Laman

Sabtu, 26 Desember 2009

Pendidikan Ketamansiswaan

KI HADJAR DEWANTARA :
Bangsawan yang Merakyat

Ki Sugeng Subagya


Hidup ini adalah pilihan. Demikianlah para bijak mengatakan. Ada kalanya pilihan hidup itu sulit. Terlebih jika pertimbangannya untuk menghidari resiko, maka pilihan akan menjadi amat sangat sulit sekali. Pilihan hidup yang sangat sulit, dapat digambarkan bagai makan buah simalakama. Jika dimakan bapak mati, jika tidak dimakan ibu yang mati.

Bagaimanakah menyikapi pilihan hidup yang demikian itu ? Pasti, sebagai makhluk yang pinurba winisesa Illahi, apapun resikonya harus memilih. Oleh karena itu setiap pilihan hidup sesungguhnya adalah tanggungjawab. Komitmen atas konsekuensi dengan didasari konsistensi pilihan hidup itulah tanggungjawab.


Ki Hadjar Dewantara sejak muda belia sudah melakukan pilihan hidup dengan tanggungjawab dan konsekuensinya. Sikap dan tindakan yang demikianlah yang patut diteladani.


Kita semua tahu, bahwa Suwardi Suryaningrat, adalah putera bangsawan. Dengan demikian ia adalah bangsawan pula. Gelar bangsawan Raden Mas (RM) melekat di depan namanya. Sebagai bangsawan, tentu hidup dan kehidupannya dijamin lebih baik daripada rakyat pada umumnya. Oleh karena itu, tanpa harus bersusah payah segala fasilitas hidup dan kehidupan tersedia. Ternyata bukan itu pilihan hidup Suwardi Suryaningrat.


Menurut ceritera Nyi Hadjar Dewantara yang dicatat oleh Ki Moch Tauchid, dalam karangan berjudul ‘Beberapa Catatan Mengenai Ki Hadjar Dewantara’; Suwardi Suryaningrat sejak kecil suka bergaul dan bermain-main dengan anak-anak rakyat biasa di kampungnya. Hal ini berbeda dengan anak bangsawan umumnya pada saat itu, yang terkadang merasa jijik bergaul dengan anak-anak rakyat biasa. Anak bangsawan yang merasa derajat keturunannya lebih tinggi, merasa tidak level bergaul dengan anak-anak rakyat biasa.


Ceritera di atas adalah contoh pilihan hidup yang diambil Ki Hadjar Dewantara. Tentu, hal itu ada resikonya. Setidaknya, sikap yang demikian dapat melunturkan kebangsawanannya. Tetapi, sikap pembawaan yang demikian inilah kelak kemudian hari berkembang sebagai jiwa dan sikap kerakyatannya. Jiwa dan sikap kerakyatan itulah yang mendorong perjuangannya untuk membela rakyat kecil yang sengsara. Gelar kebangsawanan tiadalah penting bagi Ki Hadjar Dewantara. Berjuang untuk membela dan mensejahterakan rakyat jauh lebih penting daripada gelar kebangsawanan.


Kesaksian atas pilihan hidup Suwardi Suryaningrat muda, dikenang oleh teman-temannya. “nDoro Suwardi selalu berpihak pada wong cilik”. Kata mereka. Selanjutnya, sejak menjalani hukuman pembuangan di negeri Belanda selama 6 tahun, gelar kebangsawanannya tidak lagi di pasang di depan namanya. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Gelar bangsawan itu dirasakan menjadi penghalang hubungan dengan rakyat, ialah anak-anak bangsa yang tertindas. Gelar bangsawan dilepaskannya bersamaan dengan tanggungjawab konsekuensinya melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan.


Kelak setelah menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada dalam bidang kebudayaan, Ki Hadjar Dewantara berpesan untuk tidak menyebut gelar doktornya di depan namanya. Tiadalah pernah Ki Hadjar Dewantara menuliskan gelar doktornya di depan namanya.


Memperingati Tahun Baru Indonesia


Suatu ketika, saat memperingati hari kebangkitan nasional, Ki Hadjar Dewantara menceriterakan kenakalannya di waktu muda. Tentu bukan kenakalan remaja seperti yang diasumsikan sekarang sebagai tawuran, dugem, mabuk, drugs, pergaulan bebas dan lain-lain.


Pada tengah malam terjadi kegaduhan di asrama mahasiswa Sekolah Dokter Jawa dimana Suwardi Suryaningrat menimba ilmu saat itu. Orang dikejutkan dengan berondongan bunyi petasan. Saat itu, malam tanggal 1 Muharam dalam penanggalan Hijriyah atau 1 Sura dalam penanggalan Jawa. Malam tahun baru. Rupanya Suwardi Suryaningrat dan kawan-kawannya ingin “tahun baruan” ala Indonesia. Jika 1 Januari adalah tahun baru Masehi yang dirayakan seluruh dunia, maka 1 Huharam atau 1 Sura adalah tahun barunya rakyat Indonesia.


Letusan petasan malam tahun baru 1 Muharam atau 1 Sura itu sesungguhnya adalah letusan semangat kebangsaan. Suwardi Suryaningrat dan kawan-kawan para pemuda Indonesia ingin mengingatkan agar orang tahu bahwa bangsa Indonesia mempunyai tahun baru yang harus diperingati. Diperingati, tegas Ki Hadjar Dewantara, bukan dirayakan. Peringatan lebih bermakna instrospeksi, sedangkan perayaan lebih mengarah kepada pesta pora atau hura-hura. Jika dunia merayakan tahun baru 1 Januari, mengapa bangsa Indoensia tidak memperingati tahun baru pada 1 Muharam atau 1 Sura ?


Meskipun sekadar membunyikan petasan untuk memperingati tahun barunya sendiri, “kenakalan” Suwardi Suryaningrat ini ternyata membuahkan hukuman. Karena ulahnya itu, Suwardi Suryaningrat dikurung tidak boleh keluar asrama untuk beberapa hari. Hukuman itu harus diterima, itulah konsekuensi tanggungjawab atas pilihan hidup yang dilakukan. Menjalani hukuman tidak dalamrangka agar jera, tetapi sebagai konsekuensi tanggungjawab atas perbuatannya.


Tetapi ingatlah, dengan peristiwa “tahun baruan” ala mahasiswa Sekolah Dokter Jawa itu, tujuan utamanya bukan hura-hura, melainkan mengobarkan semangat kebangsaan. Akibatnya, orang-orang pergerakan, terutama di Jawa, memperingati tahun barunya pada tanggal 1 Muharam atau 1 Sura dengan acara tanggap warsa untuk mengobarkan rasa kebangsaan.


Ada hikmah dapat dipetik dari sepenggal kisah ini. Setiap perbuatan itu ada akibatnya masing-masing. Perbuatan itu adalah pilihan hidup. Sebagai pilihan hidup tentu harus diperhitungkan masak-masak, termasuk resiko yang harus ditanggung ketika perbuatan itu dilakukan. Lebih baik menanggung resiko sesaat tetapi tujuan jangka panjangnya tercapai, daripada menghindari resiko tetapi menggagalkan tujuan jangka panjangnya. Belajar yang giat penuh semangat bagai berdarah-darah adalah resiko yang harus diambil agar kelak tercapai tujuan hidupnya merupakan sikap dan tindakan meneladani Ki Hadjar Dewantara bagi generasi muda sekarang.



Artikel ini dimuat Majalah SISWA, Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar