Mengisi Ruang Kosong Kesenian “Dolanan Anak”
Ki Sugeng Subagya
Kreasi dan
apresiasi merupakan dua unsur sangat penting dalam seni budaya. Kreasi seni
budaya bersifat spesifik cenderung tertutup, sedang apresiasi bersifat umum dan
sangat terbuka.
Kreasi seni
budaya merupakan peng
alaman estetik
yang diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan kreatif yang menghasilkan karya memesona.
Berkreasi memerlukan keahlian khusus. Hanya para seniman yang memiliki keahlian,
mampu mengaktualisasikan pengalaman estetiknya dalam bentuk karya seni budaya.
Apresiasi seni budaya dilakukan dengan menghayati dan merasakan suatu karya sehingga mampu menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan
untuk mencermati kelebihan dan kekurangan terhadap karya. Bagi sebagian orang,
apresiasi dilakukan dengan mencermati karya dengan mengerti dan peka terhadap segi-segi
estetiknya, sehingga mampu menikmati dan memaknai karya-karya tersebut dengan semestinya. Dengan
demikian apresiasi dapat dilakukan oleh siapapun tanpa harus memiliki keahlian
khusus.
Apresiasi seni budaya,
khususnya kesenian “dolanan anak” dalam rangka menumbuhkan pengertian dan
penghargaan diberikan oleh Kedaulatan Rakyat dalam bentuk KR Award tahun 2012 bidang
pendidikan kepada Nyi Corijati Mudjiono, pembina seni “dolanan anak” dari Taman
Kesenian Ibu Pawiyatan Tamansiswa, belum lama ini.
Hubungan apresiasi seni budaya
dengan pendidikan mendapatkan tempatnya karena apresiasi dapat berupa persepsi,
pengetahuan, pengertian, analisis, penilaian, dan apresiasi faktual. Di
lingkungan perguruan Tamansiswa, pendidikan kesenian diberikan dengan tujuan untuk
mengantar perkembangan peserta didik menuju proses pendewasaan melalui belajar
dengan seni, belajar melalui seni, dan belajar tentang seni. Disinilah wahana
berekspresi, berkreasi, dan berapresiasi peserta didik mendapatkan tempatnya.
Kesenian Dolanan Anak
Adalah Ki Hadi Sukatno (1915-1983), pamong Tamansiswa dan seorang
seniman yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pembelajaran dengan
wahana dan media kesenian. Permainan anak atau dolanan anak yang sangat lekat
dengan dunia anak-anak direkayasa menjadi wahana dan media pendidikan dan
pembelajaran. Jadilah dolanan anak menjadi salah satu genre kesenian bermuatan pendidikan dalam rangka pembentukan
karakter peserta didik.
Menurut Ki Hadi Sukatno, permainan anak-anak tradisional dapat dikelompokkan
menurut maksudnya. Pertama, permainan
yang bersifat menirukan perbuatan orang dewasa, misalnya: pasaran, mantenan, dhayoh-dhayohan, dll. Permainan ini dilakukan dengan asyiknya,
seakan anak-anak merasakannya sebagai perbuatan yang sungguh-sungguh.
Kedua, permainan untuk mencoba kekuatan dan kecakapan jasmani,
misalnya tarik-menarik,
berguling-guling, bergulat, berkejar-kejaran, gobaksodor, gobak-bunderan,
jethungan, bengkat, benthik-uncal, obrok,
bandhulan, dll. Ketiga,
permainan melatih panca-indera, kecakapan meraba dengan tangan, menghitung
bilangan, memperkirakan jarak, dan menggambar, misalnya: gatheng,
dakon, macanan, sumbar-suru, sumbar-manuk, sumbar-dulit, kubuk, adu-kecik,
adu-kemiri, nekeran, jirak, bengkat, paton, dekepan, serang-serongan, dll.
Keempat, permainan dengan latihan bahasa, yaitu permainan
anak-anak berupa percakapan. Setiap kali anak-anak berkumpul, biasanya selalu
terlibat dalam perbincangan tentang dongeng, cerita pengalaman, bedhekan
atau teka-teki, yang menimbulkan tumbuhnya fantasi. Kelima,
permainan dengan lagu dan wirama yang akhirnya disebut dengan kesenian dolanan
anak. Kesenian dolanan anak sangatlah luas dan banyak sekali ragamnya,
misalnya; jamuran, cublak-cublak suweng,
bibi tumbas timun, manuk-manuk dipanah, tokung-tokung, blarak-blarak sempal,
demplo, bang-bang-tut, pung-irung, bethu-thonthong, kidang-talun, ilir-ilir,
dll.
Permainan anak-anak tradisional kini keadaannya sangat
memprihatinkan. Perkembangan permainan anak-anak semakin berkurang, mulai
ditinggalkan dan tidak dikenali oleh anak-anak masa kini. Mereka lebih asyik bermain game online, play station, dan permainan komtemporer lainnya. Bukan
tidak mungkin suatu saat nanti permainan anak-anak punah.
Permainan
anak-anak, termasuk di dalamnya kesenian dolanan anak, tidak cukup hanya
dilestarikan, tetapi juga harus dikembangkan. Kesenian dolanan anak
dilestarikan dengan cara melakukan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.
Upaya pelestarian seharusnya tidak dipahami statis, melainkan dapat dipahami
sebagai hal yang membuat nilai-nilai budaya tersebut tetap hidup sejak awal
kemunculannya dan terpakai pada masa kini dan masa yang akan datang. Kesenian
dolanan anak harus “sederajat” dengan permainan-permainan kontemporer di mata
anak-anak Indonesia.
Oleh karenanya perlu membuka kesempatan seluas-luasnya
kepada seniman dan seluruh lapisan masyarakat yang berkepentingan di bidang
seni dolanan anak untuk mengasah
kreatifitas dan produktifitasnya mengisi “ruang kosong” kesenian dolanan
anak. Dalam kreatifitas dan produktifitas seni budaya, “ruang kosong” itu harus
diciptakan karena tidak hadir dengan sendirinya. Di dalam “ruang kosong”
inovasi dan kreatifitas memperoleh wahananya. Seniman dituntut untuk terus meningkatkan kreatifitas
dan inovasinya agar dapat menjadi bagian dari sistem kontemporer tanpa harus
kehilangan ruh budayanya sendiri.
Demikian halnya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, kesenian
dolanan anak dalam rangka pembentukan karakter dan penguatan jati diri bangsa,
pengembangan industri budaya, serta potensi ekonomi dalam rangka peningkatan
kesejahteraan rakyat, merupakan tantangan sekaligus peluang. Terkait hal ini,
diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan memiliki daya saing
tinggi serta organisasi masyarakat atau organisasi kesenian sebagai wadah
kreatifitas seniman dalam menciptakan karya-karya seni dolanan anak.
Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa
di Yogyakarta.-
Artikel ini dimuat SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu Pon 21 Oktober 2012 Halaman 21