirinya sendiri. Jiwa mandiri hanya dapat dibangun dengan pendidikan merdeka.
Pendidikan merdeka akan mampu mengantarkan peserta didik menjadi insan mandiri. Dalam hal ini tiadalah mungkin orang dapat merdeka jika tidak mandiri. Untuk dapat mandiri maka harus makarya. Sebab dengan makarya orang akan mampu memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, keluarga, dan mengambil peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Melihat gerak langkah pembangunan pendidikan kita dewasa ini, harus diakui sudah banyak kemajuan yang dicapai. Berbagai prestasi regional dan internasional banyak didapat anak-anak bangsa Indonesia. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan tujuan akhir pendidikan merdeka menuju kemandirian, kita masih harus terus bekerja keras untuk mewujudkannya.
Tidak sedikit lulusan sekolah yang terpaksa menganggur. Keluar masuk kantor menenteng map berisi lamaran kerja. Hal ini merupakan indikasi gagalnya pendidikan menghasilkan insan mandiri. Mereka tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Jangankan lapangan pekerjaan untuk orang lain, untuk dirinya sendiri saja tidak ada kemampuan. Tidak mampu berinisiatif dan bekerja tanpa diperintah orang lain. Sekolah lebih banyak mengajarkan muatan intelektualisme dalam batasan-batasan ketat teoritik dengan mengesampingkan implementasi praktik dalam dunia nyata.
Benarlah olok-olok Ki Hadjar Dewantara, lihatlah itu cecak. Dia tidak sekolah. Dia tidak mempunyai ijazah. Tetapi dia tidak pernah menganggur. Dia tahu di mana harus mencari makan. Dia tahu, di mana ada lampu, di sana banyak datang nyamuk. Dan di sanalah cecak mencari makan menangkap nyamuk makanannya.
Kegagalan mendidik insan mandiri tampak jelas dari tidak dimilikinya rasa percaya diri. Bukan hanya setelah lulus, para siswa tidak percaya diri sejak di bangku sekolah. Fenomena menyontek sampai dengan kecurangan-kecurangan lain dalam penyelanggaraan ujian adalah bukti tidak percaya diri. Hal ini diperparah oleh sikap beberapa oknum pendidik yang tidak responsif menanggulangi kecurangan, tetapi tidak sedikit di antara mereka malah terlibat dalam praktik kecurangan itu.
Lihatlah, betapa sibuknya orang tua murid mengintervensi sekolah anak-anaknya. Antrean panjang di loket pendaftaran murid tidak hanya dijejali calon murid, tetapi malah didominasi orang tua murid. Belum lagi keinginan-keinginan setengah memaksakan kehendak orang tua untuk pendidikan anak-anaknya. Dari memilih sekolah, memasukkan sekolah sebelum usianya, memaksa anak harus naik kelas meski kemampuannya belum cukup, dan sebagainya.
Sistem among
Hanya pendidikan yang memerdekakan yang mampu membangun insan-insan mandiri menuju terwujudnya bangsa mandiri yang makarya, sebagaimana harapan para pendiri bangsa ini.
Bukankah slogan pendidikan nasional kita masih Tut Wuri Handayani? Makna esensialnya adalah, berilah kemerdekaan seluas-luasnya kepada anak-anak kita untuk memperoleh pengetahuan yang penting dan berguna. Guru jangan melepaskan perhatian dan pengawasan, tetaplah memberi pengaruh yang baik dari belakang.
Tut Wuri Handayani sesungguhnya adalah inti dari sistem among. Sistem among adalah sistem pendidikan yang diterapkan pada lingkungan Perguruan Tamansiswa. Mulanya, sistem among dimaksudkan sebagai perlawanan atas sistem pendidikan Barat yang dibawa pemerintah kolonial yang tidak sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia.
Pendidikan Barat didasari oleh regering, tucht, and orde, atau perintah, hukuman, dan ketertiban atau paksaan. Dalam praktiknya, pendidikan yang demikian akan merusak kehidupan batin anak-anak. Budi pekertinya rusak karena hidup di bawah paksaan dan hukuman. Jika kelak dewasa, anak-anak yang telah rusak batinnya tidak dapat bekerja tanpa diperintah dan dipaksa.
Sistem among diimplementasi dengan orde and vrede, ialah tertib dan damai atau tata tentrem. Pamong tidak boleh memaksa, meskipun sekadar memimpin. Ia juga tidak dalam rangka "nguja" atau membiar-liarkan. Mencampuri kehidupan anak diperbolehkan ketika anak ternyata sudah berada di jalan yang salah.***
Penulis, Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.
Artikel ini dimuat Harian PIKIRAN RAKYAT Bandung, Senin 16 Agustus 2010 Halaman 26.
Merdeka bukan hanya bebas..., mandiri bukan berarti bekerja sendiri..., makarya bukan mencari kerja.... Tetapi itu semua akan berhasil hanya denga suri tauladan pendidik... (ortu, guru, pemimpin, masyarakat, infotainment, dll) bukan sekedar memberi contoh tetapi menjadi contoh. Sayangnya seperti yang bapak uraikan di atas, dan lebih parah lagi di mana sekarang ada tren baru pembicaraan guru didominasi pertanyaan kapan tunjangan sertifikasi turun.. (bahkan tanpa memperhatikan bahwa tidak semua orang di lingkungannya menerimanya)dibandingkan bagaimana mengimplementasikan pendidikan karakter yang telah muncul pada SKL tahun 2006 atau nilai-nilai dasadarma pramuka puluhan tahun yl.
BalasHapusSepakat Pak, sesungguhnya pendidikan karakter sekalipun telah didangkalkan maknanya sebagai pengajaran karakter. Heran saya, karakter kok diajarkan, ya ..... mestinya dididikkan dengan keteladanan. Kesimpulan saya, pendidikan nasional kita sekarang ini seperti kosong falsafah, semua hal diukur semata pada tataran praksis kepentingan jangka pendek ......
BalasHapus